Katoliknews.com – Sejarah baru menandai jalinan erat hubungan antara tiga agama Abrahamik, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiganya berbagi tempat yang sama untuk beribadah di Uni Emirat Arab yang mayoritas Muslim dengan dibukanya Rumah Keluarga Abraham di Abu Dhabi.
Peristiwa ini merupakan keberlanjutan pertemuan monumental antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Ahmed Al-Tayeb, yang pada 2019 menandatangani dokumen Abu Dhabi. Dokumen itu menyerukan perdamaian dan persaudaraan antara agama dan bangsa.
Adapun yang wewakili Paus Fransiskus untuk misa pertama di Gereja Santo Fransiskus Assisi yang baru itu pada Minggu, 19 Februari 2023 adalah Kardinal Michael L. Fitzgerald, mantan presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama.
“Tempat doa juga harus menjadi tempat sukacita, dan saya harap ini berlaku bagi kita semua yang hadir di sini,” kata Fitzgerald pada Misa Minggu di gereja baru itu.
Fitzgerald mengatakan Paus Fransiskus mendorong semua yang berkumpul “untuk melanjutkan budaya dialog sebagai jalan kita; untuk mengadopsi kerja sama timbal balik sebagai kode etik kita; dan untuk berusaha membuat pemahaman timbal balik sebagai metode konstan dari usaha kita.”
Uskup Paolo Martinelli, Vikaris Apostolik Arab Selatan, berbicara pada kesempatan itu dan merenungkan arti dokumen “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama,” yang juga dikenal sebagai deklarasi Abu Dhabi, yang ditandatangani oleh Paus dan Syiekh Ahmed Al Tayyep.
“Kita telah memasuki fase baru dalam sejarah agama,” kata Martinelli, “dengan dokumen Abu Dhabi tentang persaudaraan manusia, sebuah dokumen kenabian dan berpandangan jauh ke depan, agama-agama disajikan dalam kapasitas aslinya untuk berkolaborasi dan berkontribusi bersama dalam pembentukan dunia yang lebih manusiawi, di mana kita semua mengakui diri kita sebagai saudara dan saudari, terpanggil untuk persaudaraan, untuk hidup berdampingan dan toleransi, saling menerima, dan memajukan keadilan dan perdamaian.”
Dia mencirikan gereja sebagai hadiah untuk Paus Fransiskus dan dia menggambarkan St. Fransiskus Assisi yang namanya menjadi nama gereja itu sebagai “orang suci persaudaraan universal, perdamaian, dan rekonsiliasi, dan orang suci penjaga ciptaan.”
“Yang Mulia Paus Fransiskus ingin mengambil nama santo agung [Santo Fransiskus Assisi] ini justru untuk mengingat kembali nilai persaudaraan, perdamaian, dan ciptaan serta menunjukkan prioritas kedekatan antarumat manusia, terutama bagi mereka yang miskin dan membutuhkan,” kata Martinelli.
Rumah Keluarga Abrahamik dirancang oleh arsitek Ghana-Inggris David Adjaye, yang karyanya termasuk Smithsonian National Museum of African American History and Culture di Washington, D.C.
Ketiga tempat ibadah tersebut berada dalam bangunan terpisah yang sengaja dibangun dengan ketinggian dan dimensi luar yang sama. Setiap bangunan berbentuk kubus, dengan panjang masing-masing sisi 30 meter, sekitar 98,4 kaki.
Mengikuti tradisi bangunan masing-masing agama, masjid berorientasi ke Mekah, sinagoga berorientasi ke Yerusalem, dan gereja berorientasi ke timur, arah matahari terbit.
Kompleks Masjid Ahmed Al-Tayeb, yang mengadakan salat Jumat perdana pada 17 Februari, diambil dari nama Imam Besar Masjid dan Universitas Al-Azhar saat ini.
Sinagoga Moses Ben Maimon diambil dari nama filsuf Yahudi pada Abad Pertengahan yang juga dikenal sebagai Maimonides. Jemaat Yahudi mendedikasikan ruang ibadah itu lebih awal pada hari Minggu.
Kompleks ini memiliki pusat penyambutan yang diresmikan pada 16 Februari. Pusat penyambutan ini bertujuan menawarkan program yang menampung para sarjana dan pemikiran dari seluruh dunia. Ini bertujuan membantu pengunjung menjelajahi dan memahami agama Abrahamik dan menyediakan ruang bagi komunitas agama dari UEA dan di seluruh dunia untuk menjalankan keyakinan mereka.
“Visi kami adalah agar orang-orang berkumpul dalam damai, beragam dalam keyakinan, namun memiliki kesamaan dalam kemanusiaan,” kata Rumah Keluarga Abrahamik di situs webnya.
“Misi kami adalah untuk menjembatani kemanusiaan kita bersama melalui pertukaran pengetahuan, dialog, dan praktik iman. Nilai-nilai kami adalah hidup berdampingan secara damai, keingintahuan, dan sentralitas persaudaraan manusia.”
Gereja Santo Fransiskus dari Assisi akan secara resmi ditahbiskan di kemudian hari. Di gereja ini memungkinkan sakramen-sakramen Katolik dirayakan.
Pada Misa Minggu itu, Kardinal Fitzgerald merenungkan bacaan dari Kitab Yesaya (Yesaya 59:7) tentang rumah Tuhan.
“Anda akan memperhatikan bahwa nabi mengatakan itu harus menjadi ‘rumah doa untuk semua orang,’ dan saya yakin ini akan terjadi, karena ibadah Kristen membawa kita keluar dari diri kita sendiri,” kata kardinal.
“Ibadah pertama membawa kita untuk memuji Tuhan, yang layak atas semua pujian, dan untuk berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Karunia yang telah memberi kita begitu banyak karunia. Namun, ibadah membuka diri kita kepada orang lain, menanamkan dalam diri kita ’kepedulian akan keadilan’, mendorong kita untuk bertindak dengan integritas.
“Kita tidak dapat benar-benar berdoa kepada Tuhan tanpa mengingat anggota lain dari keluarga Abraham, dan bahkan keluarga manusia,” kata kardinal.
Uskup Martinelli menambahkan: “Semoga doa perdamaian, rekonsiliasi, dan kebajikan selalu naik ke surga dari tempat ibadah ini… Semoga kenangan akan Kristus Yesus, yang kita anggap sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, anak Allah Yang Maha Tinggi dan Penebus dunia, jadilah berkat bagi semua. Semoga Injil menjadi sumber komitmen terhadap perdamaian dan keadilan dan berkontribusi pada kemajuan orang dan sukacita semua.”
Yoannis Lahzi Gaid, seorang pastor Katolik Koptik yang merupakan anggota Higher Committee of Human Fraternity, menyampaikan sambutan kepada hadirin. Orang yang hadir termasuk Uskup Paul Hinder, vikaris emeritus apostolik Arab Selatan, dan Monsinyur Kryspin Dubiel, diplomat Vatikan ke UEA.
Kardinal Fizgerald mengutip seruan St. Paulus untuk mengingat dalam doa otoritas politik dan orang lain yang bertanggung jawab atas kesejahteraan kita.
Komentar