Katoliknews.com – Gereja Katolik memang unik. Komunio dan semangat inklusif umat di daerah-daerah pelosok sungguh terpelihara. Mereka tidak terhasut oleh perbedaan. Stasi St Maria Goreti Simpang Rimba di Wilayah Kabupaten Bangka Selatan adalah salah satu contohnya.
Umatnya terdiri dari enam belas kepala keluarga. Mereka, yang umumnya beretnis Flores dan Jawa itu tinggal di antara keyakinan lain yang menjadi mayoritas di kota kecamatan itu.
Beberapa meter dari pintu kapel stasi, ada semacam altar sembahyang Kong Hu Cu. Dan, sekitar 50 meter dari kapel, berdiri sebuah surau.
“Kami merasa tidak dipersulit untuk membangun gereja atau ataupun tempat-tempat rohani lain,” jelas Ketua Stasi Simpang Rimba yang biasa disapa Om Andreas.
“Kami hanya kesulitan mendapat dana untuk membangun gereja,” imbuh pria yang disegani di daerah transmigrasi dekat Simpang Rimba itu.
Ketika Katoliknews.com menjumpai umat di sana pada Sabtu, 11 Maret 2017, wajah mereka tidak pernah lepas dari senyum sumringah.
Ada umat yang membawa rantangan. “Ini makanan yang akan disantap setelah misa nanti,” kata isteri Om Andreas.
“Kami biasanya makan di ruangan belakang gereja. Tetapi, saat ini, ruangan itu dipakai oleh para tukang yang membangun gereja baru, maka kami makan di rumah Pak Johan, ketua seksi liturgi,” sambung Alimus.
Dan terbukti benar. Usai misa, semua berjalan ke arah jalan raya, tepatnya ke rumah Pak Johan.
Di rumah berdinding papan itu, tersedia hidangan untuk makan malam.
Mereka menghidangkan makanan yang dibawa dari rumah masing-masing. Mereka saling bercanda.
Mereka pun mengakui, kadang heran, karena kendati mereka sederhana dan tergolong miskin, tetapi para pastor begitu betah berada bersama mereka.
“Setiap pastor yang pernah bertugas di sini pasti pada waktunya juga mau datang lagi menjenguk kami. Kami pun heran, apa yang menarik di sini?” tanya Agustinus retoris.
Kebiasaan makan bersama setelah misa rupanya sudah menjadi tradisi.
“Setiap kali ada misa di stasi ini, kami membawa makanan dari rumah dan makan bersama-sama di sini,” jelas Agustinus.
“Inilah cikap bakal Komunitas Basis Gerejani (KBG) yang dimulai oleh Romo Lucius Poya Pr dan Romo Frans Adbauw Pr, ketika kami masuk di paroki Koba,” jelas Agustinus.

Dalam obrolan berama mereka, rumah ibadah yang mereka miliki itu dinamai Kapel. “Kami menyebut kapel karena ukurannya hanya 7×9 M,” jelas Alimus.
Ia menuturkan, kapel mungil itu dibangun pada tahun 1994, pada zaman Pastor F X Hendrawinata Pr menjadi pastor Paroki Katedral Pangkalpinang sekaligus merangkap Vikjend Keuskupan Pangkalpinang.
Lantas beberapa tahun lalu, kata Alimus, Romo Agustinus Pramodo Pr mencetuskan ide agar di stasi yang pernah menjadi wilayah paroki Katedral Pangkalpinang dan Paroki Koba itu, mendapatkan gereja baru.
“Maka mulai dua bulan lalu, mulai dibangun gereja baru dengan ukuran 15×15 M. Semoga banyak donatur yang terketuk hatinya untuk membantu pembangunan gereja kami,” imbuh Alimus.
Kini, proses pembangunan gereja mereka sedang berjalan. Alimus, yang pada Sabtu lal membacakan pengumuman mengajak umat untuk ikut berpartisipasi.
“Minggu esok, 13 Maret 2017 kita bergotong royong mencuci genteng yang akan dipakai sebagai atap gereja baru,” katanya.
Stefan/Katoliknews
Komentar