Oleh: Stefan Kelen Pr, imam Keuskupan Pangkalpinang, pemerhati komunikasi dan politik
Pria berwajah bulat dan bertopi itu duduk di kursi dekat pintu bus pariwisata berwarna biru itu.
Setelah sekitar 20-an menit melewati kota Muntilan, siang itu, Kamis 6 Juli 2017, tiba-tiba jalan mulai menanjak. Jalan aspal sudah mulai berubah menjadi batu-batuan dan pasir, alias jalan berlubang. Sedangkan di sisi kanan dan kiri jalan, terlihat sawah terbentang nan hijau.
Tiba-tiba, pria bertopi bernama Arko itu berdiri dari tempat duduknya. Ia mengungkapkan beberapa statement untuk menanggapi percakapan bernada celoteh di antara Hendra, Gomgom dan Rico tentang jalanan penuh lubang dan kelokan.
“Perjalanan itu harus lurus, kalau belok berarti ke sawah,” komentar Arco, OMK Paroki Santo Thomas Rasul (Sathora), Jakarta ini.
Sementara itu, di sepanjang jalan dari Bawean, melewati kota Ambarawa, Magelang dan Muntilan tampak masjid dan musholla yang tidak bisa dihitung lagi dengan jari.
Posisi masjid itu ada yang lebih jangkung dari rumah warga. Tetapi lebih banyak lagi yang tersembunyi di balik rumah warga dan ruko-ruko di pasar.
Inilah realitas tanpa bentukan. Tersusun dan terbentuk dalam kekuatan alami. Sehingga tak ayal saya menangkap beberapa komentar OMK menyebutnya sebagai fenomena sosial apa adanya. Fenomena sosial ini memancarkan aura sejuk di tengah kekuatiran sebagian warga akan runtuhnya semangat persaudaraan.
Sebagai jurnalis amatiran, yang ikut dalam perjalanan itu, saya tidak bisa mengidentifikasi warna masjid dan musholla itu satu persatu.
Hanya saja di antaranya ada yang bewarna kuning muda dan hijau muda. Warna persisnya apa, saya kurang memahami karena saya bukan penata warna.
Ada juga yang saya sebut berwarna biru muda, mirip warna langit di kota Magelang yang terlihat cerah siang itu. Menariknya lagi, warna langit di kota yang kerap saya dengar sebagai “Roma”-nya Jawa Tengah itu, itu bagaikan sedang mengkomunikasikan bahwa warna putih setidaknya tidak membenci warna lain, ketika harus bersebelahan dengan warna putih pada awan pagi itu.
Saya pun bertanya, apakah ini kebetulan berwarna seperti itu? Ataukah ini suatu fenomena yang disebut-sebut pakar komunikasi simbolik dengan semiotik? Bisa saja wajar adanya sebagai sesuatu yang semiotik, karena warna itu mengkomunikasikan pesan teduh. Tidak saling memunggungi walaupun awan itu tidak punya punggung.
Jujur, ini pertanyaan nakal saya dan jawaban yang terlalu dini, karena pertanyaan itu muncul dalam pertanyaan menuju Paroki St Maria dari Lourdes Sumber, Jawa Tengah.
Dan, belum tentu ini pertanyaan nakal anda. Tetapi saya yakin siapapun anak negeri ini sedang berusaha dengan caranya untuk memanggungkan kepekaan pada harmoni sebagai karakter interaksi sosialnya.
Saya yang selama ini berpikir linear dan kurang negosiasikan makna merasa perjalanan dengan bus dari dari alun-alun Gereja Sathora sampai desa dusun Grogol, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tidak selamanya berjalan lurus. Karena jalannya harus dibuat berbelok-belok untuk menghindari sawah, jurang, rumah warga, rumah makan minang, dan lain-lainnya.
Hidup juga begitu, tidak mesti linear. Saya sebagai orang Flores tidak mesti fanatik dengan ke-Flores-an saya. Ketika melihat keelokan budaya dan interaksi simbolik yang terbaca sepanjang perjalanan dari Gereja Sathora Jakarta sampai dusun Grogol saya bahkan bercanda dengan diri saya sendiri. “Rupanya saya ini betul-betul orang Florida,” pikirku.
Kepada teman-teman yang sudah ke Australia, atau pun belum, jangan berpikir Florida itu Negara Bagian di Amerika Serikat. Bukan lho. Florida dalam perspektif saya, maksudnya Flores pedalaman. Ada kekuatan makna dalam candaan akan diri sendiri.
Candaan itu menyadarkan saya bahwa komunikasi linear dalam konteks multikultural tentu tidak menghibur siapapun. Tetapi akan melahirkan isu tentang mereka yang lain, dan oleh kecerdasan kelompok sosial sebagai warga kampung global mulai merancang kebenaran subyektif dan melupakan pluralisme sebagai roh kebersamaan. Yang lebih laku ketika komunikasi linear yang dikembangkan adalah konstruksi groupthink. Saya satu warna dengan dia ataupun mereka tetapi beda warna kepentingan maka mereka bukan saudara.
“Fenomena ini harus diredam,” pikirku. Saat berpikir demikian, sampailah bus kami di Gubug Selo Merapi Lor Senowo. Dusun, ini layaknya menjadi Stasi dari Paroki Maria Lourdes Sumber, Keuskupan Semarang. Hanya saja menurut Romo Abas Pr, yang ditemui Sabtu (08/7/17) di pastoran Sumber, mengatakan bahwa Parokinya menyebut wilayah.
Di dusun inilah, sejak 5-9 Juli saya bersama tujuhpuluhan OMK Sathora Jakarta, mulai belajar peka pada keberagaman dari warga yang belum terkontaminasi dengan kepentingan dalam berbagai dimensi, politik, ekonomi dan agama.
Dari jalan raya, yang tidak rata lagi itu, saya melihat Gubuk itu. Gubuk ini terlihat seperti balai pertemuan dan terbuka, tidak penuh berdinding . Tetapi di dalamnya ada altar dan salib seperti yang terdapat dalam gereja-gereja Katolik pada umumnya.
Terus terang, saya yang pertama kali menginjakan kaki di wilayah ini pun makin terpesona dengan keunikan gubuk itu. Saya melangkah ke depan dan melihat sebuah ruangan bak sakristi. Ternyata di ruangan itu, ditemukan peralatan musik gamelan. Melewati ruagan gamelan itu, di sebelah kanannya di balik panti imam, ada ruang sakristi. Mungkin ruangan sakristi seperti ini akan dikoreksi oleh ahli-ahli liturgy karena posisinya kurang tepat atau ilecit (kurang pantas karena kurang sesuai rubrik).
Pluralisme karena berteduh di gubug, bukan karena negosisasi di pasar
Pengalaman empirik di atas, mengusik keingintahuan saya. Saya pun bertanya kepada warga, bernama Santo. Santo, mengaku sebagai tim edukasi untuk setiap orang dari manapun yang datang ke stasi itu untuk belajar pluralisme rasa Katolik. “Gedung ini disebut gubuk karena tidak hanya untuk umat Katolik. Umat Katolik hanya pakai pada hari minggu. Selebihnya siapapun dari golongan apapun bisa berteduh dan menggunakan gubuk ini,” ungkap Santo.
Saya pun menangkap di Gubuk yang ada altar dan salib itu tidak tidak hanya menjadi ruang komunikasi transendental antar umat dengan Tuhannya, tetapi melakukan komunikasi antar pribadi dalam kelompok-kelompok sosial. Sehingga warnanya adalah harmoni dalam keberagaman.
Lantas, hipotesis sementara saya itu diafirmasi oleh Bu Sisil, pensiunan Bidan. Di rumah ibu ini saya nginap. Ibu Sisil mengaku warga di dusun Grogol tidak hanya Katolik tetapi kebanyakan muslim dan masih banyak juga yang menganut Kepercayaan. Saya pun mencoba membahasakan persepsi Bu Sisil tentang pluralisme sebagai berikut, “agama adalah kategori sosial, sedangkan setiap pribadi yang menganut agama dan kepercayaan yang berbeda, adalah satu karena menjadi citra unik dan kudus dari Tuhan yang satu dan sama.
Menariknya, gedung ibadah Stasi atau Wilayah itu tidak dinamai Kapel atau Gereja. Dinamai Gubug. Ternyata Gubug itu adalah istilah khas untuk pondok-pondok yang berada di tengah-tengah sawah. Di dalam gubuk di tengah sawah, mereka berteduh saat panas dan hujan.
Mereka berteduh bukan karena ada rumusan rubric yang mengatur mereka untuk berkumpul. Juga tidak ada sutradara atau leader opinion yang mempengaruhi mereka untuk harus berteduh. Berteduh di gubuk, saat bekerja di sawah adalah keputusan karena mereka mampu memahami komunikasi semiotic dari alam, melalui penanda panas matahari, dan rintik-rintik hujan, atau awannya yang mulai mendung dan mengeluarkan suara petir dan cahaya kilat.
Romo Kirjito Pr, sangat memahami cara berpikir dalam kultur harmoni tanpa konstruksi seperti ini. Pasalnya, pada zaman ia menjadi Pastor Paroki di Paroki St Maria dari Laurdes Sumber, ia berani out the box. Romo yang dikenal oleh umat di Lereng Merapi sebagai imam yang punya passion dalam hal “budaya dan inkulturatif” ini berani melakukan keputusan berani untuk tidak terlalu jauh keluar dari rubric. Bukan berarti Romo Kirjito tidak memahami lecit (pantas) dan ilecit (tidak pantas) dalam terminology liturgy, tetapi Romo Kirjito mampu membaca tanda-tanda zaman. Bagi saya, Romo Kirjito berani keluar dari zona nyamannya dan mempengaruhi sesuatu yang relevan dengan jamannya.
Ahli komunikasi dari Canada menyebut jaman ini sebagai “Kampung Global,” Romo Diosesan Semarang yang satu ini, justru menjadikan Kapel sebagai “Gubuk Pluralisme.”
Selama di Grogol, saya coba mencitrakan Romo Kirjito sebagai Fransiskus Asisi-nya Keuskupan Agung Semarang. Hanya St Fransiskus Asisi keluar dari zona nyaman ekonomi dan politik, untuk menjamah dan guyup dengan yang beda, yakni kemiskinan dan keterpinggiran. Sedangkan Romo Kirjito, berani keluar dari kemapanan eklesiologi dan liturgy, untuk menghadirkan Gereja sebagai “Gubuk bagi pluralism, tempat singgah bagi kawanan tanpa groupthink.” Pasalnya, di luar Gereja ada keselamatan.
Mengapa saya mengapresiasi apa yang dibuat Romo Kirjito ini? Paus Yohanes Paulus II dalam instruksi Erga Migrantes Caritas Christ” pernah mewanti-wanti agar pluralism kultural harus dimaknai oleh kita sebagai Gereja. Dalam instruksi ini, Paus Yohanes Paulus mengatakan “Migrasi memberikan kepada setiap Gereja local kesempatan untuk membuat verfikasi katolisitasnya, yang tidak hanya menyambut pelbagai kelompok etnis, melainkan terutama mewujudkan persekutuan pelbagai kelompok etnis itu. Pluralisme etnis dan kultural dalam Gereja bukanlah situasi tolerasi untuk sementara, melainkan salah satu dimensi strukturalnya…,” (EMCC, 103).
Paus Yohanes Paulus melalui EMCC itu mengingatkan agar pluralisme isi dan ungkapan kultural menjadi masalah manajemen barang dan pelayanan. Karena bagi Paus Yohanes Paulus II yang kini sudah menjadi Santo itu, pluralisme tidak bisa dipengaruhi oleh maknai dalam konstruksi berpikir manajemen pasar.
Akhirnya saya mengerti apa kaitan antara EMCC dengan ide Gubug Lor Senowo dari Romo Kirjito Pr itu. Dalam gubuk yang dibagi atau yang dikomunikasikan adalah isi dari setiap pribadi, yakni budayanya. Sedangkan di altar sabda, yang dikomunikasikan adalah wejangan theologis-biblis, dan Romo yang berkotbah tidak boleh turun ke panti umat. Juga pada saat liturgy sabda tidak boleh nyeberang ke altar.
Juga, mengapa Romo Kirjito tidak mengelolahnya dengan manajemen pasar, agar memiliki reputasi? Karena di pasar, budaya tidak bisa dijual. Budaya tetap menjadi milik setiap pribadi itu. Budaya hanya bisa dipahami sebagai inspirasi untuk bertumbuh sebagai manusia yang utuh, Imago Dei, yang penuh dengan keunikannya.
Pluralisme tidak bisa terjadi jika harus linear dengan aturan altar dan manajemen pasar. Pluralisme terjadi dalam interaksi simbolik dan komunkasi antar pribadi sebagai warga kampong global versi McLuhan dan warga “gubuk pluralisme budaya” ala Romo Kirjito Pr.
Sehingga OMK St Sathora yang pada umumnya mengerti manajemen pasar, harus belajar dari warga di sekitar Lereng Merapi bagian Selatan untuk bisa hidup sebagai manusia utuh, dengan mengandalkan kekuatan rahmat alam yang memberi sungai untuk mengaliri petak-petak sawahnya. Belajar dari alam, siapapun akan cenderung bekarakter tulus, setia, dan tidak memihak tetapi seimbang. Sedangkan belajar dari pasar, orang akan sering berpihak pada merek dan reputasi, dan membingkai dalam petak-petak dan counter-counter, ataupun etalase groupthink.
Lantas, egoisme menjadi kewajaran. Sektarianis dan ekstremis pun sering dilumpuhkan. Tetapi hokum alam tetap terjadi, ditembak satu, lahir seribu, karena dikonstruksi dengan manajemen pasar.
Komentar