Katoliknews.com – Video penutupan patung Bunda Maria di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus di Padukuhan Degolan, Bumirejo, Lendah, Kulonprogo viral di media sosial, seperti instgram, twitter, facebook dan di grup whatsapp. Polisi menyebut karena desakan sekelompok masyarakat (ormas).
Tampak dalam video itu beberapa orang beberapa menutup patung dengan tinggi lebih dari 1 meter itu dengan terpal biru.
Peristiwa ini terjadi pada Rabu, 22 Maret 2023.
Kepala Polsek Lendah, Agus Dwi Sumarsangko, mengatakan penutupan terpal pada patung tersebut karena protes dari ormas Islam beberapa waktu sebelumnya.
“Pemasangan terpal pada patung tersebut sebagai tindak lanjut atas kedatangan ormas Islam yang datang beberapa waktu lalu menyampaikan aspirasi masyarakat atas ketidakyamanan karena keberadaan patung tersebut,” kata Agus pada Kamis, 23 Maret seperti dikutip dari solopos.com.
Ia menjelaskan, ormas tersebut menganggap keberadaan Patung Maria tersebut mengganggu mereka yang melaksanakan ibadah di Masjid Al-Barokah di kawasan itu.
Agus menegaskan penutupan patung tersebut bukan dilakukan polisi, melainkan oleh pemilik tempat doa tersebut.
“Kami hanya menyaksikan. Terpal itu juga dipesan oleh pemilik tempat doa dari Jakarta,” katanya.
Respons SETARA Institut
SETARA Institut–sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Indonesia yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik dan hak asasi manusia–menyayangkan adanya tindakan intoleransi tersebut.
“Apa pun alasannya tidak dapat dibenarkan. Semua warga negara punya hak yang sama untuk beragama dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing,” kata Direktus Setara,Halili pada Kamis, 23 Maret.
Menurutnya, jaminan kebebasan dalam beragama dan kepercayaannya sudah termuat dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945, karena itu hal tersebut bukan sesuatu yang dapat ditawar.
Tegasnya, ketiadaan penegakan hukum akan mengundang kejahatan lain.
“Ini [kejadian] semacam testing the water apakah negara mempunyai tindakan yang presisi yang dapat memastikan kelompok minoritas ini dilindungi,” katanya.
Lebih jauh, Halili menerangkan yang sedang terjadi tidak hanya di Kulonprogo, tetapi juga di kabupaten lain saat ini adalah apa yang disebut dengan mayoritarianisme, yaitu kelompok yang kuat cenderung menggunakan alasan stabilitas nasional atau politik untuk membiarkan persekusi kelompok minoritas.
“Selama ini memang banyak kelompok yang banyak itu diam atau silence majority. Kalau ada segelintir orang yang tidak merepresentasikan kelompok yang banyak, sedangkan kelompok yang banyak tersebut memilih diam, ya akhirnya ruang-ruang publik akan ditentukan segelintir orang tersebut,” ucapnya.
Halili berharap Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dapat mengupayakan jaminan kebebasan beragama dengan kembali membuka patung tersebut dan memastikan kejadian serupa tidak terjadi di wilayah lain di Kulonprogo.
Komentar