Oleh: Berchmans N, Orang Muda Katolik di Jakarta
Paus Fransiskus, melalui suratnya pada 21 Januari 2016, mengatakan bahwa telah lama ia merenungkan ritus pembasuhan kaki yang terkandung dalam Liturgi Misa ‘In Coena Domini’.
Dengan pertimbangan yang amat cermat dan matang, ia memutuskan untuk mengubah pedoman Missale Romanum (hlm.100, no. 11) perihal pembasuhan kaki.
Keputusan Maxima Redemptionis Nostrae Mysteria November 1955, memberikan kekuasaan untuk melakukan pembasuhan kaki dua belas lelaki dalam Misa Perjamuan Tuhan setelah bacaan Injil menurut Yohanes. Di situ, dimandatkan untuk memilih laki-laki.
Paus Fransiskus sangat sadar bahwa Umat Allah bukan hanya terbatas pada manusia berjenis kelamin laki-laki.
Oleh karena itu, sejak tahun ini wanita ikut berperan serta dalam pembasuhan kaki pada Kamis Putih. Wanita diberi tempat dan ruang perihal keterlibatannya dalam kegiatan liturgis.
Lalu, apakah keputusan Paus ini berhenti pada lingkup “altar” saja?
Keputusan Paus akan memiliki ekses yang lebih besar dan global jika hal itu diterapkan juga dalam konteks lain, yang lebih luas.
Di banyak tempat tempat, Gereja hadir di tengah budaya partiarkal—yang mengafirmasi dominasi peran laki-laki.
Keputusan Paus diharapakan bisa mengoreksi budaya patriarkal, yang dalam banyak hal juga kerap kali dengan sendirinya mendiskriminasi perempuan.
Di sisi lain, keputusan Paus membawa angin segar bagi para pejuang gerakan feminisme. Gereja yang hadir di dalam budaya kental patriarkat—misalnya di wilayah Timur Indonesia—wajib meneruskan amanah ini dengan getol.
Gereja perlu memulai dari institusinya secara internal. Pemberian ruang dan peran liturgis pada perempuan turut mengurangi dominasi laki-laki atas perempuan.
Reformasi internal Gereja akan bekerja baik dalam ranah yang lebih luas jika hierarki Gereja ikut bergerak.
Jika hal ini membawa pengaruh secara global, diskriminasi atas hak-hak perempuan akan dihentaskan. Dunia yang diidam-idamkan akan semakin menunjuk rupa. Dunia tanpa ketidakadilan sosial dan diskriminasi.
Komentar