Oleh: Jarot Hadianto
Mari kita menghidupkan kembali ke memori beberapa tahun silam. Jakarta, malam tahun baru 2012/2013. Saat itu digelar pesta yang sangat meriah. Sebuah jalan besar ditutup, segala jenis kendaraan dilarang melintas. Jalan itu kemudian dijadikan tempat bermacam-macam pertunjukan musik dan seni budaya. Penduduk Jakarta dan sekitarnya tumpah ruah di situ. Namun, tidak semua menyambut penyelenggaraan pesta rakyat itu dengan gembira. Sejumlah pihak dengan sinis memberi penilaian negatif sebagai kegiatan hura-hura, bahkan ajang maksiat.
Beberapa minggu kemudian, hujan besar melanda ibu kota. Setiap hari air seakan tercurah dari langit dengan derasnya. Seisi kota tertutup air, termasuk jalan utama yang dulu dipakai untuk keramaian pesta, banyak orang mengungsi. Orang-orang yang merasa sinis atas pesta rakyat itu membenarkan diri: Itu adalah hukuman Tuhan! Tuhan mengirim banjir untuk “membasuh” dosa dan maksiat penduduk kota saat pesta tahun baru!
Tuhan adalah sumber bencana?
Bahwa segala bencana alam memiliki hubungan erat dengan Tuhan rasanya menjadi keyakinan banyak orang dari dulu sampai sekarang. Tuhan itu mahakuasa. Segala sesuatu di dunia terjadi hanya atas kehendak-Nya. Konsekuensinya, berkat, anugerah, dan hal-hal positif yang kita alami berasal dari-Nya, tetapi juga bencana alam dan hal-hal negatif lainnya.
Siapa yang mengirim banjir ke Jakarta? Siapa yang mendatangkan tsunami ke Aceh? Siapa pula yang membuat bumi berguncang dan gunung-gunung meletus? Jawaban banyak orang akan seragam: Tuhan. Mereka yang sedang berduka akibat tertimpa bencana pun kalau ditanya akan menjawab dengan tulus ikhlas, “Ini semua adalah kehendak Tuhan.” Sadar atau tidak, mereka dengan demikian menuding Tuhan sebagai sumber bencana.
Lalu mengapa Tuhan tega melakukan hal itu? Penjelasannya mudah. Bencana, dalam hal ini yang kita bicarakan adalah bencana alam, adalah hukuman Tuhan atas dosa-dosa manusia. Ketika manusia mulai tergoda untuk berbuat dosa, Tuhan mula-mula mengirim peringatan dan teguran halus kepada mereka, yang sayangnya sering kali tidak dipedulikan.
Tuhan pun murka karenanya. Digoyang-goyangkan-Nya bumi, diledakkan-Nya gunung-gemunung, dinaikkan-Nya air sungai dan lautan untuk menyapu habis makhluk-makhluk yang tidak tahu diri itu. Dengan tindakan tersebut, Tuhan menunjukkan keadilan-Nya. Yang baik diberi-Nya berkat, yang jahat diberi-Nya hukuman. Semakin besar kesalahan seseorang, semakin besar pula hukuman yang harus ditanggungnya. Dapat disimpulkan bahwa kalau begitu orang-orang yang terkena musibah adalah orang-orang berdosa yang sedang dihukum Tuhan.
Tentunya tidak ada yang setuju dengan kesimpulan macam itu. Kita tahu, bencana datang tanpa memandang muka. Semua yang ada di hadapannya disapu habis, tidak peduli apakah dia orang baik atau orang jahat. Menyadari hal itu, menyebut terjadinya musibah sebagai kehendak Tuhan tampaknya sekadar tanda bahwa orang kehabisan kata untuk menjelaskan suatu peristiwa yang sulit dimengerti.
Solusi paling gampang tentu saja dengan mengembalikan semuanya kepada Yang Mahakuasa. Maksud awalnya positif, yakni mengakui Tuhan sebagai sosok dengan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Namun, efek sampingnya ternyata tidak bagus. Tuhan diposisikan sebagai Sang Pencipta, tapi juga Sang Pembunuh.
Dia mahakuasa, tapi tidak mahakasih. Maka, dengan segala hormat, penjelasan-penjelasan yang dikemukakan di atas kiranya masih jauh dari memuaskan dan sudah saatnya ditinggalkan.
Penyebab terjadinya bencana menurut Alkitab
Namun, harus diakui, Alkitab sebagai salah satu dasar iman dan hidup Gereja turut menanamkan gagasan bahwa bencana merupakan wujud hukuman Tuhan dan punya hubungan erat dengan dosa manusia. Manusia berdosa, Tuhan menghukum, bencana datang, begitulah kurang lebih gambarannya.
Banjir pada zaman Nuh (Kej 7-8), misalnya. Air bah mahadahsyat itu terjadi setelah Tuhan melihat “bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej 6:5). Hal itu membuat Tuhan “menyesal” menciptakan manusia dan berniat menghapuskannya dari muka bumi. Hancurnya Sodom dan Gomora (Kej 19), tulah-tulah yang menimpa Mesir (Kel 7-12), dan banyak kisah lain dalam Alkitab memiliki pola serupa itu.
Langkah pertama untuk memahami kisah-kisah itu secara tepat adalah dengan tidak melihatnya sebagai catatan sejarah, melainkan sebagai kisah pengajaran maupun refleksi iman. Selanjutnya, kita mesti memahami pula bahwa dalam Alkitab, alam semesta dilihat sebagai alat atau sarana bagi Tuhan untuk mewujudkan kehendak-Nya.
Benda-benda dan makhluk ciptaan ada untuk melayani kehendak Sang Pencipta. Tidak heran kita akan menemukan di sana kisah tentang laut yang dibelah (Kel 14:21-22), tentang matahari yang ditahan agar tidak terbenam (Yos 10:12-13), juga tentang hujan yang dicegah untuk turun (1Raj 17:1). Kisah Yunus adalah contoh yang sangat jelas bagaimana alam tunduk pada kehendak Allah: ada badai besar yang mendadak muncul guna “menangkap” Yunus yang berniat kabur dari-Nya (Yun 1:4), ada ikan besar yang menelan Yunus agar tidak tewas tenggelam (Yun 1:17), ada pula pohon yang menjadi besar dalam sekejap untuk menaungi Yunus yang hatinya sedang kesal (Yun 4:6). Siapa “dalang” di balik semua peristiwa itu? Jawabannya adalah Tuhan.
Tuhanlah pencipta alam semesta. Dalam kitab Kejadian, iman tentang itu dinyatakan dengan tegas (Kej 1:1-2:4a). Bumi dan para penghuninya, juga bulan, bintang, dan matahari merupakan mahakarya Tuhan yang sekaligus menunjukkan kebesaran-Nya. Selain mencipta, Tuhan juga memelihara dan mengatur segala yang diciptakan-Nya.
Laut dan daratan dipisahkan oleh-Nya, shift kerja matahari dan bulan ditentukan oleh-Nya, siang dan malam pun diatur-Nya supaya datang silih berganti tak kenal putus. Segala sesuatu dibuat-Nya tertata rapi dan harmonis. Pantaslah jika akhirnya dikatakan, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik” (Kej 1:31).
Akan tetapi, karya penciptaan belum sepenuhnya selesai. Apa yang pada mulanya dilihat sungguh amat baik oleh Allah perlahan tapi pasti mengalami kerusakan. Dalam refleksi penulis Kejadian, sumber kerusakan itu tidak lain dosa manusia. Dengan makan buah terlarang, manusia telah melanggar perintah Allah dan ingin menyejajarkan dirinya dengan Sang Pencipta (Kej 3).
Berawal dari ketidaktaatan, dosa kemudian menjalar ke mana-mana, melahirkan pertikaian, perpecahan, pembunuhan, dan peperangan. Harmoni alam rusak dikacaukan oleh keangkuhan dan keserakahan manusia. Mereka siap melakukan apa saja asalkan keinginannya tercapai. Karena itu, Allah digambarkan menjatuhkan hukuman kepada manusia dengan menggerakkan kekuatan-kekuatan alam. Dengannya, Allah hendak memulihkan harmoni alam semesta.
Langit yang baru dan bumi yang Baru
Bagaimanapun, kisah-kisah bencana dalam Alkitab terkesan menampilkan Allah sebagai pribadi yang kejam. Tergambar di situ, atas kehendak-Nyalah sebuah malapetaka terjadi. Agar tidak salah mengambil kesimpulan, baiklah kita baca pula Why 21:1-5a (bdk. Yes 65:17-25). Dalam perikop ini, Allah dikisahkan menyingkap kepenuhan rencana-Nya kepada Yohanes.
Pada hari akhir nanti, demikian dinyatakan oleh-Nya, Ia hendak menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru. Langit dan bumi yang lama, yang rusak akibat dosa manusia, akan berlalu, hilang musnah untuk selamanya. Untuk menggantikannya, Allah menciptakan dunia yang baru, sungguh-sungguh baru.
Di situ laut tak ada lagi. Menurut tradisi Israel, laut adalah tempat yang mengerikan karena makhluk-makhluk jahat yang mengganggu manusia bersemayam di dalamnya. Tidak adanya laut dengan begitu mau menggambarkan bahwa bumi yang baru akan bebas sepenuhnya dari ancaman maut. Setan, dosa, dan kejahatan tidak mendapat tempat sama sekali. Bagaimana bisa mendapat tempat, kalau yang berkuasa di situ adalah Allah sendiri?
Di bumi yang baru, Allah akan hadir di tengah-tengah umat-Nya secara langsung dan terus-menerus. Ia tidak lagi memerintah dari kejauhan (bdk. Yeh 37:27), sehingga manusia dapat mengalami kebersamaan dengan-Nya. Tak ada lagi keterasingan antara Allah dan manusia. Tak ada lagi kematian, ratap tangis, dukacita, dan air mata. Allah yang mahabaik akan menyingkirkan itu semua dari kehidupan manusia.
Meski sama-sama berpendapat bahwa kehancuran bumi adalah akibat dosa manusia, perikop tersebut melangkah lebih jauh. Yang ditonjolkan bukan lagi kengerian bencana ataupun murka Tuhan yang meluap-luap, melainkan kebaikan hati-Nya yang penuh kasih. Karena itu, kita harus sadar bahwa Kitab Suci kita berakhir dengan kisah keselamatan, bukan kehancuran!
Perhatikan pula bahwa dalam setiap kisah bencana selalu ada yang diselamatkan. Nuh diselamatkan dari air bah (Kej 6:9-22), begitu pun Lot diselamatkan dari kehancuran Sodom dan Gomora (Kej 19:1-29). Tuhan senantiasa menghadirkan keselamatan bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya. Itulah yang seharusnya menjadi fokus kita ketika membaca kisah-kisah bencana.
Bekerja Sama Merawat Alam
Sebab itu, kiranya akan lebih tepat jika kita melihat bencana pertama-tama sebagai fenomena alam. Bumi memang rapuh dan terus bergejolak. Sejauh kita tinggal di situ, wajar saja kalau bencana-bencana tersebut terus mengintai kita. Sejumlah malapetaka terjadi akibat kecerobohan kita sendiri.
Hutan digunduli, hewan-hewannya diburu, pohon-pohonnya diganti tanaman industri. Sungai-sungai pun sekarang tidak lagi dipenuhi air dan ikan, melainkan sampah. Kalau kemudian terjadi banjir, tanah longsor, perubahan iklim maupun pemanasan global, jangan salahkan Tuhan. Salahkanlah diri sendiri, sebab keengganan kita untuk memelihara bumilah yang menjadi penyebabnya. Solusi untuk menangani bencana macam ini sangat jelas: kita harus mulai bekerja sama merawat alam.
Penulis bekerja di Lembaga Biblika Indonesia
[Versi asli tulisan ini dimuat di Jpicofmindonesia.com)
Komentar