Oleh: RD. Rikardus Jehaut, Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.
Dalam Gereja Katolik, jabatan Uskup memegang peran sentral dalam struktur dan teologi Gereja.
Oleh karena Uskup adalah pengganti para rasul, gembala utama di keuskupan dan sumber dan dasar yang kelihatan dari kesatuan dalam Gereja (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 886, 1560), pengangkatan seorang Uskup untuk sebuah Gereja partikular adalah sangat penting.
Proses pengangkatan tersebut diatur dalam internal legal system dari Gereja Katolik, yakni Kitab Hukum Kanonik, kan. 377-380.
Berikut adalah gambaran singkat menyangkut sejarah dan prosedur kanonis aktual terkait proses seleksi dan pengangkatan seorang uskup dan konsekuensi yuridisnya.
Catatan Historis Selayang Pandang
Telaah kritis atas sejarah Gereja memperlihatkan bahwa ada begitu banyak cara terkait pemilihan Uskup-uskup dalam Gereja. Keberagaman cara ini tergantung pada konteks lokal dan periode sejarah tertentu (bdk. Robert L. Benson, The Bishop-Elect: A Study in Medieval Ecclesiastical Office (Princeton University, 1968); Robert F. Trisco, “The Variety of Procedures in Modern History,” dalam William W. Bassett, The Choosing of Bishops(Hartford: Canon Law Society of America, 1971), hlm. 33-60.
Pada abad-abad awal kekristenan hingga abad ke-4, semua umat beriman dari Gereja lokal terlibat dalam seleksi Uskup. Di beberapa tempat, umat sungguh-sungguh memberikan suaranya untuk pemilihan calon Uskup, sementara di tempat lain, umat menyetujui pilihan yang dibuat oleh Uskup-uskup tetangga dan klerus lokal, dan di tempat lain lagi, umat awam dilibatkan, walaupun bukan seluruhnya (bdk. John E. Lynch, Co-responsibility in the First Five Centuries: Presbyteral Colleges and the Election of Bishops, dalam “The Jurist” 31 (1971) hlm. 39-41; Peter Stockmeier, The Election of Bishops by Clergy and People in the Early Church, dalam “Concilium” 137, hlm. 3-8).
Sejak abad ke-4 hingga abad ke-6, pola umum dalam menyeleksi calon berubah. Pada masa ini peran para Uskup di provinsi gerejani menjadi sentral. Suara mereka sangat diperhitungkan dalam memilih calon Uskup. Sementara itu, keterlibatan langsung dari umat awam dalam proses pemilihan dibatasi hanya pada kaum awam yang berpengaruh secara sosial dan religius. Kaum klerus memiliki peran yang lebih penting dalam proses seleksi.
Simak selengkapnya artikel ini di mirifica.net, situs milik Komisi Komunikasi Sosial, Konferensi Waligereja Indonesia: Pengangkatan Seorang Uskup Diosesan: Sejarah, Prosedur, Dan Konsekuensi Yuridis
Komentar