Oleh: Fr Mathias Jebaru Adon SMM
Salah satu fakta yang tak terbantahkan bahwa manusia sangat bergantung pada alam. Manusia tidak bisa berdiri sendiri tanpa ditopang oleh alam dalam menata keberlangsungan hidupnya.
Kebergantungan manusia pada alam memperjelas keyakinan bahwa manusia dan alam memiliki relasi yang unik dan mendalam. Kedalaman relasi itu terletak dalam keyakinan bahwa manusia sejauh hidupnya di dunia pastilah tidak kekurangan satu pun, sebab segalanya telah disediakan oleh alam.
Sebaliknya, kemiskinan dan kelaparan terjadi karena ketidakadilan dalam tata distribusinya.
Ketidaksadaran akan ketergantungan ini menimbulkan sikap yang tidak tepat dalam menjalin relasinya dengan alam. Dalam keadaan seperti itu, manusia kerap kali menempatkan dirinya sebagai penguasa atas alam yang mewujud dalam perbuatan destruktif.
Pemahaman yang salah ini berawal dari mental konsumtif. Mental yang memanfaatkan kekayaan alam demi kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Alam tidak lagi dilihat sebagai ibu kehidupan yang memberikan hidup tetapi sebagai objek yang harus diwadahi.
Relasi subjek-objek inilah yang melahirkan krisis ekologis. Sebuah krisis yang mengancam keberlangsungan seluruh makhluk ciptaan. Krisis ini sungguh mengkwatirkan karena tidak hanya berlangsung saat ini, tetapi berdampak pada masa depan seluruh makhluk hidup.
Manusia yang hanya memikirkan kenikmatannya sendiri tidak peduli lagi dengan keutuhan lingkungan hidup. Inilah persoalan yang tengah dihadapi olah manusia di mellenium ketiga ini. Salah satu solusi yang bisa kita ambil untuk mengatasi persoalan besar ini adalah orang perlu disadarkan akan sikap serakahnya yaitu pola hidup konsumtif.
Pola hidup yang telah menjadi sebuah ideologi yang disebut konsumerisme. Konsumerisme adalah sebuah gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kenikmatan, kesenangan, kepuasan bahkan kebahagiaan.
Singkatnya, sebuah gaya hidup yang tidak hemat. Gaya hidup ini mengarah pada kecenderungan untuk menggunakan segala sesuatu sepuas-puasnya. Pangkal dari gaya hidup ini adalah sikap tamak dalam diri manusia.
Dampak Konsumerisme
Gaya hidup konsumtif lahir dari pemujaan terhadap materi. “Saya ada kalau saya memiliki barang” adalah satu semboyan yang melukiskan gaya hidup konsumtif. Keberadaan seseorang dinilai dari kepemilikan barang mewah.
Dampaknya kemanusiaan direduksi pada apa yang dimiliki. Keluhuran manusia diukur dari jumlah barang bermerek. Semakin mahal barang yang dimiliki seseorang semakin tinggi kemanusiaannya.
Sebaliknya, semakin murah barang yang dimiliki seseorang semakin rendah harga dirinya. Demi mencapai prestise yang tinggi seseorang berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
Harta adalah kumpulan dari Sumber Daya Alam. Orang kaya berarti orang yang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Kekayaan yang dikejar itu sebagian besar tersimpan dalam perut Bumi.
Untuk memperolehnya diperlukan usaha dan tenaga yang cukup maka dibangunlah tambang. Misalnya, Tambang Emas, tambang mangan, minyak dll. Tujuannya untuk memperoleh kekayaan dalam skala yang besar.
Persoalannya menjadi semakin besar karena tidak hanya perut Bumi yang dikuras, tetapi juga permukaan Bumi dikuliti dengan cara hutan ditebang dan dibakar. Dengan demikian konsumerisme erat kaitannya dengan krisis lingkungan hidup. Sebab, semakin tinggi kebutuhan akan barang-barang mewah semakin besar kerusakan alam.
Perilaku bersahabat dengan alam hanya mungkin apabila manusia memandang alam semesta dalam keseluruhannya. Artinya alam tidak boleh dilihat sebagai objek yang harus eksploitasi tetapi sebagai sumber kehidupan.
Alam bukanlah musuh manusia sehingga harus ditaklukkan. Manusia perlu disadarkan bahwa alam adalah salah satu penentu keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup. Sejarah telah membuktikan bahwa alam tidak hanya memberikan kehidupan kepada manusia tetapi juga kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang membuat manusia lebih luhur dan lebih bermartabat dari semua makhluk ciptaan lain.
Kebijaksanaan itu lahir dari relasi manusia dengan alam. Ketika para filosof Yunani memandang alam mereka terpesona oleh keindahannya. Kekaguman atas penampakan yang indah dari alam ini memunculkan berbagai pertanyaan.
Dari mana semua ini (alam semesta) berasal? Bagaimana momen terjadinya? Ke mana semuanya ini (alam semesta) bergerak dan siapa yang membuatnya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini kelak menjadi cikal bakal lahirnya filsafat.
Sebuah cara berpikir yang telah mengubah hidup manusia karena hasil permenungannya menjadi awal lahirnya berbagai disiplin ilmu.
Dengan demikian, rasionalitas bukan lahir dari teks tetapi dari pengalaman keseharian manusia dengan alam di sekitarnya. Karena itu, manusia mesti melihat alam sebagai ‘pribadi’ yang telah memberikan kehidupan dan kebijaksanaan.
Bagi orang yang berakal budi seharusnya alam dipandang sebagai representasi dari keteraturan. Maka hidup yang baik adalah hidup yang menyesuaikan diri dengan alam.
Sebuah kemunduran, jika manusia menggunakan kekayaan alam demi kepentingan dan kepuasan diri tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Jpicofmindonesia.com
Komentar