Oleh: Charles Talu OFM
Masih segar dalam ingatan kita peristiwa pada Selasa, 26 Juli lalu, di mana Pastor Jacques Hamel, seorang imam sepuh di Perancis dibunuh saat sedang merayakan Ekaristi pagi hari.
Pastor berusia 85 tahun itu ini dianiaya dengan keji di Gereja Paroki St. Etienne-du-Rouvray oleh dua orang yang kemudian diketahui memiliki hubungan dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Para penyerang juga melukai dua suster dan dua umat yang tengah mengikuti Ekaristi.
Peristiwa ini mengingatkan kita akan kisah-kisah para martir pada abad-abad pertama kekristenan.
Pastor Hamel sebagaimana para martir zaman dulu menghadapi konsekuensi dari pilihan mengiikuti Kristus, bahkan hingga kehilangan nyawa.
Panggilan Menjadi Martir
Dengan membaca dan mendengar peristiwa beberapa minggu lalu di Prancis itu dan tentu saja masih banyak kisah lain di belahan bumi ini tentang orang Kristen yang kehilangan nyawa karena iman, kita menjadi yakin bahwa panggilan menjadi martir, bahkan dengan mengorbankan nyawa adalah panggilan orang Kristen sepanjang zaman.
Orang Kristen, sebagai pengikut Kristus dengan dibaptis dalam nama Yesus, mesti siap disatukan dengan Yesus dalam tingkat kesaksian hidup, sebagaimana Kristus yang bersaksi melalui cara hidup, karya-karya dan perbuatan-perbuatan baik yang telah Ia lakukan.
Orang Kristen juga mesti siap memberikan nyawa, sebagaimana Kristus yang rela menyerahkan nyawa-Nya ketika pewartaan-Nya mengenai Kerajaan Allah menuntut korban.
Pada abad-abad pertama Kekristenan, panggilan menjadi martir adalah sebuah cita-cita. Karena, itu, orang–orang Kristen berusaha memberi kesaksian iman, menjalankan iman dengan sungguh di hadapan orang-orang tak beriman.
Bahkan, mereka rela jika kesaksian itu menuntut harga yang mahal yaitu nyawa mereka sendiri.
Martir Masa Kini
Pada zaman sekarang, panggilan menjadi martir tidak harus dengan menyerahkan nyawa.
Kita tidak harus menjadi seperti Pastor Hamel untuk disebut sebagai martir.
Menjadi martir dapat dilakukan dengan cara sungguh-sungguh memberi kesaksian tentang bagaimana menjalani hidup yang benar, dalam iman, harapan, dan kasih kepada Kristus.
Situasi yang kita hadapi saat ini, memang sulit, karena banyaknya tantangan. Hal ini mengingatkan kita pada ajaran Yesus tentang apa yang akan dialami oleh para pengikut-Nya.
“Tetapi kamu ini, hati-hatilah! Kamu akan diserahkan ke majelis-majelis agama dan kamu akan dipukuli di rumah ibadat dan kamu akan dihadapkan ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja karena Aku, sebagai kesaksian bagi mereka.” (Mrk. 13:9).
Persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar kita, entah itu ekonomi, politik, sosial dan keagamaan mengarahkan kita pada kebenaran sabda ini.
Namun, bagaimanapun, Yesus menghendaki agar Injil yang adalah kabar gembira itu tetap harus diwartakan terlebih dahulu ke semua bangsa (Mrk, 13: 10), bahkan dalam situasi sulit sekalipun.
Tidak Gentar
Apa yang dialami Pastor Hamel, juga situasi sulit yang kita hadapi, tidak boleh memadamkan semangat kita, membuat nyali kita sebagai orang Kristen menjadi ciut.
Tertulianus mengatakan bahwa darah para martir adalah benih subur bagi bertumbuhnya Gereja.
Gereja akan tetap hidup karena darah para martir dan demi Kristus yang lebih dahulu mengorbankan diri-Nya untuk kita.
Darah mereka yang telah tertumpah menyerupai Kristus adalah untuk perkembangan Gereja, dimana kita para pengikut Kristus yang lain menjadi batu-batu sendi dan benih yang siap melanjutkan tugas pewartaan dan kesaksian iman melalui hidup kita.
Butuh keberanian untuk melanjutkan tugas suci ini. Dan, sebagaimana diingatkan Paus Fransiskus dalam kesempatan kunjungan ke Meksiko beberapa waktu lalu, kita semua mesti memiliki keberanian setingkat nabi.
Umat kristiani adalah nabi-nabi masa kini yang melanjutkan misi pewartaan Kristus di dunia ini.
Para nabi adalah mereka yang mewartakan sabda Allah, menyerukan pertobatan dengan suara lantang dengan resiko akan ditolak dan bahkan dibunuh.
Situasi sosial, ekonomi, politik yang ada di sekitar kita menuntut kehadiran orang-orang Kristiani yang memiliki keberanian setingkat nabi.
Karena baptisan yang telah kita terima, misi kenabian Kristus mesti kita lanjutkan untuk memberikan kesaksian (martyria) akan Kerajaan Allah yang adil, damai, dan utuh.
Suara-suara kenabian orang Kristiani mesti nampak dengan mendukung atau ikut ambil bagian dalam menentang korupsi, menolak hukuman mati, mengupayakan keadilan bagi masyarakat yang terdampak proyek semen di pegunungan Kendang, misalnya, memberantas narkoba mulai dari keluarga masing-masing, menjaga kebersihan lingkungan dan lain sebagainya.
Orang-orang Kristiani dapat menjadi martir dengan melakukan hal-hal kecil dan sederhana.
Untuk ini, dibutuhkan keberanian setingkat nabi yang mampu bersuara, mendobrak kemapanan, menyerukan keadilan di tengah-tengah ketidakadilan, menjadi suara bagi mereka yang tidak didengarkan.
Beranikah dan mampu kah kita menjadi martir di zaman sekarang bahkan jika nyawa diminta sebagai bayarannya?
Kita semua berjuang dan mengarahkan diri untuk mampu memberi kesaksian itu dan Roh Allah-lah yang memampukan kita.
“Dan jika kamu digiring dan diserahkan, janganlah kamu kuatir akan apa yang harus kamu katakan, tetapi katakanlah apa yang dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga, sebab bukan kamu yang berkata-kata melainkan Roh Kudus (Mrk, 13:11).
Penulis adalah calon imam Ordo Fransiskan.
Komentar