Oleh: Markus Marlon MSC
Sahabat jauh saya mengeluh demikian, “Saya ini ikut berbagai group milis. Tetapi sekarang saya jenuh, karena tidak ada yang menanggapi tulisan-tulisanku, padahal saya kalau menulis milis itu bisa berjam-jam.”
Kemudian dengan enteng dan sambil lalu (agak meremehkan) saya jawab, “Loh, sobat jangan salah! Bahkan ketika namamu muncul di milis itu, ada loh yang langsung men-delet.” Teman saya pun semakin yakin bahwa tulisan-tulisannya di milis tidak berarti lagi. Dan hingga hari ini, namanya tidak muncul lagi.
Ada beberapa orang yang masuk dalam milis tertentu menjadi geram, marah, tersinggung dan tidak mau nongol lagi. Itu hak mereka. Pengalaman saya: saya menulis dan tidak menulis pun orang tidak peduli. Wong saya tiga bulan tidak menulis, orang-orang juga tidak tanya dan ketika tulisan saya muncul lagi, orang juga diam saja. Itulah hidup.
Milis (Bhs. Inggris: mailing list) adalah group diskusi di internet yang setiap orang bisa berlangganan atau ikut serta di dalamnya. Anggota milis seperti membaca surat dari orang lain dan kemudian mengirim balasan. Secara sederhana milis adalah sebuah daftar alamat surat elektronik (surel) yang punya kesukaan atau kepentingan yang sama.
Kita bayangkan saja berapa juta informasi yang berpotensi kita terima dari jejaring sosial pada zaman ini setiap harinya. Manusia, seolah-olah kêmblêgan – kejatuhan informasi yang begitu banyak. Informasi itu menyelinap dalam jejaring sosial itu bukan seperti mata-mata satu per satu, melainkan satu battalion. (Bdk. Kata-kata Shakespeare dalam drama yang berjudul, “Romeo-Juliet”).
Kalau seseorang masuk dalam lima group milis tentunya setiap hari bisa menerima puluhan bahkan ratusan informasi, belum lagi spam-spam yang masuk tanpa permisi. Maka tidak mengherankan jika ada orang yang berkata, “Setiap pagi saya hanya men-delet ucapan-ucapan HUT dan men-delet diskusi-diskusi yang tidak bermutu.”
Dunia dikuasai oleh apa yang dikatakan Paus Fransiskus sebagai “throw-away-culture.” Budaya yang membuang atau men-delete segala yang tidak baru lagi. Apa yang segar hari ini, besok sudah basi. Duduk berlama-lama membaca milis yang panjang-panjang hanyalah membuang-buang waktu saja.
Orang yang masuk group milis hidup dalam situasi disengage communication (komunikasi tanpa keterlibatan nyata). Karena jarak jauh dan tidak tahu juga lokasinya. Misalnya, ada seorang anggota salah satu group milis yang menulis sebuah peryataan yang kontroversial. Kemudian oleh seorang pemikir ditanggapinya dengan serius. Dengan serius pemikir itu menanggapi tulisan secara ilmiah dan menyebutkan pelbagai referensi.
Tapi, ternyata sang pembuat pernyataan itu tidak menanggapi balik (feedback) tetapi malah membuat issu atau judul baru. Mungkin dalam hati dia berkata, “EGP” (emang gue pikirin). Orang yang menanggapi tulisan itu boleh marah sich, tetapi di dalam hati saja, karena – yah tadi itu – disengage communacation. Orang yang masuk dalam dunia maya, virtual berarti dirinya sudah terjun dalam “dunia bebas.”
Meskipun tulisan-tulisan kita itu seperti “suara yang berseru-seru di padang gurun,” tetaplah menulis. Bukankah Ibu Teresa dari Calccuta (1910 – 1997) pernah menulis, “Meskipun karyamu tidak dihargai orang, tetaplah berkarya.” Atau seperti Andre Wongso yang menulis puisi yang berjudul Bunga Lily di Tebing, “Meskipun bunga Lilly bertumbuh mekar indah mewangi di tebing dan tidak ada yang melihat, tetaplah berbunga seindah-indahnya.”
Atau, seperti buku besutan Antony de Mello (1931 – 1987) yang berjudul, Burung Berkicau menulis, “Meskipun tidak ada yang mendengarkan suaranya yang merdu, burung-burung itu pun tetap berkicau.” Sekali lagi saya katakan, “Meskipun di milis tidak ada yang membaca, tetaplah menulis!”
Selasa, 22 Maret 2016
Komentar