Katoliknews.com – Kehadiran 12 uskup dalam pernikahan pasangan dari keluarga pengusaha di Jakarta pada Sabtu, 6 Februari 2015 menjadi topik hangat yang dibicarakan di media.
Adalah Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (Forkoma PMKRI) yang pertama kali mempersoalkan hal ini.
Hermawi Taslim, Ketua Forkoma PMKRI menyebut, kehadiran para uskup itu dalam pernikahan pasangan Melisa Kristi Kristianto dengan Narsis Nararya Ciputra di Katedral Jakarta “berlebihan dan terkesan menghilangkan sikap kritis Gereja Katolik yang terkenal dengan semboyan option for the poor atau berpihak pada orang miskin.”
Narsis merupakan cucu dari pengusaha properti Ciputra, sementara Melisa adalah anak dari pengurus Yayasan John Paul II, Lucy Liando.
Hermawi mengatakan, sesuai ketentuan hukum kanonik, keabsahan dan kesakralan perkawinan dalam tata cara Katolik memang harus dilakukan oleh pejabat Gereja, dalam hal ini uskup atau pastor.
“Tapi masih menurut hukum kanonik, pejabat Gereja tersebut cukup satu, tidak perlu berbondong-bondong hingga belasan, sehingga terkesan diistimewakan,” ungkapnya dalam pernyataan tertulis, Senin (8/2/2016).
Ia menjelaskan, seharusnya para uskup lebih mencurahkan waktu dan pemikiran mereka untuk membangun jiwa dan mental umat di keuskupan masing-masing, khususnya umat di daerah pedalaman.
Para uskup yang hadir dalam Misa pernikahan itu hampir merata dari seluruh wilayah nusantara. Beberapa di antaranya adalah Uskup Agung Samarinda Mgr Yustinus Harjosusanto MSF, Uskup Amboina Mgr Petrus Mandagi MSC dan Uskup Manado Mgr Josef Suwatanan MSC.
Menurut Hermawi, hal-hal seperti ini menyinggung kepekaan dan kekritisan umat khususnya di kalangan aktivis, seperti Forkoma PMKRI.
Ia berharap, di masa yang akan datang, pelayanan umat lebih merata, fokus, dan terhindar dari kesan keberpihakan atas status-status sosial ekonomi umat itu sendiri.
Secara terpisah, Benny Sabdo, penulis buku “Kiprah Tokoh Katolik Indonesia” juga mengkritik hal tersebut.
“Ada yang mengatakan semakin banyak uskup, semakin banyak berkat, seolah-olah berkat itu dapat dikapitalisasi,” ungkapnya.
Benny menjelaskan, peristiwa ini tergolong langka. “Apakah mungkin terjadi fenomena seperti ini pada pengantin yang miskin. Padahal, Paus Fransiskus mendedikasikan Gereja bagi kaum miskin,” gugatnya.
Ia menandaskan, memboyong 12 uskup dengan biaya yang mahal ke Jakarta memberikan signal yang keliru kepada umat Katolik dan masyarakat Indonesia.
“Bukan karena keluarga mempelai tidak boleh kita beri simpati. Barangkali keluarga mempelai banyak berbuat baik dan pantas diakui tapi hal yang sama tidak terjadi pada umat biasa. Padahal, kita jangan memberikan perlakuan khusus kepada mereka yang diberkati karena kekayaan,” paparnya.
Menurut Benny, kritik ini harus dimaknai dalam perspektif yang positif demi kewibawaan hiraki Gereja Katolik.
Ia juga mendesak agar praktek misa jor-joran uskup dalam pernikahan atau pemberkatan rumah ditertibkan demi kesucian sakramen.
“Hal ini bertujuan agar tidak terjadi manipulasi oleh status sosial tertentu. Sebaiknya, Ekaristi dengan banyak uskup itu dikhususkan bagi event hirarki Gereja saja,” tegasnya.
Sementara itu, menanggapi kritikan itu, Mgr Harjosusanto menyebut kehadiran mereka tidak semata-mata karena yang menikah adalah keluarga pengusaha kaya.
“Tetapi keluarga itu memperhatikan keuskupan luar Jawa yangnota bene miskin,” kata Uskup Agung Samarinda Mgr Yustinus Hardjosusanto MSF, sebagaimana dilansir Indonesia.ucanews.com.
Ia menjelaskan, kalau diperhatikan, uskup yang datang adalah semua dari luar Jawa. “Mungkin ada beberapa uskup yang memiliki kedekatan karena seasal dengan keluarga Ibu Liando,” katanya.
Misa pernikahan yang berlangsung di Katedral Jakarta itu adalah antara Melisa Kristi Kristianto, cucu dari pengusaha properti Ciputra dan Narsis Nararya, anak dari pengurus Yayasan John Paul II, Lucy Liando.
Uskup Harjosusanto, yang merupakan mantan Uskup Tanjung Selor menjelaskan, dirinya mengenal Ibu Liando karena merupakan salah satu donatur Keuskupan Tanjung Selor.
“Tentu karena beberapa kali datang ke sana, jadi ada relasi juga. Dengan keluarga Ciputra saya tidak kenal,” katanya.
Ia menjelaskan, sejumlah komentar pedas terkait kehadiran mereka adalah hal yang wajar.
“Memang wajar kalau ada suara sumbang, berhubung peristiwa itu tidak lazim.” (Floresa.co/Indonesia.ucanews.com)
Komentar