Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta ketentuan tentang sekolah minggu tak perlu diatur dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan.
Dalam draf RUU tersebut tercantum pengaturan atas pengadaan atau penyelenggaraan sekolah minggu yang dilakukan umat Kristen (Pasal 69 ayat 1-4) dan Katolik (Pasal 85 ayat 1-4).
Seperti dilansir CNNIndonesia.com, menurut JK pengaturan Sekolah Minggu dalam RUU tersebut akan menyulitkan pemerintah.
“Semua agama punya cara untuk pendidikan. Kalau Kristen/Katolik itu ada Sekolah Minggu untuk anak-anak, kalau kita (Islam) juga sama, ada pengajian TPA. Kalau itu semua diatur pemerintah kan susah amat itu,” ujar JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (30/10).
“Saya kira patut diperhatikan itu. Jangan nanti Sekolah Minggu atau pengajian harus semua minta izin negara itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) melalui Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) mengkritisi sejumlah poin dalam draf RUU tersebut.
“RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan itu belum pernah dikonsultasikan dan mendapat tanggapan serta masukan dari insitusi Gereja Katolik di Indonesia,” demikian keterangan KWI yang ditandatangani Sekretaris Komisi Kerawam, Siswantoko, Senin (29/10).
Selain itu, ditegaskan bahwa ada lima poin bagian dari RUU tersebut dari mulai judul hingga isi yang perlu diperhatikan untuk diubah, dan/atau tidak perlu diatur.
“Terhadap RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Kami akan memberikan daftar isian masalah (DIM) sandingan secara lengkap kepada Presiden sebagai bahan pertimbangan pengisian DIM dan kepada DPR RI dalam membantu pembahasan RUU ini,” demikian pernyataan KWI tersebut.
Sementara itu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dalam pernyataan sikap sejak Rabu (23/10), menilai bahwa penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia.
“Kecenderungan ini dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama,” demikian pernyataan PGI.
PGI menyatakan mendukung Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini menjadi undang-undang sejauh hanya mengatur kepentingan Pendidikan formal dan tidak memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia seperti pelayanan kategorial anak dan remaja menjadi bagian dari RUU tersebut.
Untuk diketahui pada salah satu ayat RUU ini, diatur bahwa pendidikan keagamaan nonformal bagi umat dua agama itu harus memiliki peserta paling sedikit 15 peserta didik.
Katoliknews
Komentar