Katoliknews – Talitha Kara, putri Christian, terpidana mati kasus narkoba,menilai hukuman mati adalah tanda matinya penghayatan sila kedua pancasila.
Hal itu diungkapkan Kara dalam Seminar Hukuman Mati di Negara Pancasila yang diadakan oleh Komisi Keadilan dan Perdamain Konferensi (KKP) Wali Gereja Indonesia (KWI) di Kantor KWI Jakarta Jumat 30 September kemarin.
“Papa saya (Christian) dijebak dan dipaksa untuk mengaku sebagai bandar narkoba,”ujar Kara dalam seminar itu.
“Lalu saya bertanya apakah artinya sila kemanusiaan yang adil dan beradab jika papa saya diperlakukan demikian,”ujarnya retoris.
Kara menceritakan, kabar vonis mati ayahnya itu ketahui saat dirinya masih duduk di kelas III SMA. Waktu itu, ia sedang di taxi menuju rumah seorang temannya untuk mengerjakan tugas kelompok.
“Tiba-tiba mama menelepon dan memberitahu bahwa papa divonis hukuman mati,” ujar Kara.
Sontak kabar itu membuat Kara sedih dan menagis.
Kara pun langsung pulang ke rumah. Keesokan harinya, pagi-pagi ayahnya pulang ke rumah.
“Badan papa penuh lebam,” kata Tara.
“Papa minta untuk di foto. Setelah itu, papa bilang dia kembali lagi ke Polda,” urai Kara.
“Jujur, kami tidak tahu hukum, sedangkan pengacara pun silih berganti, lantas papa tetap saja divonis untuk hukuman mati,” sharing Tara.
“Kami juga sudah berjuang untuk melaporkan vonis ayah saya ke Komnas HAM, MA, dan Sesneg tetapi tidak mendatangkan hasil,” ujar putri Christian lagi.
Realitas itu membuat Kara begitu sedih, stres dan putus asa. Tiba-tiba, sambung Kara lagi Romo Parokinya menelepon mamanya untuk mencari advokasi pada Romo Paul Rahmat SVD di Gereja Matraman.
Akhirnya kami bertemu dengan Pak Azas Tigor Nainggolan yang saat ini menjadi pengacara kami. Lantas, kata Kara, bersama Pak Tigor dan Romo Koko Pr dari KKP KWI keluarganya mengajukan peninjauan kembali vonis ayah saya ke MA.
“Hal ini kami lakukan karena vonis ayah saya dihasilkan oleh peradilan yang sesat. Dan ini mencederai sila kedua pancasila,” tegas Kara.
Stefan/Katoliknews
Komentar