Oleh: LORENSIUS
Seminggu yang lalu, saat saya sedang membersihkan pesan-pesan di WhatsApp, saya menemukan satu pesan yang dikirimkan seorang siswa pada bulan Oktober 2020. Isinya berupa curhat. “Pak, bosan nggak ada pelajaran. Masa seminggu ini kita lomba-lomba aja? Nggak seru!” kata siswa itu ditutup dengan emoticon menangis. Entah dia benar menangis atau tidak, tapi perasaannya yang bosan itu menandakan dia rindu belajar.
Padahal, lomba-lomba dalam rangka peringatan Santo Fransiskus Assisi yang diadakan pada bulan Oktober itu di sekolah kami juga memiliki nilai yang dapat dipelajari. Belajar di sekolah tidak melulu untuk mencari nilai akademik yang mentereng di rapor. Ada nilai karakter yang ingin ditanamkan.
Seperti pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55, 16 Mei 2021 mendatang, “Datang dan lihatlah.” (Yoh 1:46), kita harus sungguh-sunguh datang dan melihat ke dalam diri para siswa. Mereka semua sama derajatnya, tetapi untuk bisa membuat mereka semua tersenyum, kita harus datang kepada mereka, melihat setiap cerita yang mereka miliki. Karena dalam komunikasi, tidak ada yang bisa sepenuhnya bisa menggantikan “melihat” secara pribadi.
Sering mendapat pertanyaan dari WhatsApp, sesekali dari Instagram para siswa, ada rasa sesal ketika memposisikan diri untuk terus menjawab pesan anak-anak itu – meski ini jadi bagian untuk datang dan melihat. Semua hal mereka ceritakan, mulai dari pelajaran yang paling disukai dan paling membosankan, sampai teman sekelas yang diam-diam mereka perhatikan.
Saya jadi punya banyak cerita, tapi juga jadi mengalami miris berkali-kali, dan itu rasanya lebih sedih dibanding melihat pujaan hati menikah dengan orang lain. Kebanyakan yang membuat hati ini miris adalah keluhan para siswa itu pada sistem pendidikan dan bagaimana mereka belajar dan diajar.
Guru, siapapun dia dan bagaimanapun latar belakangnya pasti akan merasa sedih ketika anak-anak tidak belajar dengan nyaman. Alangkah indahnya jika setiap mata pelajaran dicintai dan dirindukan. Tentu, setiap anak berbeda, bakat dan minatnya juga tidak sama.
Para guru juga begitu. Mereka tidak seperti mesin pencari Google yang bisa tahu semua. Semua guru harus melakukan inovasi agar setiap siswa merasa nyaman meski dalam pelajaran yang tidak ia cintai dan tidak ia rindukan sekalipun.
Andai Google Bisa Teriak
Beruntungnya Google tidak pernah protes ketika para guru mencari bahan inovasi pembelajaran di sana. Andai saja Google bisa teriak, “Jangan akses aku terus … mandiri dong Pak Guru!” Bisakah para guru tetap membuka jendela seluas-luasnya, tanpa googling?
Anak-anak semua belajar dengan sistem yang baru, tapi para guru mengajar dengan sesuatu yang juga baru. Pedagogik (ilmu dan seni mendidik) yang mereka dapatkan sewaktu belajar jadi Sarjana Pendidikan, tidak pernah menunjukkan cara mengajar daring. Belum lagi, banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang kompetensinya. Misalnya, guru lulusan Bahasa Inggris, bisa saja diminta mengajar prakarya, entah karena memang kekurangan guru, atau untuk memenuhi jumlah minimal jam mengajar, supaya rapor sekolah di sistem (website) Data Pokok Pendidikan (Dapodik) tidak merah.
Tapi, dengan segala keterbatasan yang ada – usia, penguasaan teknologi, sumber daya teknologi yang terbatas – para guru tetap mencoba dan mencoba. Meski, tidak semua guru sempurna, tidak sedikit yang berjuang untuk turun ke jalan – menghabiskan sol sepatu, agar mengerti situasi para siswa, orang tua mereka dan situasi kehidupan mereka di tengah pandemi.
Banyak anak yang betah belajar daring, banyak pula yang tidak betah. Kebanyakan tugas. Itu adalah frasa yang sering kita dengar. Bahkan di awal PSBB 14 hari setahun yang lalu, seorang siswa di Jawa Tengah sampai berani mengirim dirrect message (DM) ke Instagram Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Siswa itu protes ke gubernurnya karena kebanyakan tugas dari sekolah. Akhirnya, siswa itu diundang Ganjar ngobrol di Youtube-nya.
Banyak yang Tetap Memaki
Akhirnya, banyak yang tetap memaki, guru hanya memberi tugas. Mungkin saja itu benar, tapi yang bikin sedih makian itu muncul tanpa si pemaki datang dan melihat. Semua hanya bermodalkan cerita ‘guru aktif memberi tugas, mengajar setengah-setengah’. Para guru itu kan juga takut Covid-19.
Ada kolega saya seorang guru senior yang saking takut dengan virus ini berat badannya sampai turun drastis. Dia stres. Tapi, sebisa mungkin dia tetap mengajar, tidak memberi tugas melulu seperti kata banyak orang. Belum lagi misalnya selain mengajar, banyak guru yang tetap harus mengurus suami, bahkan anaknya yang juga belajar daring. Jadi pandemi, bukan sarana untuk main salah-salahan. Kondisi jaga jarak itu, ya memang bikin kita lebih aman di rumah saja.
Setelah masa awal-awal Covid-19 itu, pendidikan daring jalan terus. Bukan cuman pemerintah yang tidak mau ambil resiko generasi penerus bangsa terinfeksi virus, tapi juga semua orang tua khawatir. Beberapa memang ya ikut saja, ada yang siap dengan segala protokol kesehatan hingga yakin anaknya tidak apa-apa, ada juga orang tua yang pasrah saja.
Tahun Ajaran Baru 2020/2021
Sekitar dua minggu setelah tahun ajaran 2020/2021 dimulai, semakin banyak siswa yang mengeluh dengan pembelajaran daring. Katanya bosan tiap hari di depan gadget, dari pagi hingga siang belajar dengan aplikasi-aplikasi video conference. Bahkan ketika mendapat tugas, banyak lagi yang mengeluh katanya tugas kebanyakan, mereka lelah mengerjakan. Padahal porsinya sudah dikurangi dari tugas yang dulu diberikan sewaktu pembelajaran tatap muka.
Bahkan banyak peserta didik – yang berani speak up dalam beberapa kesempatan – terus menyerukan kelelahan belajar daring, terutama dengan banyaknya tugas. Belum terhitung yang mengeluh karena kuota dan jaringan internet yang lelet. Lebih banyak lagi siswa yang benar-benar merasa bosan di rumah.
Namun, mereka semua jauh lebih beruntung. Kita lihat di seluruh penjuru tanah air, banyak yang harus pinjam HP tetangga untuk belajar online ini. Ada yang tidak bisa ikut belajar, karena memang benar-benar tidak punya HP. Urusan kuota anggaplah itu selesai dengan kuota belajar bantuan pemerintah, juga dengan implementasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diprioritaskan untuk membantu belajar daring.
Beda lagi untuk urusan jaringan internet. Jangankan untuk akses internet, jaringan listrik saja masih banyak tempat di Indonesia yang pasokan listriknya terbatas. Saya terkejut ada seorang siswa saya yang terlambat ikut pelajaran karena nyala listrik di tempatnya terbatas. Dia memang sedang di kampung, tapi jarak kampungnya dengan ibu kota provinsi dua jam perjalanan.
Dulu saya berpikir daerah-daerah terdepan, terluar, tertinggal adalah daerah tapal batas Indonesia dengan negara-negara tetangga, ternyata masih banyak daerah-daerah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kota-kota besar yang masih tertinggal. Ah, entah apakah ketiadaan listrik di malam hari dapat dijadikan indikator daerah tersebut disebut tertinggal?
Setumpuk Masalah
Dengan setumpuk masalah di atas, pembelajaran daring memang terus dikeluhkan. Lebih terasa keluhannnya, ketimbang seragam sekolah yang tidak gratis, buku yang masih harus ditebus, sampai makanan kantin yang tidak higienis. Keluhan-keluhan itu masih terdengar biasa, dan kadang justru jadi bumbu pemanis di sekolah. Misalnya ketika tidak bisa beli seragam, kita diberi punya kakak kelas atau tetangga yang sudah lulus, biasanya nama di seragam lupa dilepas. Siswa laki-laki, tapi nama diseragam nama perempuan.
Atau saat tidak bisa menebus buku paket, kita pinjam lagi, kadang-kadang di buku ada coretan ‘Thomas sayang Dini’ atau ‘Lionel (tanda love) Siska’, atau tanpa sengaja ada surat cinta yang terselip di buku itu. Kita pasti akan senang dan tertawa dengan semua kejadian itu, padahal seragam dan buku yang kita pinjam berasal dari sebuah keluhan.
Contoh lagi, di kantin. Kita dan teman-teman saling mengejek, saling tertawa ketika tahu ibu kantin memakai sedotan berkali-kali, sehabis dipakai dikumpulkan lagi, dicuci, dikeringkan lalu dipakai lagi waktu jualan esok hari. Lalu, kita semua akan saling berlagak tidak pernah minum pakai sedotan di kantin, akhirnya saling tertawa ngakak bahkan saat guru matematika paling killer sudah masuk di kelas.
Semua itu menjadi cerita, karena kita ada dalam ceritanya, saling datang, melihat dan kemudian seperti kata Beato Manuel Lozano Garrido, “Buka mata Anda dengan takjub terhadap apa yang Anda lihat.”
Saya semakin teringat momen Oktober tahun 2020 lalu, ketika sekolah kami –SMP Santa Maria Banjarmasin mengadakan peringatan Santo Fransiskus Assisi –diperingati setiap 4 Oktober–. Kami biasa menyebutnya dengan Pekan Fransiskan.
Dari Senin sampai Jumat tidak ada pembelajaran. Semua siswa diarahkan untuk mengikuti lomba-lomba. Ada lomba deklamasi puisi, menyanyi lagu Fransiskan, menggambar manual dan digital (dengan aplikasi), dan story telling tentang kisah Santo Fransiskus Assisi.
Baru dua hari pelaksanaan lomba, sudah banyak yang mengeluh lagi. Ada yang ogah-ogahan mengikuti lomba. Beberapa lagi malah tidak mengikuti sama sekali. Siswa yang menghubungi saya itu bahkan sampai berkata kalau ia bosan. Padahal tujuan lomba-lomba itu agar para siswa dapat menuangkan semua ekspresi dan kebebasan masing-masing di luar proses belajar mengajar. Lantas, harus bagaimana? Ada pembelajaran mengeluh, tidak belajar mengeluhnya juga sama. Beberapa malah bilang bosan, dan lebih baik belajar saja.
Proses daring memang tidak semudah ketika dulu bisa bertatap muka di sekolah. Kami para guru dapat menyesuaikan diri saat melihat ekspresi anak. Saat daring, aplikasi sebeken Zoom tidak akan sanggup membuat kami para guru ini membaca ekspresi anak, saat mereka bahagia, sedih atau sedang ada masalah keluarga. Andai Covid-19 tidak pernah menimpa dunia ini.
Tatanan Kehidupan Baru
Pandemi Covid-19 memang membawa tatanan kehidupan baru. Banyak yang belum siap, apalagi dalam dunia pendidikan. Para guru harus belajar lagi segala hal berbau IT. Sedangkan para siswa yang lebih up to date lebih mudah mengikuti penggunaan alat-alat IT dalam pembelajaran. Mereka yang masuk dalam kelompok generasi Z ini memang ada dalam dunia gadget sehingga ketika pembelajaran berbasis daring lebih intens mengedepankan penggunaan alat-alat berbasis IT, para siswa tidak kesulitan.
Paling masalahnya –seperti saya sampaikan di awal tulisan ini– hanya pada mereka yang tidak memiliki HP, tidak punya kuota, sinyal putus-putus atau malah tidak ada sinyal sama sekali. Meski berjalan sejajar, tapi masih banyak guru yang keteteran mengikuti perkembangan, mulai dari belajar aplikasi seperti Zoom, Google Class Room, dan aplikasi untuk video editing. Hampir semua guru mulai mengupgrade lagi kemampuan teknisnya. Tidak mudah, karena sekali lagi pembelajaran daring tidak pernah diajarkan sewaktu para guru ini belajar menjadi guru. Sekalipun ada, paling hanya dari dosen yang punya banyak kesibukan, lalu ketika mengajar hanya sempat memberikan satu dua poin materi dan berujung pada tugas makalah berlembar-lembar.
Bisakah peserta didik diajari dengan metode dosen yang sibuk seperti itu? Kalau anak SMA mungkin bisa, tapi anak-anak di tingkat TK, SD, dan SMP, bagaimana? Pendidikan dasar adalah bekal untuk mereka bisa memahami pendidikan di tingkat menengah dan pendidikan tinggi. Sabda Tuhan dalam Injil Lukas 6:47-49 bisa dikatakan menjadi intisari dari sistem pendidikan yang baik. Kalau menggali dalam-dalam dan mendirikan sistem pendidikan di atas dasar batu, maka ketika datang air bah dan banjir melanda, para siswa akan memiliki pola pikir yang baik, karena terdidik dan terlatih juga dengan baik. Terpaan seperti masalah-masalah intoleransi, disintegritasi bangsa dan penurunan nilai-nilai moral tidak akan menggoyahkan kebaikan generasi penerus bangsa Indonesia.

Kami, para guru harus mulai pelan-pelan menyesuaikan metode mengajar, agar pembelajaran daring ini tidak membosankan. Pembelajaran tatap muka belum bisa diharapkan. Meski Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim sudah membolehkan sekolah tatap muka bagi mereka yang ada di zona hijau, tapi sejauh apa status zona hijau bisa memberikan keamanan bagi para peserta didik untuk terhindar dari Covid-19. Banyak orang tua yang akan ragu dan bisa saja menolak pembelajaran tatap muka. Alhasil, semua dilakukan daring lagi.
Kita ngezoom lagi, bikin video pembelajaran lagi, dan semua yang bisa dilakukan dari jarak jauh. Tapi, sejauh mana itu bisa bertahan, sejauh apa hal tersebut bisa terus dicintai dan dirindukan para siswa, guru dan bahkan orang tua. Apakah ketika mata mulai lelah di depan komputer dan telepon genggam, akan banyak keluhan yang datang lagi?
Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari
Guru jadi serba salah, tapi seperti pepatah lama yang beken di zaman 90an dulu ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Para siswa akan mencontoh bulat-bulat apa yang dilakukan gurunya. Semalas apapun siswa-siswa itu, sesusah apapun kurikulum dipenuhi dengan kondisi yang berubah-rubah di masa pandemi ini, meski rasa bosan juga terus menghantui, asalkan guru tetap melakukan kebaikan, menanamkan nilai-nilai berkarakter, pada gilirannya para murid juga akan meniru kebaikan dan nilai-nilai karakter tersebut.
Jika boleh kita ubah pepatah di atas di masa generasi Z ini menjadi kalau guru ngezoom berdiri, murid ngezoom berlari. Para guru hanya perlu melakukan segala yang terbaik dengan ketulusan hati, minimal yang nanti akan ditiru bulat-bulat oleh para peserta didik adalah ketulusan hati tersebut.
Setelah itu, kita tinggal menghidupi semangat Paulus yang dia tulis dalam surat kepada jemaat di Korintus, “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.” Biarlah para guru terus menanam, entah siapa nanti yang akan menyiram, tapi yakinlah bahwa Allah yang akan memberi pertumbuhan.
Penulis adalah guru di SMP Santa Maria Banjarmasin. Sejak 2011 hingga sekarang menjadi anggota Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Banjarmasin dan sering menulis di Majalah Ventimiglia milik Keuskupan Banjarmasin. Ia juga aktif menulis di media massa. Karyanya yang sudah diterbitkan menjadi buku adalah Buku Kumpulan Puisi Gadis di Rembang Petang (2017) dan Doa Seorang Koruptor (2019).
Komentar