Katoliknews.com – Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng dan Cabang Labuan Bajo bersama warga Wae Sano kembali mendesak pemerintah khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk segera menghentikan seluruh proses ekstraksi panas bumi di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat.
Selain itu, mereka mendesak Bank Dunia membatalkan segera kerja sama dan pemberian dana hibah kepada PT SMI dan PT GeoDipa Energi), termasuk menghentikan seluruh proses di lapangan dalam memuluskan rencana penambangan panas bumi di Wae Sano; serta mendesak Kantor Staf Presiden berhenti terlibat dalam urusan panas bumi di tempat tersebut.
Hal tersebut mereka sampaikan dalam unjuk rasa yang digelar di depan Kantor Bupati Manggarai Barat, di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Rabu 2 Februari 2022.
Mereka menilai, rencana penambangan panas bumi yang persis berhimpitan dengan pemukiman dan rumah adat, sumber air, lahan pertanian/perkebunan, fasilitas publik seperti sekolah dan gereja, itu membawa ancaman besar bagi warga sekitar.
Ketua PMKRI Cabang Ruteng, Nardi Nandeng, mengatakan, warga Wae Sano sejak awal telah menolak. Penolakan warga telah disampaikan berulang-ulang, baik ke pemerintah maupun ke pihak perusahaan. Penolakan itu dilandasi alasan yang jelas, yakni keselamatan ruang hidup mereka dan masa depan anak cucu
Nardi menambahkan, kekhawatiran akan seluruh risiko itu beralasan. Pasalnya, telah banyak contoh buruk ihwal ekstraksi panas bumi yang menghancurkan keselamatan warga dan ruang hidupnya. Di Ulumbu, Kabupaten Manggarai, misalnya, operasi panas bumi telah menyebabkan atap seng rumah-rumah warga karatan, tanaman cengkeh, kakao, dan sejenisnya menjadi tak produktif, termasuk kesehatan warga ikut terganggu. Hal serupa juga terjadi di Mataloko, seng-seng rumah dengan mudah berkarat, sumber air tercemar, bahkan lahan pertanian seperti sawah yang jaraknya sekitar dua kilometer dari titik pengeboran luluh lantak, tersembur lumpur panas hingga saat ini.
“Di luar Pulau Flores, bahaya penambangan panas bumi juga telah banyak terjadi. Salah satunya di desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal dimana lima warga-negara mati dan setidaknya puluhan korban lainnya masih menjalani perawatan di rumah sakit, karena semburan gas dari sumur bor proyek ekstraksi panas-bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) pada Senin, 25 Januari 2021,” ungkapnya.
“Belum termasuk kasus ledakan dan semburan gas di proyek PLTP Ijen yang juga makan korban, dan semburan cairan panas bumi di proyek Rimbo Panti, yang kemudian digelontor langsung ke wilayah suaka-alam Rimbo Panti, Pasaman, Sumatera Barat. Lima tahun lalu, semburan gas dari sumur bor GeoDipa di kavling ekstraksi panas bumi Dieng juga telah berakibat langsung pada kehidupan dan nafkah warga.”
Di samping itu, lanjut Nardi , rencana penambangan panas bumi di Wae Sano termasuk wilayah kerja panas bumi (WKP) lainnya di Kepulauan Flores, sama sekali tidak berangkat dari kebutuhan real warga, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan industri pariwisata yang—model pengembangan pariwisatanya–bermasalah dan dikuasai segelintir elit politik dan pengusaha tertentu.
Ia menilai, upaya paksa pemerintah dan perusahaan yang terus melanjutkan proses pengembangan tambang panas bumi di Wae Sano di tengah penolakan masif dari warga menunjukkan betapa besarnya kepentingan pihak-pihak tertentu di balik proyek ini. Berbagai upaya paksa dilakukan, salah satunya “konsultasi publik” yang dikemas dengan acara “lonto leok” (salah satu budaya Manggarai dalam menyelesaikan setiap persoalan dengan musyawarah mufakat).
“Upaya paksa atas pengembangan tambang panas bumi di Wae Sano merupakan bukti nyata betapa keberpihakan pemerintah itu justru kepada korporasi, bukan kepada warga. Lebih ironis lagi, ketika suara penolakan warga justru direkayasa, semua untuk satu tujuan: memuluskan rencana penambangan panas bumi itu sendiri,” tegasnya.
Ian Saf
Komentar