Katoliknews.com – Pimpinan Gereja-Gereja di Papua meminta Presiden Jokwo Widodo agar mereka menjadi negosiator pembebasan Pilot Susi Air Kapten Philips Mark Merthenz asal Selandia baru yang disandera kelompok prokemerdekaan Papua pimpinan Egianus Kogoya pada 7 Februari lalu, di Nduga, Papua Pegunungan.
Forum pimpinan Gereja di Papua itu terdiri atas Gereja Katolik, Gereja Kristen Injili, Gereja Baptis, Gereja KINGMI, dan Gereja GIDI
Mereka meminta agar selama proses negosiasi itu “segala pasukan di sekitar lokasi penahanan pilot ditarik masuk markas.”
“Tak mungkin suatu negosiasi dapat dijalankan di mana ancaman aparat ada di ambang pintu,” kata mereka [Pimpinan Gereja Papua] dalam pernyataan sikap pada 24 April 2023, yang salinannya diterima Katoliknews.
Pelajaran ini, terang mereka, “dapat kita tarik dari pengalaman 1996 saat pembebasan sandera Mapenduma yang negosiasinya gagal karena diganggu oleh aparat TNI dan dari pengalaman negosiasi berhasil tahun 2001 dalam pembebasan 2 warga Belgia yang disandera di Ilagakarena didukung 100% oleh Kapolda Papua saat itu”.
Menurut mereka, mundurnya pasukan TNI dalam dalam proses negosiasi pembebasan Kapten Philips bukan ‘kehilangan muka’, melainkan penunjukan suatu ‘muka yang sangat mulia’ karena martabat setiap manusia ditempatkan di atas segalanya, hingga betul menjadi prioritas utama.
Kekerasan di Papua yang Tak Berujung
Para pemimpin jemaat itu melihat, keadaan sekarang ini bukan hasil salah satu insiden khusus seperti soal penyanderaan seorang pilot, melainkan hasil suatu sejarah yang panjang.
Mereka merujuk pada Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional, dalam tulisannya “Mencari Keadilan untuk Papua” (Kompas, 18 April 2023), bahwa Amnesty International Indonesia mencatat, sejak 2018 hingga 2022 terdapat setidaknya 91 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 177 warga sipil. Sementara itu, jumlah anggota TNI-Polri yang jadi korban pada periode yang sama sebanyak 44 orang, dan anggota kelompok pro-kemerdekaan sebanyak 21 orang.
Sementara, data Institute for Policy Analysis and Conflict Studies (IPAC) juga menunjukkan bahwa jumlah insiden kekerasan terkait pemberontakan dari 2010 hingga 2021 terus meningkat, hingga melebihi 80 kasus pada tahun 2021. Insiden tersebut menewaskan sedikitnya 320 jiwa, sebagian besar warga sipil (178 orang), sedangkan dari pasukan keamanan 92 orang, dan kelompok bersenjata 50 orang. Sebanyak 98 persen kematian (316 jiwa) terjadi di Provinsi Papua.
Riset dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga mengungkapkan kekerasan di Papua, empat kali lebih besar daripada rata-rata nasional. Ini sangat ironis mengingat Papua memiliki salah satu ratio pasukan keamanan per penduduk tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain.
Data itu, kata mereka, masih dapat dilengkapi dengan sejumlah kejadian yang belum lama ini. Ada pembunuhan termutilasi oleh anggota-anggota TNI di Timika [4 orang mati], ada penembakan oleh aparat terhadap masa di Wamena [9 orang mati], ada pembunuhan sejumlah prajurit oleh TPNPB-OPM di Nduga [5 orang mati].
Sedangkan di tingkat paling akar rumput sejumlah warga menjadi korban – ada yang tewas – dalam operasi penyisiran oleh aparat, habitat mereka dirusak, keamanannya dihilangkan dan akhirnya warga mengungsi hingga membengkak jumlah mengungsi sudah sampai sekitar 67.000.
Militeriasasi: Untuk Penguasaan Wilayah, Bukan Mencari Solusi
Menurut pengamatan mereka sebagai pimpinan umat beragama, setelah insiden rasis Agustus 2019, perkembangan didominasi oleh penerapan suatu skenario yang bukan lagi berniat untuk mencari solusi konflik atau berniat mencari tahu akar-akar konflik rasisme, diskriminasi, marginalisasi, dan akar peningkatan protes politik.
“Niatnya ternyata melulu untuk menguasai seluruh wilayah Papua dan melumpuhkan segala perlawanan politik,” ujar mereka.
Skenario ini, kata mereka, dijalankan melalui suatu militarisasi yang sangat nyata, terarah dan terstruktur. Hal ini terungkap bukan saja terungkap melalui kehadiran tambahan ribuan prajurit dari luar Papua, tetapi juga dalam pemaksaan kebijakan institusional/struktural seperti revisi Otsus hingga menjadi ‘alat penguasaan’ bagi pemerintah pusat dan pemaksaan pemekaran yang tidak berlandaskan pertimbangan ilmiah yang wajar dan/atau kesejahteraan rakyat.
Penerapan skenario penguasaan ini, lanjut mereka, masih tetap berjalan dan baru ini makin terungkap baik dalam keputusan supaya setiap provinsi baru dilengkapi suatu Kodam serta struktur selengkapnya, maupun dalam penempatan ribuan prajurit di kampung-kampung (1.200 di provinsi Papua Barat dan 900 di provinsi Papua). Mereka ditugaskan untuk “melancarkan program pembangunan pemerintah dan untuk mengedukasi warga kampung”.
Menurut mereka, mengingat trauma yang sudah lama bertumbuh karena pengalaman sehari-hari dengan kehadiran TNI di tengah masyarakat, “memang tidak mengherankan bahwa masyarakat tingkat kampung sangat berkeberatan dengan kebijakan-kebijakan yang mau diterapkan oleh aparat keamanan. Apalagi sejumlah wilayah dinyatakan daerah dimana TNI ‘siaga tempur’.”
Mengutuk Kekerasan
Para pemimpin agama itu mengutuk segala bentuk kekerasan serta pembunuhan oleh pihak mana saja, entah TPNPB-OPM, entah TNI, entah Polri, entah siapa.
“Bagaimana mungkin segala macam hak-hak dasar para warga Papua begitu saja dibatasi sampai ditiadakan, sampai dapat dibunuh? Apalagi makin banyak orang yang tak berdosa, warga sipil, menjadi korban dalam situasi yang diciptakan. Ternyata warga Papua begitu saja dapat ditangkap, dapat dipukul, dapat dituduh makar tanpa ada investigasi yang berbobot.”
Buktinya, kata mereka, dari 80-an tahanan ‘karena makar’ selama periode pasca-protes anti-rasisme, tidak satu tuduhan pun dapat dibuktikan dalam proses persidangan.
“Namun orangnya tetap divonis, biar ringan! Ini faktanya! Bagaimana mungkin warga kami tidak boleh bicara bebas, lagi secara damai, apalagi tidak berhak berbeda pendapat, termasuk politik. Kebebasan ini sebenarnya terjamin dalam UUD 45 kita.”
Mereka mempertanyakan, “Kenapa UUD 1945 tidak diindahkan lagi di Papua? Bagaimana mungkin kita punyai lembaga-lembaga resmi perwakilan rakyat diam dan tak berdaya, dan ditolak suaranya kalau kebetulan bicara? Kenapa seorang pendeta atau seorang ibu biasa saja dapat dibunuh di kampung, dan pelakunya tidak dihukum? Banyak pertanyaan memusingkan kami. Kenapa tidak ada ruang untuk membahas akar-akar konflik kita secara terbuka?”
Ubah Pendekatan untuk Papua
Para pemimpin agama itu berkesan bahwa segala kebijakan saat ini untuk Papua adalah kebijakan sesaat yang melayani suatu kepentingan politik tertentu.
“Yang kita butuhkan adalah suatu kebijakan yang berlandaskan akar-akar konflik sehingga bisa menjadi tindakan ke arah suatu penyelesaian masalah, dan bukan hanya suatu tindakan melawan salah satu gejala melulu dan sesaat.”
Selama empat tahun terakhir, kata mereka, yang ditandai melulu ‘tindakan penguasaan total’ wilayah Papua dan ‘membungkamkan segala perlawanan politik’ kita bersama mengalami suatu kemunduran signifikan dalam jalan menuju perdamaian di Papua. Sejumlah hak Konstitusional mulai disingkirkan dan suasana demokrasi merosot secara berarti. Kedua unsur itu sangat terasa di Papua.
Maka, ke depan mereka menyarankan kepada Presiden dan semua pejabat yang berkehendak baik untuk mengubah pendekatan penyelesaian konflik di Papua secara signifikan.
Pertama, mereka menyarankan untuk memulihkan kembali segala hak dasar konstitusional hingga diindahkan juga di Papua [a.l. hak bebas pendapat, termasuk perbedaan pendapat, hak berkumpul, hak kesamaan di depan hukum, memulihkan kembali dominasi pemerintah sipil, mengakhiri militerisasi kampung, penarikan pasukan-pasukan, pembatalan pendirian Kodam-pemekaran].
“Pemulihan ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan medan yang lebih sesuai untuk memasuki suatu dialog yang lebih terarah dan jujur mengenai akar-akar konflik di Papua dan cara penyelesaiannya,” tandas mereka.
Kedua, mereka meminta Presiden untuk memberikan mandat resmi kepada suatu kelompok kerja untuk memprakarsai ‘dialog perdamaian’ dengan Papua.
“Kelompok kerja ini sebaiknya terdiri bukan dari perwakilan macam-macam, melainkan dari sejumlah orang terbuka, kompeten dan mampu menganalisa secara objektif tanpa langsung diarahkan oleh kepentingan politik tertentu,” kata mereka.
Karena itu, sebagai mitra kerja untuk kelompok yang dimaksudkan, kata mereka, di Papua pun dibentuk suatu kelompok kerja sejenis. Pimpinan pemerintah sipil Papua bersama pimpinan Gereja-gereja dapat diminta untuk membentuk kelompok kerja itu.
Selain itu, untuk memungkinkan kedua kelompok kerja dapat berfungsi, ditetapkan oleh segala pihak yang berkaitan suatu ‘Jeda Kemanusiaan’, atau pemberhentian segala bentuk kekerasan dari pihak TPNPB-OPM maupun TNI-Polri.
“Pemberhentian kontak senjata adalah salah kondisi utama menuju pencarian solusi konflik di Papua,” tegas mereka.
Komentar