Oleh: Max Regus Pr, imam dan kandidat PhD di Graduate School of Humanities, University of Tilburg, Belanda
Tiga tahun lalu, 2013, hari-hari seperti ini di bulan Maret, dunia dan khususnya umat Katolik terkejut sekaligus bergembira karena dua alasan. Terkejut karena pengunduran diri Paus Benediktus XVI sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik pada 28 Februari 2013. Bergembira karena terpilihnya Paus Fransiskus sebagai pemimpin yang baru dalam sidang para kardinal pada 12-13 Maret 2013.
Keterkejutan serentak kegembiraan yang hanya berselang beberapa hari itu menandai suatu geliat panjang pertaruhan religiositas di tengah ceruk sejarah. Pada dua sisi berbeda dari pengalaman keagamaan ini, dengan sekian banyak perdebatan yang menyertainya, ada satu garis penghubung yang menyimpan kebenaran abadi.
Keabadian itu ada pada maksud yang melampaui kepentingan personal dan kesempitan kediriannya yang serbaterbatas, Paus Benediktus XVI meletakkan jabatannya. Dia menaruh dirinya, lebih tepat ‘mengorbankan’ dirinya, dengan jalan, bukan hanya menyerahkan kuasanya (kehilangan takhta), melainkan juga mendengar sekian banyak kritik atas keputusannya itu. Pada sebagian kritik itu terungkap seolah dia menampar dan merusak tatanan kelembagaan yang sudah mapan berabad-abad.
Mengikuti semangat itu, gereja, menyerap satu ‘kebiasaan’ lain ketika seorang Paus datang dari sebuah kawasan ‘non-Eropa’. Gereja mengorbankan ‘kemapanan’ tradisi untuk suatu maksud yang lebih jauh, hasrat untuk bersikap terbuka, menjembatani ruang-ruang yang mungkin belum tersentuh kabar gembira Injil.
Kemartiran
Pada barisan ‘keduabelasan’, sebutan untuk kelompok para rasul, Yesus adalah pemimpin. Dia memimpin perlawanan terhadap rigorisme hukum kelas elite religius dan politik pada masa itu. Serangkaian serangan kritis terhadap para pemuka agama Yahudi, yang menurut Yesus, telah menjadikan hukum dan tradisi sebagai beban bagi umat dan ‘scandalum’ tengik bagi umat (rakyat).
Perilaku para pemuka agama, yang sering kali berdiri di atas ‘standar ganda’ aturan dan istiadat keagamaan, tidak saja membusukkan fondasi asali kerohanian, tetapi juga menebarkan ancaman mematikan kepada kemanusiaan. Yesus memilih menggunakan metode ‘konfrontasi’ langsung ketika berhadapan dengan para pemuka agama dan pemimpin politik lalim. Tidak ada pilihan kedua. Satu-satunya pilihan perlawanan sejak awal.
Dengan itu, Dia memilih ‘jalan tidak aman’ untuk meraih nilai yang lebih besar dari keberadaan-Nya sendiri. Dia rela terkepung di antara asap permusuhan dan kebencian yang mengepul dari benak dan hati pemuka agama (politik). Semua itu muncul sebagai reaksi langsung atas persaksian kenabian Yesus yang merontokkan arogansi keagamaan dan politis.
Arogansi, yang sekian lama, berabad-abad, menjadi sumber penistaan kehidupan. Yesus harus membayar mahal penentangan langsung terhadap tindak tanduk keagamaan berselimutkan kemunafikan pemuka Yahudi. Dia menghadapi pengadilan sesat. Melihat muka penguasa yang tidak mampu menegakkan kebenaran. Mendengar riuh suara publik yang ditembakkan dalam amarah. Yesus dapat saja terbebas dari semua itu jika Dia mau mengingkari pendirian-Nya yang telah merusak tatanan kemunafikan para elite sosial, keagamaan, dan politik zaman itu.
Namun, Yesus tetap berada di tempat, di mana sejak awal Dia memperlihatkan misi utama, memorak-porandakan struktur sosial dan keagamaan yang mengabadikan kebusukan para elite. Yesus membayar semua pemberontakkan itu dengan nyawa. Dia menjalani ‘kemartiran’ sebagai jalan politik perlawanan terhadap keangkaramurkaan.
Kemanusiaan
Jika merunut ke titik awal kemunculan Yesus di panggung sejarah, kemanusiaan adalah isu kunci dari seluruh potret kenabian-Nya. Kisah tentang Putra Tuhan yang menjelma dalam diri seorang manusia (inkarnasi), dengan segala risiko munculnya keraguan abadi tentang ‘kadar ketuhanan-Nya’ membahasakan keterpesonaan pada kemanusiaan.
Kenabian Yesus di atas basis pembelaan kemanusiaan serentak menarik gelombang dukungan dari massa, rakyat, umat yang sudah ‘jengah’ dan ‘bosan’ dengan perilaku feodal pemuka agama dan politik. Mereka melihat perlawanan Yesus lebih daripada sekadar sebuah aksi personal. Mereka memahami Yesus sebagai simbol dari kerinduan dan hasrat yang sudah lama terpendam di susut-sudut keseharian hidup mereka. Hal itu tidak terbantahkan.
Injil memberitakan sesi-sesi menakjubkan ketika Yesus secara langsung membela kemanusiaan ketika para pemuka agama menggunakan sekian banyak momentum, ajaran, aturan hukum untuk menjerat orang lain sembari menebalkan kesombongan mereka sendiri. Yesus membela kemanusiaan yang ‘dibelah’ kaum farisi. Yesus bahkan berani menaruh hukum Taurat yang amat dijunjung para pemuka agama pada masa itu di bawah kaki-Nya jika kemanusiaan sedang terancam akibat pembelokan aturan hukum.
Bagi Yesus, hukum Taurat sama sekali tidak berarti ketika tidak berdaya membentengi kemanusiaan. Yesus menaruh kemanusiaan di suatu titik yang mudah kelihatan. Dia mencopot selubung kepongahan para pemimpin agama yang mengurung kemanusiaan untuk proyek penyesatan. Dia melakukan itu agar orang-orang Farisi, yang merasa diri paling benar, paling suci, dan mempunyai privilese religius untuk mengadili orang-orang kebanyakan, dapat membungkukkan punggung dan melengkungkan tubuh mereka di hadapan kemanusiaan.
Bahkan, Yesus menghubungkan kemanusiaan pada ruang kehidupan setiap orang dan kelas sosial yang tidak beruntung secara sosial, ekonomi, politik. Dia secara khusus menunjuk kemanusiaan yang terpenjara dalam kerangkeng ketidakberuntungan. Ketakjuban Yesus pada kemanusiaan, serentak mengalirkan hasrat untuk membelanya, adalah alasan paling manusiawi dari jalan kemartiran-Nya.
Gugatan
Cahaya lilin Paskah, yang memesonakan mata iman orang Kristen, sebetulnya mengirimkan pesan-pesan kunci untuk kehidupan. Pesan-pesan yang melampaui bentangan waktu dan kategori-kategori sosial. Artinya, pesan-pesan itu memiliki makna universal. Pesan yang mengajak tanpa batas. Salah satu pesan utama berhubungan dengan ‘kepemimpinan’ Yesus berujung pada jalan kematian (kemartiran). Dari situ dengan jelas terlihat, ‘kemartiran’ adalah dimensi hakiki dari kepemimpinan.
Para pemimpin, baik politik maupun keagamaan, di dalam dirinya sendiri terkandung ‘panggilan’ (desakan) untuk menjadi martir. Hasrat untuk mengorbankan diri, membunuh kepentingan diri, mengalahkan egoisme untuk kepentingan yang lebih besar. Kerusakan tatanan sosial, politik, dan keagamaan menjadi pemandangan sehari-hari karena para pemimpin enggan untuk berkorban. Mereka tidak ingin menempuh jalan kemartiran. Akan tetapi, kemartiran hanya menjadi mungkin ketika terutama para pemimpin tidak berjarak dengan kemanusiaan; khususnya yang tersekap di dalam sekian banyak alasan ketidakberuntungan.
Kemanusiaan yang jadi korban dari keserakahan, kerakusan, kesombongan. Kemanusiaan yang jadi alat politik. Kemanusiaan yang jadi batu injak para pemuka sosial, agama, dan politik untuk kepentingan mereka sendiri. Paskah mengirimkan pesan paling manis (gugatan) untuk para pemimpin tentang panggilan untuk ‘memartirkan’ diri mereka bagi kemanusiaan, kehidupan, dan kemaslahatan umat (rakyat). Selamat Pesta Paskah 2016!
Artikel ini dimuat di Media Indonesia, Kamis, 24 Maret 2016
Komentar