Katoliknews.com – Sebuah acara doa bersama disertai dengan aksi solidaritas atas kematian George Floyd digelar di Vatikan pada Jumat malam, 5 Juni 2020.
Acara ini diinisiasi oleh Komunitas Sant’Egidio demi terwujudnya “hidup berdampingan secara damai” di Amerika Serikat (AS), yang kini masih terus dilanda kerusuhan sebagai respons atas kematian warga kulit hitam itu.
“Kita berdoa untuknya, untuk keluarganya, tetapi kita juga berdoa malam ini untuk Amerika Serikat, untuk semua orang, agar mereka menemukan kedamaian, ketenangan dan ada saling memahami di antara mereka,” kata Kardinal Kevin Farrell dalam acara itu, seperti dilansir Crux.
Ia menyatakan, Gereja Katolik dekat dengan semua orang, mereka yang mengalami kekerasan dan diskriminasi di AS.
Meskipun lahir di Dublin, Kardinal Farrell melayani sebagai uskup auksilier di Keuskupan Agung Washington dari tahun 2002-2007 dan uskup Dallas dari tahun 2007-2016, hingga kemudian ia ditugaskan di Vatikan.
BACA JUGA: Rasisme dan Kematian George Floyd: Para Uskup Marah, Aksi Protes Masih Terus Meluas
Mengacu pada sejumlah protes yang berakhir dengan kekerasan dan vandalisme, ia meminta “setiap kekerasan di jalanan Amerika Serikat dihentikan, bahwa setiap rasisme diatasi, keadilan ditegakkan dan bahwa orang-orang di Amerika Serikat dapat kembali hidup dalam ketenangan dan kedamaian, hal yang sangat dibutuhkan dalam masa yang sulit ini.“
Acara ini diselenggarakan setelah kematian Floyd hampir dua minggu yang lalu dan protes global yang telah terjadi.
Floyd meninggal dalam tahanan polisi setelah seorang petugas berlutut di leher dan punggungnya selama hampir sembilan menit, di mana mereka mengacuhkan kata-kata Floyd bahwa ia tidak bisa bernapas.
Disiarkan langsung dari Basilika Santa Maria di Trastevere, acara doa ini adalah salah satu pertemuan publik formal pertama yang diselenggarakan setelah pembatasan akibat COVID-19 dicabut di Italia.
Basilika penuh dan acara tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh dan duta besar untuk Tahta Suci. Protokol kesehatan seperti menjaga jarak dan mengenakan masker tetap diberlakukan.
Dalam sambutannya, Farrell menyinggung soal gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat tahun 1960-an dan 70-an dan mengatakan bahwa sementara orang mungkin cenderung berpikir bahwa “setelah bertahun-tahun berjuang untuk hak-hak sipil dan kesetaraan ras,” ketidakadilan di masa lalu tidak akan terulang diri.
Namun, kata dia, ternyata masih ada masalah-masalah seperti itu.
“Persaudaraan sosial harus selalu dibangun kembali, tidak pernah dicapai dengan cara yang stabil dan pasti, karena hati manusia selalu dapat menutup diri dalam keegoisannya dan kembali menjadi tercemar oleh dosa, sehingga menyebabkan ketidakadilan baru, kekerasan baru, penindasan baru,” katanya.
Ia menegaskan. orang Kristen mesti memberi sumbangan berharga, karena setiap orang yang dibaptis harus hadir sebagai “tempat tinggal” bagi Allah di mana tidak ada ruang untuk kebencian atau penghinaan.
Menyinggung bahwa Amerika Serikat sejak kelahirannya bersifat multikultural, multietnis, dan multiagama, Farrell menunjuk pada prinsip-prinsip pendiri bangsa yang meliputi “kesetaraan semua orang, hak yang tidak dapat dicabut untuk hidup dan kebebasan yang diberikan oleh Sang Pencipta bagi semua orang, toleransi, hidup berdampingan secara damai, kesempatan yang sama untuk kesejahteraan bagi semua.”
BACA JUGA: Tanggapi Aksi Demo Terkait Kematian Floyd, Paus Fransiskus: Tidak Ada Toleransi Bagi Rasisme
“Cita-cita ini tertulis dalam DNA Amerika Serikat dan merupakan bagian dari dokumen pendiriannya,” katanya, sambi menekankan bahwa hal0hal itu “tidak lebih dari terjemahan niai-nilai dalam agama Kristen ke dalam bahasa hukum sipil.”
Selain acara doa di Vatikan itu, protes atas kematian Floyd juga dilakukan di sejumlah lokasi di Italia, negara yang juga memiliki masalah dengan isua rasial, di mana para pemain sepak bola profesional kulit hitam kadang-kadang masih dicemooh atau dipanggil monyet.
Komentar