Katoliknews.com – SETARA Institute, lembaga swadaya masyarakat yang berjuang untuk demokrasi dan hak asasi manusia, menyebut fakta pelarangan ibadah dan pendirian rumah ibadah di Indonesia lebih parah atau serius dari apa yang disampaikan Presiden Jokowi Widodo.
“Terutama dari sisi intensitas dan skalanya, data longitudinal dari tahun 2007-2022 menunjukkan telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah,” kata lembaga itu dalam rilis, Rabu, 17 Januari 2023.
Gangguan tersebut, kata lembaga itu, mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama.
Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Sentul International Convention Center (SICC), Kabupaten Bogor, pada Selasa, 17 Januari 2023, Presiden Jokowi mewanti-wanti para kepala daerah peserta Rakornas untuk menjamin kebebasan beribadah dan beragama warganya.
“Kemudian ini mumpung juga ketemu bupati dan wali kota. Mengenai kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Ini hati-hati. Ini yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Khonghucu, hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah. Memiliki hak yang sama dalam hal hal kebebasan beragama dan beribadah,” kata Presiden Jokowi
Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebebasan tersebut dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2). Jaminan konstitusional tersebut, menurut Jokowi, tidak boleh dikalahkan oleh kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dengan beberapa pihak di daerah setempat, seperti kesepakatan yang dibuat pemerintah daerah dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang melarang pembangunan tempat ibadah.
Dalam analisis SETARA Institute, pelarangan peribadatan dan pendirian tempat ibadat di daerah diakibatkan oleh rendahnya kapasitas daerah dalam isu tata kelola kebinekaan dan jaminan konstitusional atas kebebasan beragama/berkeyakinan.
Hal itu, lanjut mereka, diperburuk dengan seringnya Pusat lepas tangan dalam kasus-kasus demikian yang terjadi di Daerah. Padahal urusan agama bukanlah urusan pemerintahan yang didesentralisasi dari Pusat ke Daerah oleh UU Pemerintahan Daerah.
Dalam konteks tersebut, SETARA Institute mengusulkan agar perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah ditarik ke Pusat dengan mekanisme administratif yang lebih dipermudah dan disederhanakan.
Selain itu, SETARA Institute mendorong agar terjadi pergeseran dan perluasan peran FKUB.
“FKUB sebaiknya tidak diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi mengizinkan atau menolak pendirian rumah ibadah,” kata mereka.
Menurut mereka, FKUB lebih baik dioptimalkan perannya untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan sesuai mandat organisasionalnya dengan memperluas kampanye toleransi, ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah.
Kendati demikian, di tengah masih timpangnya soal kebebasan beragama di Indonesia, SETARA Institute mengapresiasi pernyataan dan arahan Jokowi Jokowi dalam forum tersebut.
Dalam catatan mereka, pernyataan dan arahan tersebut merupakan salah satu pesan terkuat yang disampaikan secara terbuka oleh Presiden.
Pasalnya, kata mereka, pernyataan itu secara spesifik menggarisbawahi persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah sebagai salah satu persoalan utama pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia, bukan hanya secara umum soal toleransi dan kebinekaan.
PR untuk Menag dan Mendagri
SETARA Insititute melihat ada pekerjaan rumah yang besar untuk Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) usai arahan presiden tersebut
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, kata mereka, mesti melakukan langkah progresif untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Mereka menilai, aturan-aturan diskriminatif tersebut menjadi pemicu bagi terjadinya penolakan dan pembatasan hak seluruh agama khususnya kelompok minoritas untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah.
“Syarat administratif dukungan 90 orang jemaat dan 60 orang di luar jemaat nyata-nyata memberikan hambatan serius bagi terjaminnya hak konstitusional untuk beribadah yang oleh Pasal 29 ayat (2) diberikan kepada setiap orang atau tiap-tiap penduduk,” kata lembaga itu.
Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, kata mereka, sebenarnya sudah sejak dua tahun lalu berjanji kepada publik untuk mempermudah pendirian tempat ibadah kelompok minoritas dan meninjau ulang PBM 2 Menteri tahun 2006.
“Hal itu disampaikan Menteri Agama dalam forum yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) pada 21 Januari 2021. Namun, hingga kini janji tersebut tak kunjung ditunaikan,” terang lembaga itu.
Ian Saf
Komentar