Katoliknews.com – Puluhan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Papua berdemo saat sedang melakukan pertemuan tahunan di Susteran Maranatha Waena, Jayapura pada Jumat, 9 Juni 2017.
Dilansir tabloidjubi.com, mereka menuntut lima uskup se tanah Papua peduli terhadap orang asli Papua (OAP).
Para mahasisa yang mengaku sebagai perwakilan Umat Katolik mendesak uskup Timika, Uskup Agast, Uskup Jayapura, Uskup Manokwari-Sorong dan Uskup Agung Merauke agar membuka suara untuk kemanusiaan di Papua.
Mereka yang juga bernaung di bawah payung Solidaritas Peduli Umat Katolik Pribumi Papua mendesak kelima uskup harus peduli dengan penderitaan orang asli Papua selama pemerintahaan Indonesia di Tanah Papua.
“Suka duka kecemasan , harapan dan kegembiraan umat Tuhan di tanah Papua haruslah menjadi suka duka,kecemasan ,harapan dan kegembiraan para uskup di tanah Papua,” ungkap para demonstran dalam spanduknya.
Kristianus Dogopia selaku kordinator Aksi mengatakan para uskup harus menjadikan masalah-masalah ketidakadilan, diskriminasi, stigmatisasi dan pembnunuhan di Papua bagian dari masalah gereja.
Menurut dia Gereja tidak bisa hanya diam menyaksikan pembantaian umat Allah di atas Tanah Papua.
Gereja, lanjut dia, tidak bisa terus menerus membisu melihat nilai-nilai keadilan, kebenaran dan perdamaian di atas tanah Papua diinjak-injak.
“Dimanakah suara kenabian gereja? Dimanakah para Gembala (uskup) ketika terjadi pembantaian?” tanya Dogopia dalam pernyataan sikap yang dibacakan saat berdemo.
Kata Dogopia, para gembala umat Katolik di tanah Papua haruslah menyuarakan suara kenabiaannya.
Para gembala wajib menjadikan “Duka dan Kecemasan, harapan dan kegembiraan Umat Tuhan di tanah Papua” sebagai “Duka dan Kecemasan, harapan dan kegembiraan Gembala Umat”.
“Gembala janganlah meninggalkan domba-dombanya ketika mereka disergap oleh para serigala,” tegas Dogopia dalam pernyataan sikapnya.
Dikatakan pembantaian terhadap orang Papua itu dilegalkan lantaran stigma. Stigma separatis, makar, pengacau, kriminalis dan berbagai stigma lainnya yang menjustifikasi penangkapan, penembakkan dan bahkan pembunuhan terhadap Orang Asli Papua.
Karena itu, lanjut dia para Uskup di tanah Papua didesak wajib memperjuangkan penghapusan stigmatisasi terhadap orang asli Papua.
“Orang asli Papua harus dibebaskan dari berbagai stigma buruk itu,” kata dia.
Dogopia juga membacakan keprihatinan pendemo atas perbedaan sikap para uskup di Papua dengan para uskup di Pasific. Gereja-Gereja Pasifik (Konferensi Para Uskup Pasifik) lebih peduli dan telah berbicara dan mengangkat segala persoalan Kemanusiaan di tanah Papua.
Sebaliknya, kata dia, uskup-uskup di tanah Papua dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tidak pernah menyuarakan tentang segala persoalan kemanusiaan (Pelanggaran HAM) yang terjadi di atas tanah Papua.
Oleh karena itu, lanjut dia, sudah layak dan sepantasnya, gereja Katolik (Para Uskup) di tanah Papua membangun kerja sama dengan Gereja Katolik di wilayah Pasifik untuk menyuarakan persoalan kemanusiaan di tanah Papua.
Uskup Keuskupan Agast, Mgr Aloysius Murwito OFM yang menerima demonstran mengatakan dirinya sangat menghargai umat yang menyampaikan harapan.
Ia menyebut puluhan demonstran itu sebagai penyambung suara-suara sebagian besar umat yang tidak bersuara.
“Suara-suara ini menjadi masukan bagi saya untuk saya baca, merenung supaya ini menjadi bahan pembicaraan bukan dimasukan dalam lemari,” ungkapnya.
Ia mengatakan aspirasi itu akan diteruskan kepada lima uskup yang tidak sempat menerima demonstran lantaran tidak ada di tempat.
Lima uskup itu adalah Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr Leo Labaladjar, Uskup Mimika Mgr John Philip Saklil, Uskup Agung Merauke Mgr Nicolaus Adi Saputra, Uskup Manokwari-Sorong Mgr Hilarius Datus Lega.
JTP/Katoliknews
Komentar