Katoliknews.com – Suster-Suster Fransiskus Dina (SFD) merayakan 1 abad kehadiran mereka di Indonesia atau Nusantara. Mereka mulai berkarya di Indonesia pada 17 April 1923 di berbagai sektor antara lain pastoral, kesehatan, pendidikan, dan panti asuhan.
Perayaan syukur ini diungkapkan dalam Ekaristi dan Ramah Tamah di Hall Danau Toba Internatonal Hotel, Medan, pada Sabtu, 25 Maret 2023, yang dalam kalender liturgi Gereja tepat pada hari Raya Maria Menerima Kabar Sukacita dari Malaikat Gabriel.
Ekaristi syukur ini dipimpin oleh Mgr. Cornelis Sipayung OFMCap, Uskup Agung Medan. Turut sebagai konselebran antara lain Mgr. Petrus Bodeng Timang Mgr. Yustinus Harjosusanto, Mgr. Robertus Rubyatmoko Mgr. Edmund Woga CSsR, Mgr. Agustinus Agus dan Pastor Laurensius Sutadi.
Ditayangkan secara live Streaming di channel Youtube Komsos KAM, perayaan ini dihadiri puluhan imam dan biarawan/ti, serta ratusan umat.
Dalam homilinya, Mgr. Robertus Rubyatmoko mengatakan, perayaan ini merupakan perayaan syukur karena SFD telah mengarungi sejarah yang panjang di Nusantara, yakni satu abad. Sepanjang usia itu, kata Uskup Agung Semarang itu, SFD berkembang baik dari segi jumlah maupun karya.
“SFD ini dari waktu ke waktu berkembang dengan baik sekali, dan berkarya di banyak bidang, seperti pendidikan, pastoral, kesehatan,” kata Mgr. Robertus, “hal ini macam ini menjadi alasan kita bersyukur kepada Tuhan. Ini menjadi bukti nyata tarekat ini dikehendaki Tuhan berada di dunia ini.”
Menurut data yang diterimanya, jumlah anggota SFD di Indonesia berkembang pesat, yakni 244 orang yang terdiri dari suster berkaul kekal sebanyak 177 orang, suster berkaul sementara sejumla 34 orang, dan sisanya para novis dan postulan.
Suster-suster ini tersebar di 38 komunitas di 11 keuskupan, yakni Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Medan, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Palangkaraya, Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Ketapang, Keuskupan Weetebula, Keuskupan Denpasar, dan Keuskupan Padang.
Apa yang Khas dari SFD?
“Apa kekhasan SFD?’ demikian pertanyaan Mgr. Rubyatmoko yang menghentakkan seluruh hadirin.
Menurutnya, kekhasan SFD adalah kedinaan. Kedinaan, kata ahli Hukum Gereja itu, “tidak sama dengan kehinaan, dia [kedinaan] sebuah sikap hidup, sebuah orientasi, yakni menjadi rendah hati dan hidup senderhana, yang perlu dikembangkan terus-menerus.”
Merenungkan kisah panggilan Maria dalam Injil Lukas yang dibacakan dalam perayaan itu, Mgr. Rubyatmoko mengajak para suster SFD untuk terus mengembangkan kedinaan ala Maria sebagai kekhasan dalam seluruh hidup dan karya mereka.
“Hari Ini kita merayakan Maria Menerim Kabar Sukacita dari Malaikat Gabriel, maka kedinaan yang kita kembang adalah kedinaan ala Maria,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kedinaan Maria memiliki empat ciri khas. Pertama: Sikap lepas, yakni “tidak ada keterikatan pada apa pun, sederhana, bersahaja. Inilah Maria dan dia tidak memikirkan diri sendiri.”
Kedua, lanjutnya, yakni “menjadi manusia yang beriman tangguh, sebagaimana Maria dalam hidupnya selalu mencari kehendak Allah. Menjadi pribadi yang pendoa. Sekali mengatakan ya, tetap ya. Di situlah Maria selalu mengandalkan Penyelenggara Ilahi.”
Ketiga: siap untuk bermisi dengan siapa pun, kapan pun, dan dengan siapa pun. Keempat: Siap berubah. Terbuka terhadap perubahan, responsif.
Peluncuran Kurikulum SFD
Dalam sesi ramah tamah, SFD meluncurkan kurikulum ke-SFD-an, yang menjadi kekhasan sekolah-sekolah yang dikelola para suster Fransiskus Dina itu.
Provinsial SFD, Suster Imelda Tampubolon mengatakan, kongregasi yang awalnya didirikan di Dongen, Belanda itu mula-mula disebut sebagai badan pendidikan dan pengajaran.
Karena itu, kata dia, pendidikan merupakan misi utama mereka sejak awal hadir di Indonesia, tepatnya di Kota Medan.
“Maka momen seratus tahun ini merupakan momen bagi kita untuk menyegarkan dan mengobarkan kembali semangat misionaris SFD untuk membangun pendidikan yang lebih baik lagi di Indonesia, yang ditandai dengan kurikukulum ke-SFD-an: Maju SFD, Jaya SFD, Maju Pendidikan,” ujar Suster Imelda.
Walikota Medan Mumammad Bobby Afif Nasution, yang hadir dalam kesempatan itu, mengakui peran para suster SFD dalam memajukan pendidikan Kota Medan.
“Kami tahu selama seratus tahun belakang ini suster sudah banyak membantu dalam bidang pendidikan, kesahatan, dan sosial,” kata Bobby, yang juga menantu Presiden Joko Widodo.
Bobby mengajak para suster untuk bersama-sama pemerintah terutama dalam menangani masalah narkoba di kalangan remaja di kota itu.
Menurutnya, Kota Meda saat ini menjadi kota nomor satu tingkat pemakaian narkoba di kalangan remaja se-Provinsi Sumatera Utara, dan provinsi pimpinan Gubernur Eddy Rahmayadi itu menjadi provinsi dengan tingkat pemakaian narkoba di kalangan remaja nomor satu di Indonesia.
Karena itu, lanjut Bobby, fokus para suster SFD di bidang pendidikan sangat strategis untuk mengentaskan masalah narkoba di wilayah tersebut.
“Bukan mau menambah PR untuk para suster, tapi kami mengajak untuk bersama-sama mengatasinya,” ujarnya.
Merenangi Abad Ke-2
Suster Imelda Tampubolon dalam sambutannya mengatakan, perjalanan selama seratus tahun di Indonesia, SFD melayani di sebelas keuskupan.
Menurutnya, ketahanan dalam peziarahan itu karena “para suster misonaris percaya bahwa Allah sendirilah yang bertindak dan berkarya ketika semua hidup teras sulit dan susah, menuntut sikap harus bersujud dan berlutut di kaki Dia yang telah mengutus.”
“Kami sebagai suster SFD tetap belajar dan berefleksi tentang tuntutan dari pelayanan seturut kebutuhan dan perkembangan zaman seraya tidak kehilangan semangat awal para pendahul,” ujarnya.
Pada usia yang keseratus tahun ini, lanjutnya, “Di tengah zaman yang selalu berubah kami ingin selalu menjadi saudari dina sesuai dengan moto yang kami hidupi dan perjuangkan yaitu bersukacita dalam kedinaan.”
“Kami sadar bahwa dengan hidup dalam kedinaan kami membiarkan Tuhan bebas berkarya dan bertindak dalam hidup dan karya pelayanan kami setiap hari,” tambhanya.
Sejarah Lahirnya SFD di Indonesia
Dilansir dari kongregasi-sfd.org, Kongregasi Suster-Suster Fransiskus Dina Indonesia lahir dari situasi dan perkembangan Kongregasi Suster-suster Fransiskanes Dongen.
Pada 17 Maret 1923, Misionaris pertama (Sr. Edmunda Mulder, Sr. Hildegardis de Wit, Sr. Salesia Hazelzet, Sr. Leo Pelkmans, Sr. Pudentiana Cuelenaere, dan Sr. Laurentine Pijnenburg) berangkat dari Dongen, dan sebulan kemudian, pada 17 April 1923, mereka tiba di Medan, Sumatera Utara. Pada 11 Oktober 1937, Sr. Clementina Geerden, Sr. Josephine Jacobs, Sr. Theobalda van Gool, berangkat dari Medan Sumatera Utara dan Sr. Laurentine Pijenburg, Sr. Josephine Ghuys dari Belanda tiba di Banjarmasin.
Mengingat minat pribumi untuk terlibat sepenuhnya dalam karya para misionaris di Sumatera Utara, maka dibukalah novisiat pada tahun 1955, di Jl. Letnan Rata Perangin-angin No. 11 Kabanjahe. Ibu novis yang pertama adalah Sr Mauritia Bavel.
Keinginan mengikutsertakan pemudi-pemudi pribumi dalam pelayanan di Kalimantan, mendorong Pemimpin Kongregasi untuk membuka novisiat di Jawa Tengah. Pati merupakan kota pilihan tempat para calon akan dididik dan dipersiapkan. Maka, pada 14 Juli 1958, Sr. Josephina Ghuys, Sr. Petra Brouwers dan Sr. Emmanuel Claerhouth datang dari Banjarmasin ke Pati untuk membuka novisiat.
Sejak novisiat dibuka di Kabanjahe pada tahun 1955, berdirilah beberapa Komunitas yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Dengan penyebaran dan perkembangan di Indonesia, maka pada tahun 1969 status Komunitas-komunitas di Indonesia ditingkatkan menjadi Regio, yaitu Regio Sumatera Utara dan Regio Jawa-Kalimantan. Masing-masing Pemimpin Regio bertanggung jawab langsung kepada Pemimpin Umum di Dongen.
Konsili Vatikan II membawa banyak perubahan di dalam Gereja. Di Eropa, kehidupan religius mulai mengalami kemunduran yang mengakibatkan sedikitnya calon religius yang menggabungkan diri ke dalam Kongregasi. Di Dongen, jumlah suster tidak bertambah karena tidak ada anggota baru, sedangkan suster-suster yang masih ada semakin lanjut usia.
Mengingat situasi yang demikian, dan karena regio-regio di Indonesia telah dianggap mampu untuk mandiri, maka pada April 1991, Sr Rafael Kops beserta Dewan Pimpinan Umum mengundang ke Dongen Dewan Pimpinan Regio Sumatera Utara dan Jawa-Kalimantan, yaitu Sr. Veronika Situmorang, Sr. Constantia Purba, Sr. Bernardeta Saragih, Sr. Emmanuel Claerhouth, Sr. J. Bonaventura Suharti, agar siap untuk menangani sendiri otoritas kepemimpinan Kongregasi di Indonesia.
Roh Pemersatu yang menjiwai Pendiri Kongregasi mendorong terwujudnya unifikasi Regio Sumatera Utara dan Regio Jawa-Kalimantan menjadi satu Regio Indonesia. Penyatuan Regio dimulai pada 15 Juli 1998 di Indonesia dipimpin oleh Sr. Kresensia Sipayung. Sebagai persiapan kemandirian, pada tanggal yang sama telah ditetapkan nama baru bagi Kongregasi di Indonesia, meski karisma dan spiritualitas tetap sama. Nama yang mengungkapkan spiritualitas Kongregasi seturut teladan Santo Fransiskus Assisi ialah SUSTER-SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD)
Pada 16 April 2007, Kongregasi Suster-Suster Fransiskus Dina (SFD) di Indonesia resmi menjadi Kongregasi mandiri di bawah wewenang yurisdiksi Keuskupan Agung Semarang, yang dinyatakan dalam Dekret dari Takhta Suci di Roma melalui Kongregasi untuk Evangelisasi Bangsa-Bangsa, Prot. N. 1534/ 07 tertanggal 31 Maret 2007.
Komentar