Katoliknews.com – Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Pastor Vinsensius Darmin Mbula, OFM mengatakan, kasus kekerasan yang terjadi di Seminari St Maria Bunda Segala Bangsa (SMBSB) Maumere menjadi momen bagi seminari untuk melihat kembali model formasi yang selama ini dipraktekkan.
“Disamping menyesalkan terjadinya peristiwa itu, kita perlu bersama-sama mengambil hikmahnya agar bisa berbenah diri,” katanya.
Seminari milik Keuskupan Maumere itu menjadi sorotan terkait peristiwa penyiksaan oleh siswa Kelas XII terhadap adik kelas mereka, siswa Kelas VII.
Dalam penjelasan dari Seminari, disebutkan bahwa, siswa Kelas XII menyentuhkan senduk makan berisi kotoran manusia pada bibir dan lidah siswa Kelas VII. Hal ini berawal dari ditemukannya kotoran di kantong plastik di unit asrama Kelas VII, tetapi tidak ada yang mengaku ketika siswa Kelas XII – yang mendapat tugas untuk mengontrol kebersihan – menanyakan orang yang membuang kotoran tersebut.
Kasus ini yang semula dirahasiakan oleh korban dilaporkan kepada pembina Seminari. Pihak Seminari pun menggelar pertemuan dengan orang murid, korban dan pelaku pada Selasa, 25 Februari.
Pihak Seminari telah menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa ini dan menjanjikan pendampingan khusus bagi para korban.
Pater Darmin mengatakan, ketika pertama kali mendengar kabar ini, dirinya sedih dan malu karena kasus ini terjadi di seminari, sebuah lembaga pendidikan calon pemimpin Gereja masa depan.
“Saya menyakini bahwa Seminari selalu menekankan nilai-nilai tiga S yaitu sanitas, sapientia, santitas, yaitu nilai kesehatan, nilai kebijaksanaan dan nilai kekudusan,” katanya dalam wawancara dengan Katoliknews.com, Selasa malam.
“Ketiga nilai inti ini seharusnya menjadi disposisi dan habitus bagi seluruh warga seminari,” katanya.
Pater Darmin mengatakan, tentu saja apa yang terjadi layak dikecam, karena sangat tidak manusiawi.
Ia pun mengapresiasi langkah Seminari yang responsif setelah mengetahui kasus ini, termasuk dengan menggelar pertemuan bersama orang tua.
“Pimpinan Seminari sudah mengakui apa yang terjadi dan meminta maaf. Kita mengapresiasi hal itu, sambil berharap bahwa mereka menjadikan ini sebagai titik tolak untuk melakukan pembenahan,” katanya.
“Saya kira, tidak hanya SMBSB yang belajar dari kasus ini, tetapi juga seminari-seminari lain,” tambahnya.
Ia menjelaskan, berdasarkan informasi yang ia peroleh dari pihak Keuskupan Maumere, di seminari itu memang ada kekurangan formator, dimana untuk 400 siswa hanya ada lima formator, sehingga Seminari mengangkat siswa Kelas XII untuk ikut menjadi pendamping bagi junior mereka.
Belajar dari kasus ini, kata dia, mesti dipikirkan baik-baik apa langkah untuk bisa menambah pendamping agar lebih memadai.
“Tidak hanya itu, para formator yang ditempatkan perlu betul-betul memiliki kemampuan untuk mendampingi dan membimbing siswa secara baik, yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang humanis,” katanya.
Selain itu, kata dia, pendekatan yang dilakukan juga mesti pendekatan personal, dengan penuh keterbukaan, kejujuran dan kepercayaan akan membuat para seminaris memiliki kepribadiaan yang matang secara manusiawi dan kristiani.
“Pendampingan secara personal ini perlu diatur secara rutin dan tenaga-tenaga yang ditugaskan mesti bisa memahami perkembangan kepribadian anak secara utuh, entah fisik, intelektual, sosial, emosional, moral dan spiritual,” tambahnya.
Ia menambahkan, hal yang juga tidak kalah penting adalah memperhatikan kurikulum seminari, agar ada integrasi yang jelas antara apa yang diajarkan di sekolah dengan apa yang dipraktekkan di asrama.
“Nilai-nilai dan pendidikan karakter mesti berjalan beriringan antara proses yang terjadi di ruang kelas dan di asrama, sehingga apa yang diajarkan di kelas selaras dengan apa yang dilakukan di asrama,” katanya.
Komentar