Katoliknews.com – Suatu hari pada Oktober 2012, Paus Fransiskus yang kala itu dikenal sebagai Kardinal Jorge Bergoglio menggelar Misa bagi ribuan anak-anak di ibu kota Argentina. Pada saat yang bersamaan pikirannya melayang kepada sosok biarawati dari Kalkuta, Bunda Teresa.
“Siapa yang mengatakan bahwa kita dapat menemukan Yesus di dalam diri mereka yang paling papa?” tanyanya pada anak-anak yang berkumpul di stadion Parque Roca seperti dikutip dari Time, Minggu, 4 September 2016.
“Bunda Teresa!” jawab mereka.
“Dan apa yang dipeluk oleh Bunda Teresa? Sebuah salib? Bukan, melainkan seorang anak yang membutuhkan. Maka, kita dapat menemukan Yesus pada setiap orang yang membutuhkan,” demikian Kardinal Jorge Bergoglio mengajari anak-anak tersebut.
Enam bulan setelah percakapannya dengan anak-anak itu, ia diangkat sebagai Uskup Roma dan kini ia menyandang gelar sebagai Paus Fransiskus.
Meski demikian, sosoknya ketika itu tidak pernah membayangkan bahwa dalam beberapa tahun mendatang ia akan menjadikan Bunda Teresa sebagai santa.
Meski wilayah pelayanan mereka terpisah di dua benua yang berbeda, terdapat persamaan antara Paus Fransiskus dan Santa Teresa – yang telah dikanonisasi pada 4 September.
Keduanya, sama-samamelayani perintah keagamaan. Bunda Teresa adalah pendiri Misionaris Cinta Kasih dan Paus Fransiskus adalah seorang Jesuit.
Baik Bunda Teresa maupun Paus Fransiskus mengabdikan hidup mereka untuk kaum miskin dan memusatkan perhatian pada masyarakat yang terpinggirkan. Santar Teresa dikenal sebagai ‘orang suci dari selokan’ sementara Fransiskus adalah ‘pausnya para gelandangan’.
Adalah hal mustahil mengenang Bunda Teresa dan Paus Fransiskus tanpa mengingat pelayanan keduanya terhadap mereka yang menderita, terutama kaum miskin.
Sejak awal kepausannya, Paus Fransiskus telah memusatkan perhatian pada kaum miskin, serta berjuang untuk hak-hak mereka di kancah global, mulai dari Kongres AS hingga PBB.
Selama kunjungan satu hari ke kampung halaman Bunda Teresa di Albania pada September 2014, Paus Fransiskus menegaskan misinya dengan mengunjungi pusat penampungan anak-anak cacat dan miskin. Saat ia mencium wajah seorang pria cacat di alun-alun Basilika St Petrus, dunia larut dalam suasana haru.
Sejumlah langkah yang ia ambil mengingatkan banyak orang pada kata-kata Bunda Teresa: “Saya melihat Tuhan di dalam diri setiap orang,” ungkapnya suatu saat. “Saat saya memandikan luka penderita lepra, saya merasa sedang merawat Tuhan. Bukankah itu pengalaman yang indah?”
Misi cinta kasih kepada mereka yang menderita, tertanam kuat dalam kehidupan Paus Fransiskus dan Bunda Teresa. Keduanya, sama-sama memuja santa yang menjadi inspirasi nama Bunda Teresa, yaitu Santa Theresa dari Lisieux, Prancis. Ia adalah seorang biarawati Prancis pada Abad ke-19 yang terkenal karena spiritualitasnya yang sederhana.
Bunda Teresa menemukan inspirasi dalam diri Santa Theresa untuk melakukan hal-hal biasa dengan penuh cinta. Kedua wanita ini juga secara terbuka menceritakan pengalaman mereka menemukan iman dalam kegelapan, bukan hanya dalam cahaya.
Paus Fransiskus juga menemukan inspirasi dalam diri Santa Theresa. Setiap kali ia merasa khawatir, ungkapnya, ia akan meminta bunga mawar pada Santa Theresa sebagai tanda kehadiran Tuhan dan panggilan hidupnya.
Saat bepergian, ia bahkan membawa salah satu buku Theresa. Dan pada tahun 2015, ia menjadikan kedua orang tua Theresa sebagai pasangan suami istri pertama yang diberi gelar santo dan santa.
Sebagaimana Paus Fransiskus memuja sosok yang menginspirasi namanya, Bunda Teresa juga mengagumi Santo Fransiskus dari Assisi – santo pelindung kaum miskin dari Abad ke-13. Setiap hari setelah merayakan sakramen komuni, ia berdoa kepada Santo Fransiskus.
Doanya tersebut sering diucapkan di hadapan publik termasuk saat menerima Nobel Perdamaian pada tahun 1979.
Didirikannya Misionaris Cinta Kasih oleh Bunda Teresa mengungkapkan rasa hormat yang tinggi pada semua agama dan mereka tidak berusaha memaksakan agama Katolik kepada orang lain saat memberikan bantuan.
Bunda Teresa mengatakan bahwa penganut semua agama di dunia sebenarnya bersaudara.
“Hanya ada satu Tuhan, dan Dia Tuhan bagi semua,” tulisnya dalam buku A Simple Path.
“Saya selalu mengatakan bahwa kita harus membantu penganut Hindu menjadi umat Hindu yang lebih baik, seorang Muslim menjadi Muslim yang lebih baik, seorang Katolik menjadi umat Katolik yang lebih baik.”
Dalam tradisi ini, Paus Fransiskus dinilai kembali terinspirasi oleh Bunda Teresa. Albania, negara tempat Bunda Teresa berasal merupakan negara mayoritas Muslim, dan saat Paus berkunjung pada tahun 2014, ia berbicara tentang penindasan bukan hanya atas umat Kristen, namun juga saudara-saudara Muslim mereka.
Paus Fransiskus diketahui pernah mencuci kaki imigran Muslim. Ia membawa beberapa keluarga Muslim Suriah ke kota Roma dari sebuah kamp pengungsi di Yunani.
Ia bahkan menyambut tokoh terkemuka Sunni yang berpengaruh Syekh Ahmad al-Thayib ketika berkunjung ke Vatikan pada Mei 2016. Keduanya berdiskusi tentang komitmen bersama pada perdamaian dan penolakan terhadap kekerasan dan terorisme.
Meskipun misi mereka saling terkait, Paus Fransiskus dan Bunda Teresa hanya pernah bertemu secara singkat. Pada tahun 1994, Bunda Teresa diundang untuk menginspeksi rapat para uskup di Vatikan. Sementara Paus Fransiskus duduk di belakangnya ketika itu.
“Saya mengagumi kekuatannya, ketegasannya saat berbicara, dan ia tidak membiarkan dirinya kuatir akan sekumpulan uskup. Ia mengatakan apa yang hendak dikatakannya,” ungkap Fransiskus.
Lantas, kiranya bukan kebetulan saat ia mengkanonisasikan Bunda Teresa pada Tahun Kerahiman, saat di mana umat Katolik di seluruh dunia berupaya mewujudnyatakan cinta kasih Tuhan.
Edy/Liputan6.com/Katoliknews
Komentar