Frei Marciano A. Soares OFM
(Imam Fransiskan Fundasi Timor Leste)
Prologue. Kita sering mendangarkan kata-kata ini, cinta bertepuk sebelah tangan. Artinya kurang lebih cinta yang diberi tidak mendapat respons yang baik atau bahkan ditolak, karena yang dicintai memilih untuk mencintai yang lain. Ada juga pepatah dalam bahasa Latin yang mengatakan, “Amor non Amatur” kasih yang tidak dikasihi. Peristiwa Jumat Agung menggambarkan Allah yang sungguh mengasihi ciptaan-Nya; Allah yang merendah secara total memberikan diri untuk mengasihi manusia, akan tetapi manusia justru menyalibkan Dia. Manusia tidak hanya menolak tetapi menyalibkan di kayu salib. Allah adalah kasih yang tidak dikasihi.
Dua Realitas: Allah yang Selalu Mengasihi dan Manusia yang Menolak
Sejak dari perjamuan malam terakhir, di Taman Getsemani, di rumah Pilatus hingga Bukit Golgota, kita menyaksikan dua realitas. Realitas pertama ialah Allah Sang Kasih yang sudah dan selalu memberi diri kepada manusia kepunyaan-Nya. Allah yang begitu mencintai hingga terluka dan mati di kayu salib. Ellia de Lio mengatakan “The Crucified Love”. Kasih yang tersalib. Dalam perjalanan ke Golgota, ia menghendaki manusia untuk menangisi dosa-dosanya sendiri, Allah yang tidak membutuhkan belas kasih manusia untuk penderitaanya. Malainkan Allah yang menghendaki kesadaran dan perbtobatan manusia. Dalam perjalanan itu ia menghadiahkan sebuah lukisan wajah yang menderita kepada Veronika yang mengusapi wajah-Nya yang berlumuran darah dan kotor.
Di atas Bukit Golgota dalam penderitaan yang begitu dasyat dan detik-detik kematian Ia masih peduli dengan manusia, dengan menyerahkan Maria kepada Yohanes dan Yohanesan kepada Maria. Inilah ibumu dan inilah anakmu. Dalam detik-detik kematian, Allah menunjukkan pengampunan bagi mereka yang menyiksa dan menyalibk-Nya, “Tuhan, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”
Realitas yang kedua adalah realitas manusia. Mulai dari Taman Getsemani, kita menyaksikan beragam respons dari manusia. Murid yang berubah menjadi pengkhianat, para murid yang berlari ketakutan dan membiarkan Yesus menderita sendiri, dan Petrus yang menyangkal Yesus. Selain itu, kita melihat Umat Israel yang begitu labil, yang dengan cepat mengubah suara “hosana Raja Daud” menjadi “bunuh dan salibkanlah Dia”; serdadu-serdadu yang begitu ganas dan bengis menyiksa Yesus. Tua-tua kepala dan para pemuka agama yang begitu bengis mengadili Yesus; Pilatus yang demi jabatan dan presitise-nya mencuci tangan untuk kematian Yesus.
Akan tetapi, ada realitas manusia lain seperti Maria dan Yohanes yang setia mengikuti Yesus sampai Bukit Golgota; Simon Pedro yang menyesali dan menangisi tindakannya; Veronica yang dengan berani mengusapi Wajah Yesus; Simon Kirene yang membantu memikul salib Yesus; Istri Pilatus yang memberi pesan kepada Pilatus untuk tidak menghukum Yesus, karena Yesus adalah orang benar.
Anda dan Saya Berada di Mana?
Apakah kita berada pada pihak Yudas yang mengkhianati Gurunya? Atau Petrus yang menyangkal Sang Guru? Atau rakyat dan para pemuka agama yang berteriak dengan suara lantag “Salibkan Dia!”; atau bisa jadi kita adalah Pilatus yang mencuci tangan atas penderitaan Yesus? Dan lain-lain. Mari kita memeriksa hidup kita masing-masing.
Dewasanya ini kita berhadapan dengan keluarga-keluarga yang nyaris tidak ada kasih karena minimnya perjumpaan dan kebersamaan. Para ayah dan ibu acuh tak acuh terhadap anak-anaknya; pemerintah yang fokus dengan kepentingan dan kedudukannya mengabaikan mereka yang kecil, miskin dan terpinggirkan. Kita menjumpai orang-orang yang demi jabatan, uang, kelompok dan kepentingannya menindas sesama, mengeksploitasi alam dan mengabaikan para korban. Kita menjumpai orang-orang pintar yang menjunjung tinggi pembenaran, rasionalisasi daripada kebenaran. Kita juga menjumpai pembangunan-pembangunan yang tidak merata, yang lebih memudahkan dan mengabdi pada mereka yang beruang, memperkaya para kapitalis, kelompok tertentu dan mereka yang berkepentingan. Kita menjumpai sikap indeferent terhadap sesama ciptaan sebagaimana dikatakan oleh Paus Fransiskus. Itulah realitas kita.
Pada saat itulah kita mesti berhenti sejenak untuk merenung dan mengatakan pada diri kita. Mangapa saya masih di sini sebagai pengikut Kristus? Mari kita merenungkan peristiwa hari ini (Jumat Agung-red) untuk bangkit dari keterpurukan kita dan mengatakan bahwa saya dapat dan bisa berubah. Beberapa figur dalam perjalanan salib Yesus mengajarkan kita bagaimana menjadi manusia yang baik.
Pertama, belajar dari Yesus yang merendah, memberikan diri untuk keselamatan kita. Demi kasih-Nya yang begitu besar, Ia tidak tanggung-tanggung untuk mengampuni mereka yang mencemooh, menghujat, menyakiti, menyalipkan hingga menikam lambung-Nya. Dalam kesudahan-Nya, Ia mengatakan, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuah.”
Kedua, mari kita belajar dai Veronika untuk mengusapi wajah-wajah yang melarat dan miskin. Mereka yang kecil dan terpinggirkan yang membutuhkan kehadiran dan uluran tangan kita. Belajar dari Veronika, kita mesti menerobos dinding-dinding ego, gengsi, dan ketakutan-ketakutan untuk dekat pada mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Ketiga, belajar dai Simon Kirene untuk meringankan beban sesama kita. Mari kita dengan hati yang gembira dan ringan tangan untuk memberikan pertolongan bagi mereka yang menderita di sekitar kita. Keempat, mari kita belajar dari Maria, ibu Yesus yang selalu hadir dalam setiap derap Langkah dan penderitaan putra-Nya. Maria setia hingga Bukit Golgota, dengan hati yang pedih menyaksikan kematian Sang Putra. Mari kita juga setia dalam melayani mereka yang menderita, miskin dan terpinggirkan. Mendekatkan diri pada sesama tidak hanya waktu dia baik dengan kita, atau di kala dia masuk dalam kelompok kita, suku kita, atau partai kita tetapi menolong dia, karena dia adalah sesama manusia.
Kelima, Mari kita, belajar dari Pilatus untuk tidak mencuci tangan atas penderitaan sesama kita, hanya karena jabatan dan kenyamanan serta nama baik. Keenam, mari kita belajar dari Petrus untuk cepat sadar dan menyadari bahwa kita adalah orang-orang berdosa, agar kita mengubah diri kita menjadi lebih baik, dan mewartakan kasih dan keselmatan Allah kepada sesama dengan lebih serius.
Epilogue. Jumat Agung antara Taman Getsemani dan Bukit Golgota. Di Taman Getsemani dalam segala kegundahan, ketakutan dan ketakberdayaan, Yesus dengan aktif menyerahkan segala kemauan, ego dan diri-Nya pada rencana keselamatan Allah. Dengan sadar, ia mengatakan bukan kehendak-Ku, malainkan kehendak-Mulah yang terjadi. Fiat Yesus ini mengantar kita untuk menyadri dengan sungguh bahwa perayaan kamis putih menjadi nyata dalam peristiwa salib pada jumat Agung. Dari lambung Yesus, mengalir darah dan Air yang dapat menyucikan setiap manusia yang berdosa. Di atas salib, Allah memberikan diri sebagai santapan bagi manusia. Dalam peristiwa salib, kita dapat menyaksikan kealpaan kita, ketidak setiaan kita, sikap penghianatan, penyangkalan kita dan ketakutan kita untuk melayani sesama yang membutuhkan. Mari kita memperbaharui diri, belajar menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin.***
Komentar