Katoliknews.com – Atap bangunan itu tampak keropos dan lapuk karena termakan usia. Beberapa tiang penyangga juga telah dimakan rayap. Masalah waktu saja menunggu ambruk.
Itulah kondisi bangunan Wisma Mahasiswa Surakarta (WMS) yang saat ini memprihatinkan, namun dulu berjasa ‘melahirkan’ tokoh-tokoh dan aktivis mahasiswa Katolik.
Sejak bulan Maret, Pemerintah Kota Surakarta menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) akibat wabah Covid-19. Aktivitas masyarakat pun banyak yang berhenti, termasuk kegiatan kuliah tatap muka. WMS yang biasanya ramai karena aktivitas mahasiswa kini menjadi sepi. Para mahasiswa yang kebanyakan tinggal di kost memilih untuk pulang ke rumahnya masing-masing.
Hanya bangunan kapel di WMS yang masih tampak bagus karena baru dibangun beberapa tahun lalu. Namun, kondisi bangunan lainnya sungguh memprihatinkan. Beberapa plafon sudah ada yang ambruk dan bila hujan, langsung banjir di sekitar bangunan tersebut.
Di Tengah Lokasi Prostitusi
WMS berada di belakang kompleks Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Kawasan RRI ini selama ini dikenal sebagai kawasan prostitusi di Kota Solo. Tempat itu bukan lokalisasi, namun kenyataannya banyak Pekerja Seks Komersial yang beroperasi di sana. Siapapun yang berkunjung ke WMS saat menyusuri gang kecil, akan mudah bertemu dengan PSK maupun germonya.
Aktivitas mereka sering pula mengganggu para tamu dan mahasiswa yang berkunjung ke WMS. Tidak hanya para mahasiswa yang cemas, bahkan warga sekitar juga resah lantaran wilayahnya menjadi tempat “mangkal” para PSK.
Karena lokasi WMS berdekatan dengan hotel-hotel sekitarnya, WMS pun sering dikira hotel. Pernah ada lelaki hidung belang masuk ke WMS dan menawar mahasiswi yang sedang beraktivitas.
Sejarah WMS
WMS memang bekas hotel bernama Hotel Larasati. Kemudian pemilik hotel menjualnya dalam kondisi merugi dan pernah terjadi kasus bunuh diri dua kali di hotel tersebut.
Romo FX. Willenborg Widodo, SJ (alm.) yang membelinya dan menjadikan tempat itu sebagai lokasi kegiatan kemahasiswaan.
Sebagaimana dalam karya pelayanan Serikat Jesus (SJ), di mana ada Perguruan Tinggi Negeri (PTN), diusahakan ada wisma mahasiswa di daerah itu. Menjelang tahun 1980, kegiatan kemahasiswaan dimulai di WMS.
Bangunan seluas 2.200 meter persegi itu, berdiri di Jalan Kestalan 15 dan Romo Widodo, SJ ang pertama kali menjadi pendamping mahasiswa di WMS (1970-1990).
Pada awal berdirinya, WMS menjadi pusat kegiatan rohani bagi para mahasiswa Katolik di Surakarta. Kemudian, berbagai aktivitas mahasiswa muncul, seperti kelompok studi, pendampingan kaderisasi, kelompok teater, jurnalistik dan fotografi. Ada pula pelayanan konsultasi hukum, yang dibuat oleh mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Di WMS ada juga Perpustakaan Mahasiswa Surakarta (Permata) yang membantu mahasiswa mencari buku referensi perkuliahan. Buku-buku di Permata ini banyak digunakan oleh mahasiswa sebagai bahan kajian untuk perkuliahan dan rujukan dalam penelitian.
Aktivitas mahasiswa di WMS ini juga menyentuh lapisan masyarakat kecil, lemah, miskin, dan tertindas, dengan membentuk biro konsultasi hukum dan poliklinik untuk pengobatan murah.
Para mahasiswa Katolik selalu menganggap WMS adalah “rumah” kedua bagi mereka. Di tempat itu mereka belajar membentuk kepribadian dan karakter. Semua kegiatan pendampingan adalah langkah persiapan diri sebelum terjun ke masyarakat.
Mereka yang pernah aktif di WMS ini mungkin bersyukur karena bisa mengalami berbagai kegiatan pelatihan kaderisasi dan ketrampilan yang justru tidak didapatkan di kampus.
WMS sampai saat ini telah ikut “melahirkan” tokoh-tokoh yang telah berkecimpung di masyarakat. Dan mereka telah banyak tersebar di seluruh Indonesia. Ada yang menjadi wakil rakyat, dosen, advokat, dokter dan berbagai profesi lainnya.
Cerita Hati dari WMS
Tidak adanya kegiatan karena pandemi semakin membuat bangunan tua di WMS semakin sepi. Bangunan tua yang telah banyak berjasa dan menjadi “rumah” bagi mahasiswa dari tahun ke tahun nampaknya semakin merana.
Otoritas Gereja juga belum menyediakan biaya pemeliharaan dan perbaikan renovasi.
Di WMS, banyak orang muda dilatih untuk mengolah rasa, hati dan pikiran untuk sesama. Para mahasiswa tidak hanya belajar soal ilmu semata. Namun, mereka juga belajar berbagi dan saling peduli, seperti ikut berbela rasa dengan kaum marginal, terutama dengan para PSK yang berada di sekitar lingkungan wisma.
Kerap kali mahasiswa dari Fakultas Kedokteran UNS mengundang dokter untuk memberikan edukasi kesehatan dan pengobatan gratis kepada para PSK. Para mahasiswa juga ikut terlibat mengadakan kerja bakti bersama masyarakat dan bakti sosial memberi sembako bagi penarik becak dan pemulung di sekitar wisma.
Di WMS ini, telah banyak orang-orang muda berhasil menenun aktivitas mereka. tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk sesama. Tenunan kisah-kisah mereka telah tersebar dan diwartakan hingga ke ujung bumi sebagai cerita hati. Cerita itu akan dikenang oleh mereka yang pernah terlibat dan belajar di sana.
Kondisi bangunan di WMS yang memprihatinkan serta adanya praktek prostitusi di sekitarnya, memerlukan sebuah solusi.
Otoritas Gereja setempat bersama Komisi Kerasulan Mahasiswa (Kokerma) Surakarta perlu memikirkan tempat yang lebih layak guna pendampingan para mahasiswa. Koordinasi ini penting dalam mencari solusi terhadap keberadaan WMS saat ini, apakah perlu tukar guling atau jual untuk beli di lokasi lain yang dekat area kampus.
Romo L. Bagus Dwiko, SJ yang saat ini sebagai Moderator Pendamping Mahasiswa Surakarta secara aktif memberikan pendampingan bagi para mahasiswa di WMS.
Sejak Romo Dwiko menjadi moderator, istilah WMS sekarang diganti namanya menjadi Pusat Pastoral Mahasiswa Surakarta (Parmas).
“Pendampingan bagi mahasiswa saat ini agak tersendat karena kondisi keberadaan Parmas yang makin memprihatinkan, banyak bangunannya yang sudah mulai rusak dan hancur,” cerita Romo Dwiko.
Seiring perkembangan dan tuntutan jaman, mahasiswa Katolik memang masih perlu pusat kegiatan bersama di tempat yang lebih memadai. Keberadaan tempat yang memadai memungkinkan terselenggaranya kegiatan kaderisasi dengan baik. Dengan demikian, para mahasiswa semakin terlibat aktif, baik dalam kehidupan gereja maupun masyarakat luas.
Elias Anwar, Surakarta
Komentar