Oleh: Redem Kono
Pada 19 Maret 2016, saya menghadiri pelantikan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) periode 2016-2018.
Dalam acara tersebut, Mgr Anton Subianto OSC, sekertaris jenderal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) melantik Angelus Wake Kako sebagai Ketua PP PMKRI.
Angelus, yang merupakan anggota PMKRI Cabang Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggantikan Lydia Natalia Sartono, Ketua PP PMKRI periode sebelumnya.
Acara seremonial pelantikan seperti itu tentu lazim dalam sebuah organisasi. Yang bagi saya menarik adalah pokok-pokok pikiran dalam pidato Angelus.
Memetakan Masalah
Ia berbicara tentang globalisasi, yang kini menguasai dimensi kehidupan manusia. Hal itu, menurutnya, mengakibatkan dua perubahan besar.
Pertama, terjadi perubahan perilaku manusia, di mana lebih mengutamakan kepentingan diri daripada kepentingan bersama. Hal ini menempatkan manusia dalam posisi sebagai “serigala bagi yang lain.”
Kedua, persaingan dan pertarungan antarbangsa dibaca dari konteks politik ekonomi. Peperangan global, kapitalisme ke neo-kapitalisme, dekadensi moral karena perebutan sumber daya ekonomi sudah berkelindan dengan ambisi-ambisi politis.
Imbasnya adalah terjadi peperangan global memperebutkan sumber-sumber daya, seperti sumber-sumber energi. Lebih miris lagi ketika globalisasi menyediakan kosmopolitanisme kapitalisme dan juga korporatokrasi.
Kosmopolitanisme tersebut tampak dalam kenyataan bahwa batas-batas kekuasaan negara (fisik) kini menjadi samar, di mana satu negara (kuat) bisa saja menindas negara lain demi kepentingan ekonomi dan politik.
Sementara korporatokrasi berbicara tentang perselingkuhan antara negara dan perusahaan-perusahaan multinasional yang menguasai hajat hidup orang banyak, demi kepentingan ekonomi dan politik.
Berada di tengah situasi ini, Angelus bertanya, di mana posisi Indonesia pada saat ini?
Bertumpu pada “teori ketergantungan” (dependensia), ia berbicara tentang Indonesia sebagai “objek pertama dari eksploitasi.”
Globalisasi menghadirkan posisi saling tergantungnya satu negara dengan negara lain, dan atau negara dengan pasar. Ini menyebabkan kedaulatan negara Indonesia tidak dapat ditegakkan karena kehidupan politik dan ekonomi sering ditentukan oleh situasi ekonomi negara lain dan juga pasar internasional.
Pelemahan kurs rupiah baru-baru ini menjadi contoh bagaimana Indonesia tidak dapat menjadi otonom dan berdaulat di hadapan bangsa-bangsa lain.
Selain itu, globalisasi menyebabkan pula pergeseran perilaku yang tampak melalui praktek ketidakadilan. Hal ini diwakili oleh pejabat publik yang kerapkali melakukan korupsi, menggunakan narkoba, menjadi pelaku kejahatan ekologis dan ketidakadilan terhadap kaum minoritas.
Selain itu, di level akar rumput, ada warga negara yang masih terjebak dalam radikalisme agama, kekerasan rasial dan lain-lain.
Alhasil, jaminan hak-hak asasi manusia di Indonesia masih menjadi cerita lama yang tidak pernah berujung. Keadilan sosial di dalam negara masih jauh panggang dari pada api.
Memetakan Solusi
Berhadapan dengan persoalan-persoalan ini, Angelus menawarkan perlunya “kesadaran nasional” untuk membendung arus besar kosmopolitanisme kapitalisme dan korporatokrasi. Perjuangan bangsa adalah perjuangan bersama.
Kesadaran bersama mencakup di dalamnya sikap sadar atas kelupaan terhadap spirit berbangsa dan juga sikap sadar akan dampak negatif yang dipicu oleh kelupaan tersebut.
Tampaknya, Angelus mengamati bahwa tiang-tiang amanah berbangsa yang sudah didirikan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) tergerus oleh fakta globalisasi di atas. Globalisasi telah menyediakan nilai-nilai negatif yang menyerang nilai-nilai luhur kebangsaan sebagaimana tertera dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kesadaran nasional itu sangat penting untuk membangun Indonesia yang berdaulat secara ekonomi dan politik.
Bagaimana PMKRI menanggapi “kesadaran nasional” tersebut?
Angelo menawarkan dua solusi strategis, juga sebagai arah untuk membaca kiprah PMKRI ke depan.
Pertama, konsolidasi internal dalam tubuh PMKRI untuk memperkuat sumber daya menuju organisasi yang mandiri, kontributif dan berdaya saing. Hidup di dalam dunia globalisasi tidak dapat menghindar dari persaingan-persaingan.
Namun, persaingan mesti dituntun oleh komitmen untuk mendahulukan kepentingan orang banyak. Kader-kader PMKRI dituntut untuk saling bersaing ke dalam dan ke luar dalam ide, aksi ataupun keterampilan-keterampilan praktis yang berguna untuk agama, bangsa dan negara.
Kedua, konsolidasi internal itu tidak akan berjalan dengan baik jika PMKRI tidak kembali ke akarnya, yakni nilai-nilai kekatolikan.
Dalam konteks ini, keberpihakan Gereja pada yang miskin dan tertindas –karena ketidakadilan- (preferential option for the foor) sesuai spirit ajaran dan teladan Yesus Kristus dapat menjadi landasan pokok.
Keberpihakan itu bukan berarti PMKRI membenci para penguasa ataupun orang-orang berharta tanpa alasan. Keberpihakan itu bertujuan meluruskan sejarah bangsa yang sering kali ditulis di atas kanvas dominasi para pemenang dengan pena ketidakadilan.
Berani Berbeda
Seruan untuk kembali ke “identitas agama” dalam membangun bangsa sudah menjadi perdebatan menarik antara Paus Benediktus XVI dan pemikir kenamaan Jerman, Juergen Habermas.
Paus Benediktus menampilkan, katakanlah, sebuah analisis bahwa krisis moralitas dalam peradaban manusia disebabkan oleh peminggiran agama ke dalam ranah privat. Nilai-nilai agama tidak memiliki kontribusi dalam negara dan ataupun ruang publik.
Habermas menambahkan bahwa agama dan nilai-nilainya dapat berpartisipasi dalam ruang publik, dengan syarat bahwa orang-orang beragama dapat berdialog dalam suasana saling memahami, saling belajar dan akhirnya didukung oleh negara yang netral terhadap pelbagai perbedaan.
Dalam kaca mata ini, komitmen Angelus untuk kembali pada nilai-nilai agama bukan sebagai tanda kekunoan ataupun keterbelakangan.
Kembali ke nilai-nilai agama menjadi satu langkah maju untuk mengarahkan perjuangan PMKRI sebagai perjuangan yang menghargai martabat manusia sebagai individu ataupun manusia sebagai bagian dari kelompok, terutama negara (warga negara).
Ajakan kembali pada agama itu bukan pula menjadi tendensi radikalisme agama. Namun, ajakan tersebut untuk memperjuangkan keadaban bangsa dengan berpatok pada nilai-nilai luhur agama Katolik, yang searah dengan nilai-nilai perjuangan bangsa.
Dengan demikian, petuah Mgr Soegijapranata dapat mengumandang kembali, bahwa sebagai warga negara Indonesia dan sekaligus umat Katolik, orang Katolik harus menjadi 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia.
Dengan demikian pula, motto PMKRI dapat juga terjawab yakni serentak “untuk Gereja dan negara” (pro ecclesia et patria). Kita tidak dapat memilih salah satunya!
Berdasarkan tafsiran atas pidato tersebut, sebagai “orang luar PMKRI”, saya coba membaca arah PMKRI di periode ini.
Pertama, PP PMKRI akan memberdayakan para kader di daerah-daerah untuk tidak saja terlibat dalam “kegiatan PMKRI,” tetapi juga “kegiatan rohani dalam lingkungan agama Katolik,” dan juga “kegiatan berbakti kepada negara.”
Ketiganya akan membentuk kader-kader PMKRI yang tidak hanya berintelek tetapi berintegritas, beriman, dan menyuarakan persoalan-persolan di berbagai bidang.
Komitmen ini tampak nyata dalam susunan pengurus pusat saat ini yang “gemuk”, lebih banyak dari sebelumnya. Susunan pengurus dengan pelbagai tugas dan keahlian tertentu ini dapat membangkitkan generasi-generasi muda bangsa yang cerdas, terlibat dan berkarakter.
Pada titik ini, hubungan pengurus pusat dan pengurus cabang PMKRI perlu terjadil dalam satu alur komunikasi yang kreatif, produktif dan saling belajar.
Kedua, ajakan untuk kembali ke akar nilai-nilai agama dalam mewujudkan negara Indonesia yang berdaulat dapat menjadi komitmen PMKRI untuk “berani berbeda.”
Nilai-nilai kejujuran, keadilan, toleransi, cinta kasih, dan kemanusiaan yang diajarkan Yesus dapat diterjemahkan (dibawa) ke dalam lingkup negara.
Namun, tentu saja realisasi hal ini tidak akan gampang karena harus berbenturan dengan kriris moralitas di mana masih ada korupsi, kejahatan ekologis dan lain-lain.
Dalam tataran ini, para anggota PMRI dapat menjadikan Yesus sebagai panutan, di mana Yesus telah “berani berbeda” di zamannya: menentang penguasa yang korup, hidup bersama orang kecil dan tertindas, menjadi corong kebenaran di zamannya. Karena berani untuk “berani berbeda” ini, Yesus pun mati demi apa yang diperjuangkannya.
Saya membaca keberanian ini sebagai komitmen militansi untuk menyatakan “lawan” terhadap siapapun dan apapun yang memanipulasi kebenaran dan melanggengkan ketidakadilan di negeri ini.
Penulis adalah mahasiswa magister di STF Driyarkara dan pengajar di Kalbis Institute, Jakarta
[Opini ini sebelumnya dipublikasi di Floresa.co)
Komentar