Arief Tandang
(Mahasiswa IFTK Ledalero. Tinggal di Unit Yosef Freinademetz)
Katoliknews.com – Yosfrei, begitu para biarawan SVD (Societas Verbi Divini/Serikat Sabda Allah) sering menyebut (menyingkat) nama Yosef Freinademetz, seorang misionaris sulung dan ulung dalam Kongregasi Sabda Allah.
Yosfrei dikenal sebagai misionaris perdana dalam SVD. Ia meletakkan fondasi yang mengagumkan bagi karya misi Gereja di Asia Timur, khusunya China.
Ia meninggalkan tanah kelahirannya Oies, Tyrol Selatan, Italia Utara untuk menyatu sampai mati di tanah misi, China.
Di tanah misi–dengan kultur yang baru–Yosfrei pertama-tama menjiwai dirinya dengan satu bahasa universal, bahasa yang menerobos sekat-sekat partikular, bahasa tiada batas material, ialah bahasa cinta (language of love).
Bagi Yosfrei, bahasa cintalah yang paling dapat dimengerti oleh semua bahasa manusia dari berbagai kalangan dan latar belakang berbeda sekalipun.
Bahasa itu pula yang menjadi moto penggerak misi pelayanannya selama di tanah misi: ”Love is the only language that everyone understands”.
Mempersiapkan perjalanan misioner selama kurang lebih 30 tahun, Yosfrei mulai belajar bahasa Mandarin dan dialek Hakka–bahasa orang Hakka, suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan Provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di China–mengenakan pakaian China, dan mulai menulis katekismus dalam bahasa China.
Track record-nya di China memberi sejumlah gambaran yang, hemat saya, murni sebagai pelayan. Ia bahkan tidak memilih menjadi imam yang melanglang buana dengan kendaraan mewah. Ia bukan imam yang enggan “melipat jubah” seusai misa dan khotbah.
Akan tetapi, ia adalah imam yang memilih berdebu-debu di pasar ketimbang necis di altar; imam yang, mengutip Paus Fransiskus, menjadi “gembala berbau domba”, mengakar dalam situasi umat dan hidup, tertawa, serta menangis bersama umat.
Yosfrei sudah membuktikan kualitas itu dengan baik. Ia memberi teladan untuk karya misi Gereja universal, para misionaris di seluruh dunia, terutama misionaris dan calon misionaris SVD sejagat.
Sekarang, di tengah zaman kian modern, model-model misi mungkin saja sudah berbeda. Namun, hemat saya, perubahan zaman tidak serta merta menggantikan spirit misioner seperti telah dibangun Yosfrei di China.
Zaman boleh berubah, tetapi komitmen misi, spiritualitas pelayanan tetap serupa dan mengarah kepada Allah dengan cara-cara “mengumat” dan berkarakter dengan situasi umat, sebagaimana Yosfrei buktikan di medan asing.
Yosfrei sedang menantang kita di zaman yang memang terlihat mudah dijelajah, tetapi sebetulnya sukar ketika di lapangan.
Identitas Gembala
Saat bertemu sekelompok imam asal Prancis yang sedang belajar di Roma, Paus Fransiskus memperingatkan para imam itu agar tidak menempatkan identitas sebagai “intelektual” di atas identitas sebagai “gembala”.
Awasan Paus Fransiskus cukup berdasar. Rupanya, gejala penegasan diri secara akademis ini sudah menjadi fenomena yang kian akrab untuk kalangan imam cum intelektual saat ini.
Boleh jadi Paus menaruh curiga, ada imam yang karena mengejar titel atau identitas intelektual, akhirnya lupa tugas utama sebagai gembala.
Alhasil, domba zero (prestasi) akademik melarat, menganga tak paham, sementara imam bersangkutan berleha-leha dengan identitas barunya.
Tentu saja, imam intelektual sama sekali bukan hal tabu. Bagi kebanyakan imam yang saya kenal, intelektualitas justru membantu misi pelayanan dalam ragam segi.
Para pujangga dan bapa-bapa Gereja yang memformulasi sekian banyak model misi dalam Gereja, ialah juga para imam cum intelektual.
Namun, ada pula para imam yang menjadikan identitas intelektual di atas identitas gembala. Inilah yang menghambat karya pelayanannya di tengah umat. Artinya, awasan Paus benar dan mesti ditanggapi secara serius.
Re-imagine dan Re-action
Spirit Yosfrei perlu diimajinasikan kembali (re-imagine). Hal itu agar menjadi daya yang mampu mendorong setiap pelayan Sabda: para misionaris dan para calon misionaris. Yakni untuk menjalankan kembali (re-action) roda misi, karya pelayanan yang sempat tercemar oleh aksi-aksi di lapangan yang kurang suportif untuk karya misi Gereja universal.
Dua fase ini tidak boleh terabaikan. Bagaimanapun juga, pada titik di mana model karya misi menemui situasi sulit, entah disebabkan oleh perubahan zaman yang radikal atau oleh karena kelambanan dan ketidakmampuan aktor-aktor misi (misionaris) di medan karya, pengimajinasian kembali serentak pendalaman spiritualitas pelayanan mesti menjadi agenda penting.
Dari fase ini (re-imagine), para misionaris dan calon misionaris akan lebih mampu melihat dengan jernih dan memutuskan tindakan (action) apa yang harus diambil.
Dalam konteks ini, Yosef Freinademetz, yang menjadi figur misionaris dalam SVD, ialah contoh, inspirator, sekaligus buku sumber bagi imajinasi dan aksi untuk karya misi Gereja pada umumnya dan SVD pada khusunya.
Para misionaris dan calon misionaris mesti (kembali) menjadi figur-figur “Yosfreitis” dengan menggali kebijaksanaan misioner seorang Yosfrei: menjadi gembala yang berbau domba, mematahkan sekat-sekat partikular dengan satu mantra, yakni bahasa cinta, memilih berdebu di pasar ketimbang necis di altar, dan lain sebagainya. Yosfrei menantang kita, para pelayan Sabda, misionaris, biarawan-biarawati, imam cum intelektual.
Gereja saat ini butuh Yosfrei-Yosfrei baru, yang berani meninggalkan kesenangan duniawi, rela berpisah sampai mati dengan keluarga dan negara asal, lekas menjadi kecil di tengah umat.
Para pelayan, seperti ditantang Paus Fransiskus, mesti membebaskan diri dari ide-ide yang terbentuk sebelumnya, mimpi akan kebesaran, penegasan atas diri.
Sebaliknya, Paus mengingatkan, Tuhan dan orang lain terutama yang miskin dan tertindas mesti menjadi pusat perhatian setiap hari dalam karya pelayanan.)***
Komentar