RD Ardus Endi
(Pastor Rekan Paroki St Klaus Kuwu, Ruteng)
Pada hari ini, bersama seluruh umat Katolik sedunia, kita memasuki masa retret agung selama kurang lebih 40 hari ke depan. Hal ini dimulai dengan perayaan Rabu Abu. Pada dahi kita akan dioleskan dengan abu.
Hal yang harus kita sadari bersama bahwa upacara penandaan abu ini bukan sekadar ritus biasa. Kalau kita ingat, perayaan ini memang selalu kita jalankan setiap tahun. Dan kalau kita menyebut perayaan Rabu Abu, sudah barang pasti kita akan menerima abu. Namun, pertanyaannya, apakah itu sekadar ritual?
Kiranya, bukan. Upacara itu lebih dari sekadar ritual. Di dalamnya terkandung makna yang mendalam. Ada nilai teologis spiritual yang kita terima, dan yang paling penting adalah kita memaknai kembali esensi atau hakikat kemanusiaan kita sebagai makhluk yang rapuh dan lemah.
Sadar sebagai makhluk yang rapuh dan lemah, maka kita dipanggil untuk melihat dan menata kembali diri kita, terutama HATI, BUDI dan PIKIRAN agar selaras dengan kehendak Tuhan sendiri.
Abu itu bukan hanya serpihan material kayu yang sudah dibakar, bukan hanya benda melainkan tanda. Abu yang akan kita terima bukan sekadar stempel/cap yang selalu kita dapatkan dari tahun ke tahun, tetapi lebih kepada tanda sesal dan tobat. Melalui abu itu kita disadarkan akan kerapuhan kita dan dengannya pula kita diminta sekaligus dituntut untuk bermetanioa atau bertobat. Itulah inti dari perayaan Rabu Abu ini. Kita melihat dan menerima abu sebagai tanda sesal dan tobat kita.
Selama masa ret-ret agung ini, kita diminta untuk secara sungguh-sungguh menghayati semangat tobat itu dalam diri kita. Selain bertobat, kita mesti berubah dan berbuah. Hal ini secara tegas digariskan dalam ketiga bacaaan suci hari ini.
Pertama, Nabi Yoel dalam bacaan I, memaknai pertobatan itu sebagai “jalan pulang” untuk kembali kepada Allah. Ketika kita berbuat dosa, secara tidak langsung kita merusakkan relasi kita dengan Allah, dan karenanya tobat adalah “jalan pulang” untuk berbalik kepada Allah. Tobat menjadi cara baru untuk menenun kembali hubungan yang retak akibat dosa-dosa kita. Tentang hal ini, Nabi Yoel menegaskan: “Berbaliklah kepada Allah dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia…” (Yoel 2:12-13).
Kedua, bertobat merupakan cara terbaik untuk berdamai dengan Allah dan sesama. Sekali lagi, kalau dosa membuat relasi kita dengan Allah menjadi tidak harmonis dan juga relasi kita dengan sesama menjadi kacau-balau, maka tobat adalah cara terbaik untuk kembali berdamai, baik dengan Allah maupun dengan sesama.
Hal ini secara implisit ditegaskan Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, sebagaimana ditegaskan dalam bacaan II: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Kristus yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor. 5:20).
Ketiga, bertobat berarti berubah dan berbuah. Komitmen untuk bertobat di dalamnya terkandung sebuah tuntutan bagi kita untuk berubah dan berbuah. Pada titik ini, tobat tidak boleh sebatas kata-kata saja. Artinya penyesalan kita tidak boleh hanya diungkapkan melalui mulut: bahwa saya telah berdosa, saya telah bersalah, saya telah berkhianat, dll. Tetapi, mesti dibarengi dengan sebuah kesadaran sekaligus komitmen untuk berubah dan berbuah.
Kesadaran untuk bertobat mesti mengantar kita pada perubahan cara berpikir, cara bertindak dan cara bertutur kata. Semuanya itu mesti bermuara pada tindakan nyata sebagai buah dari pertobatan itu. Hal ini disinggung oleh Yesus dalam narasi Injil.
Yesus mengajak kita sekalian agar komitmen kita untuk bertobat dan berpuasa, mesti mendorong kita untuk bertindak secara nyata, misalnya dengan memberi sedekah, berbagi, bersolider dengan sesama yang berada di sekitar kita.
Namun, Yesus tetap memberi awasan supaya pemberian sedekah atau bingkisan solidaritas itu harus dilakukan dengan sukarela dan tanpa paksaan, tanpa iming-imingan tertentu sekadar untuk mendapat imbalan lebih. Pemberian itu mesti lahir dari hati yang bening dan tulus.
“Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:3-4).
Marilah dalam terang Sabda Tuhan hari ini, kita secara sungguh-sungguh memupuk semangat tobat dalam diri kita. Kita diajak untuk senantiasa berbenah, berubah, dan berbuah. Hanya dengan cara demikian, hidup kita menjadi bernilai di mata Tuhan dan berdaya guna bagi sesama. Semoga Tuhan berkenan memampukan kita semua. Amin.
Komentar