Katoliknews.com – Langkah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan yang mengkonversi Hagia Sophia dari status sebelumnya sebagai museum menjadi masjid telah memantik beragam reaksi di seluruh dunia, termasuk Paus Fransiskus.
Pada 10 Juli 2020, Erdogan mengumumkan keputusannya dan menyebut shalat pertama di tempat bersejarah itu akan diadakan pada 24 Juli.
Guru Besar Sejarah Gereja di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Romo Antonius Eddy Kristiyanto, OFM yang pernah mengunjungi Hagia Sophia menyebut keputusan Erdogan sebagai sebuah langkah mundur.
Pasalnya, kata dia, Istanbul, ibukota Turki tidak kekurangan tempat ibadat bagi umat Muslim yang adalah mayoritas.
Karena itu, jelasnya, semestinya negara itu tidak membutuhkan tempat baru untuk ibadat.
Apalagi, jelasnya, ketika pada 2015 mengunjungi Hagia Sophia, selain masih berfungsi sebagai museum, pada bagian tertentu, tempat itu dimanfaatkan untuk ibadah, sholat, dan Jumatan.
“Tetapi kiranya bukan Islam di Turki (yang) membutuhkan tempat ibadah, melainkan ada alasan lain,” kata Romo Eddy kepada Katoliknews.com, Kamis, 16 Juli 2020.
Penulis buku “Seandainya Indonesia Tanpa Katolik” itu melihat sikap Presiden Erdogan terutama bermakna politis, yakni untuk mendapat dukungan dari Islam politis demi posisi tawar menawar dengan Israel yang menguasai Al-Aqsa.
Lewat keputusannya, kata Romo Eddy, Erdogan mempertontonkan dengan terang eksklusivitas Islam politik yang ia peluk dan terapkan.
Menyusul adanya keputusan ini, lanjutnya, “Hagia Sophia tertutup bagi turis yang bermaksud mengenang masa lalu.”
Sementara itu, dari segi kepentingan Gereja Katolik Roma, kata mantan Ketua STF Driyarkara ini, tidak ada yang signifikan dalam pusaran konflik tersebut, “kecuali yang berkenaan dengan masalah budaya, historisitas, keterbukaan yang hendaknya menjiwai kemanusiaan yang universal.”
Secara historis, kata Romo Eddy, Hagia Sophia yang dibangun pada tahun 537 merupakan basilika, di mana terdapat cathedra (takhta resmi) Patriark Ekumenis Konstantinopel untuk mengucapkan ajaran dan pandangan moral resmi Gereja.
Dalam konteks ini, peran Konstantinopel, sejajar dengan Roma, Antiokhia, Alexandria dan Yerusalem. Dalam Konsili Chalsedon (451), kedudukan Konstantinopel itu ditetapkan.
Setelah penaklukan Ottoman atas Konstantinopel pada tahun 1453, basilika itu diubah menjadi masjid dan nama kota itu diubah menjadi Istanbul.
Pada tahun 1934, Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Republik Turki, mengubah Hagia Sophia menjadi museum, yang kemudian menjadi situs warisan dunia UNESCO.

Terkenal akan kubah besarnya, Hagia Sophia dipandang sebagai lambang arsitektur Bizantium dan dikatakan “telah mengubah sejarah arsitektur.”
Karena nilai sejarahnya itu, kritik terhadap kebijakan Erdogan disampaikan sejumlah pihak.
Saat berbicara di hadapan para peziarah di Basilika St Petrus, Minggu, 12 Juli 2020, Paus Fransiskus mengatakan ‘sangat sedih’ dengan keputusan itu.
“Saya memikirkan Istanbul. Saya sedang memikirkan Hagia Sophia. Saya sangat sedih,” kata Paus, seperti dilansir Vaticannews.va.
Sementara itu Patriark Ekumenis Ortodoks Timur Bartolomeus I dari Konstantinopel mengingatkan bahwa Hagia Sophia bukan hanya milik orang-orang yang hidup pada zaman ini, tetapi seluruh umat manusia.
“Orang-orang Turki memiliki tanggung jawab besar dan kehormatan untuk membuat universalitas monumen yang indah ini bersinar,” katanya.
Ia menambahkan, dengan statusnya sebagai museum, Hagia Sophia berfungsi sebagai “tempat pertemuan simbolik, dialog, solidaritas dan saling pengertian antara Kekristenan dan Islam.”
Bartolomeus, pemimpin spiritual 300 juta orang Kristen Ortodoks menyatakan, langkah Erdogan memicu “jutaan orang Kristen di seluruh dunia menentang Islam.”
UNESCO ikut mengkritik hal ini dan mengatakan dengan tercatatnya bangunan itu sebagai warisan Turki terikat komitmen untuk memastikan bahwa tidak ada modifikasi yang dilakukan terhadap nilainya yang bersifat universal.
Bagi Perdana Menteri Yunani, Kyriakos Mitsotakis, konversi itu menjadi penghinaan terhadap karakter ekumenis Hagia Sophia.
“Selain itu, ini adalah keputusan yang menyinggung semua orang yang mengakui Hagia Sophia sebagai bagian tak terpisahkan dari warisan budaya dunia,” katanya.
“Keputusan ini jelas mempengaruhi tidak hanya hubungan Turki dengan Yunani, tetapi juga hubungannya dengan Uni Eropa, UNESCO, dan komunitas dunia secara keseluruhan,” tambahnya.
Sementara itu, Erdogan bersikeras pada keputusannya dan menyebut seua kritik sebagai “serangan terhadap kemerdekaan kami.”
Mengubah Hagia Sophia jadi masjid, kata dia, bagian dari kedaulatan negaranya.
Ian Saf
Komentar