Pada 11 Mei, empat petani Kristen berusia 42 hingga 61 tahun, termasuk seorang Katolik, dibunuh oleh teroris bersenjata pedang dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.
Meskipun populasi Muslim Nusantara sebagian besar berpandangan moderat, kelompok Islam radikal meningkatkan serangan terhadap orang Kristen.
Stanislaus Riyanta, seorang analis intelijen Katolik yang berbasis di Universitas Indonesia, berbicara dalam wawancara dengan Aid to the Church in Need (ACN) tentang meningkatnya ancaman teroris terhadap orang Kristen di Indonesia:
Mengapa orang Kristen menjadi sasaran serangan teror?
Hal tersebut tidak lepas dari keberadaan kelompok transnasional yang berafiliasi dengan ISIS. Mereka melihat orang Kristen sebagai salah satu musuh mereka. Mereka melihat orang Kristen sebagai thogut, istilah Arab untuk mereka yang tidak menaati peraturan Tuhan.
Ada sejumlah serangan teror terhadap orang Kristen dalam beberapa tahun terakhir.
Misalnya, ada penyerangan terhadap pastor saat Misa di Medan pada Agustus 2016; pengeboman di gereja Protestan di Samarinda pada November 2016; serangan lain terhadap seorang pastor selama Misa Minggu, di Yogyakarta pada Februari 2018; dan bom bunuh diri (yang menargetkan tiga gereja, sebuah gedung apartemen dan markas polisi) di Surabaya pada Mei 2018 yang menewaskan 15 orang; pada Minggu Palma tahun ini, terjadi percobaan bom bunuh diri di katedral di Makassar; lalu terjadi pembunuhan empat orang Kristen di Poso.
Bagaimana kelompok teroris melancarkan serangan mereka?
Itu tergantung pada keberanian dan sumber daya mereka. Ada yang menggunakan bom, ada yang—karena kurangnya keterampilan—menggunakan senjata tajam, seperti pisau dan kapak. Pastor di Yogyakarta diserang oleh seorang pemuda dengan pedang.
Dalam konteks Poso, teroris menggunakan senjata tajam untuk menakut-nakuti masyarakat. Itu tidak hanya terjadi dalam pembunuhan petani Kristen baru-baru ini; ada pembunuhan sebelumnya terhadap seorang petani, yang dituduh sebagai pendukung polisi. Dia dipenggal dan videonya ditunjukkan kepada penduduk setempat.
MIT adalah kelompok teroris paling ekstrim. Berbeda dengan kelompok teroris lain yang aktif di Indonesia, termasuk Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Para simpatisan JAD umumnya hidup secara sembunyi-sembunyi di masyarakat, tetapi para anggota MIT tinggal bersama di sebuah hutan. Saat ini, MIT hanya memiliki sembilan anggota, dan mereka dibagi menjadi dua kelompok agar tidak mudah ditangkap oleh pasukan kontraterorisme.
Ada berapa kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS di Indonesia?
Ada banyak, sebenarnya. Tapi yang terkuat adalah JAD dan MIT. Seperti yang saya katakan sebelumnya, MIT hanya memiliki sembilan anggota, tetapi memiliki banyak simpatisan. Sementara itu, JAD memiliki lebih dari 20.000 simpatisan yang dapat melancarkan serangan ekstrim pada kesempatan tertentu. Di antara keduanya, MIT adalah yang paling militan.
Menurut Anda, apakah upaya pemerintah untuk menghentikan terorisme sudah cukup?
Saya pikir tidak. Negara juga dipandang sebagai thogut. Tidak akan mudah bagi negara untuk melakukan deradikalisasi teroris. Yang harus dilakukan negara adalah memberdayakan warga sipil, yang perlu belajar tentang deteksi dini dan perlindungan dini. Ketika negara berusaha menindas kelompok teroris, ada kelompok masyarakat yang menstigmatisasi negara dengan mengatakan negara anti agama. Ini adalah sebuah masalah.
Kelompok teroris di Indonesia bersembunyi di balik kelompok mayoritas. Di banyak negara lain, kelompok teroris bersembunyi di balik kelompok minoritas. Maka, ketika negara mengejar mereka—dengan pasukan anti-terornya, Densus 88—para jihadis di Indonesia membuat masyarakat Muslim secara luas menyatakan bahwa negara memusuhi Islam. Inilah dilema bagi pihak berwenang.
Juga, para pemimpin agama perlu bersatu dan dengan satu suara mengutuk teror. Jika mereka bersatu, orang-orang yang sudah tertarik bergabung dengan kelompok teror mungkin akan berpikir dua kali. Dalam hal ini, belum ada persatuan atau visi bersama di antara para pemimpin agama, di mana beberapa pemimpin Muslim khususnya gagal mengutuk teror secara tegas.
Komentar