Katoliknews.com – Berita duka datang dari negeri Perancis. Pastor Henry Yoseph Jourdain, MEP, yang telah lebih dari 30 tahun melayani umat di Tanjungpinang pergi menghadap Bapa di Surga. Ia meninggal pada Rabu, 22 Maret 2017, pukul 14.30.
Siapa sosok Pastor Hendy dan bagaimana perjalanannya selama berkarya di Indonesia?
Berikut kisahnya yang dimuat di situs Berkatnews.com. Kisah ini disarikan dari Buku Kenangan 75 tahun Paroki Hati Santa Maria Tak Bernoda, Tanjungpinang, 2007.
Lahir di Quentin, Perancis, 4 Mei 1928. Ia mempunyai 7 saudara, dua diantaranya memilih hidup selibat. Ia anak ke 5 dan pada umur 18 tahun memutuskan masuk seminari. Ia memilih masuk menjadi imam Missions Etrangeres de Paris (Serikat Misi Imam Praja dari Paris) disingkat MEP. Ditahbiskan pada 1 Juni 1952. Hanya dengan persiapan satu tahun, pada 1953 ia ditugaskan untuk melayani umat di Birma (sekarang Myanmar).
Di Birma, Pastor Henry melayani 50 stasi yang semuanya berada di wilayah pegunungan. Transportasi saat itu hanya dengan kuda atau malah hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Kebanyakan umat yang ia layani adalah dari golongan miskin dan sering terserang bermacam penyakit. “Saat di Perancis, saya pernah ikut kursus Kedokteran, dan ternyata sangat berguna ketika saya bertugas di Birma“, kenangnya saat itu. Pastor Henry selalu membawa obat-obatan setiap kali melayani umat di stasi-stasi, ia bukan hanya memberikan pelayanan rohani tetapi juga kesehatan. Kuda adalah andalannya ketika membawa obat-obatan, walaupun sebagian besar kuda yang pernah ia miliki mati karena serangan harimau. Itu terjadi ketika ia meninggalkan kuda di luar kapel dan membiarkannya memakan rumput di sekitar, selama ia mempimpin Ekaristi.
Menjelang tahun 60an, kondisi politik di Birma bergejolak. Puncaknya ketika semua imam Katolik harus di usir dari Birma. “Ketika itu tahun 1966, tidak terasa saya sudah di Birma selama 13 tahun, tetapi akhirnya harus meninggalkan umat yang masih menderita”, kenang pastor Henry terharu. Ia kembali ke rumah induk MEP di Perancis dan melayani umat di sana. Tidak lama kemudian MEP menugaskannya ke Vietnam pada tahun 1967.
Pada tahun 1967 di Vietnam juga terjadi pergolakan politik dan pemerintahan. Ia ditempatkan bersama pengungsi. Dengan keadaan yang serba susah di pengungsian, ia mendapat sumbangan dari keluarganya yang ia belikan 80 traktor. Traktor-traktor dipakai untuk membuat jalan, bendungan, membuka persawahan dan ladang untuk para pengungsi. Ia juga membuat pipa air sejauh 2 Km untuk mengairi persawahan. Karena ia bekerja sungguh amat berat, lututnya mengalami cedera yang membuatnya susah berlutut. Ia kembali diusir dari Vietnam tahun 1974 ketika negara itu jatuh ke tangan komunis. Umat di Vietnam juga terpencar untuk menyelamatkan diri dari tirani komunis Vietnam. Sebagian dari mereka berlabuh di Pulau Galang, Indonesia. Pastor Henry kembali ke rumah induk MEP Perancis dan tinggal di sana sampai tahun 1977 sebelum ia ditugaskan ke Indonesia.
Tahun 1977 bersama mantan Uskup Agung Kamboja, Mgr. Ives Ramousse, Pastor Henry tiba di Tanjungpinang, Indonesia. Setelah itu ia berangkat ke Bandung pada Mei 1978 untuk belajar bahasa dan budaya Indonesia selama 3 bulan.
Setelah ia harus menahlukkan pegunungan di medan misi sebelumnya, di Bumi Gurindam ia kembali harus mampu menaklukan daratan pulau Bintan dan ganasnya lautan. Ia sudah teruji di medan bakti, sesulit apapun ia tetap gembira, ia begitu mencintai panggilan imamatnya. Melayani umat di daratan Bintan ia jalani dengan estafet bersama motor GL Max nya. Tiap stasi harus menginap, mulai dari Kawal, Telukdalam, Berakit, kemudian ke Tanjung Uban. Di lautan ia harus melayani dari Pulau Tujuh, Ranai, Tarempa, Mengkait, dan Airsena.
Walau ia berasal dari keluarga kaya, Pastor Henry tetap menghidupi panggilan sebagai orang sederhana. Ia biasa membeli tembakau di pasar Tanjungpinang daripada beli rokok jadi. Ia tidak boros pakaian, selama masih bisa dipakai, ia akan pakai walaupun kadang nampak cingkrang karena kekecilan. Ruang tidur di pastorannya juga tidak ada kasur, tidak pakai sprei ataupun kelambu. Justeru pastor Henry sering menggunakan dana yang ia miliki untuk membantu umat. Ia membangun sekolah kecil di Airsena, yang kemudian diambil alih oleh pemerintah. Ia juga membangun kapel Airsena, Mengkait dan Tarempa. Ia membangun sekolah kecil dan kapel sederhana di Pulau Manik, Pongo, Tanjung Gantung, dan beberapa tempat lainnya. Ia juga mencarikan dana untuk pembangunan aula bukit Tabor, asrama Putra Tarsisius, Gereja Kristus Raja dan Gereja Katolik di jalan Lobam. Beberapa mobil dan motor di pastoran Tanjungpinang, belum lagi ia juga banyak membantu umat tidak mampu yang sakit untuk berobat dan operasi ke luar negeri.
Pastor Henry kini telah tiada, namun semangat pastoralnya untuk melayani masih bisa kita rasakan hingga saat ini, dan hari-hari yang akan datang. Bukan hanya bentuk fisik namun pelayanan yang ia berikan adalah semua yang ia punya. Semua yang ia punya untuk Allah melalui umat yang ia layani.
Selamat jalan Pastor….Engkau menjadi pendoa bagi kami….semoga kami dapat mengikuti jejakmu….Amin.
Komentar