Katoliknews.com – Warga di tiga kampung di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur menyurati Bank Dunia meminta untuk tidak membiayai proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang mereka sebut mengancam kehidupan mereka.
Surat tersebut, yang pengirimannya difasilitasi oleh Komisi JPIC-SVD di Flores, juga dikirimkan kepada New Zealand Aid di Jakarta.
Warga menyatakan dalam surat itu bahwa titik-titik pengeboran untuk proyek itu yang dikerjakan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berada di lokasi perkampungan, perkebunan, mata air dan dekat dengan fasilitas umum seperti gereja dan sekolah.
“Kami memberitahukan kepada Bank Dunia dan New Zealand Aid sebagai pemberi dana untuk proyek ini bahwa kami tidak memberikan persetujuan atas rencana eksploitasi panas bumi tersebut. Kami juga sudah melakukan segala upaya untuk memberitahukan kepada pemerintah pusat, provinsi dan daerah serta pihak perusahaan tentang sikap kami,” kata mereka dalam surat tersebut, yang dikirimkan awal pekan ini.
Mereka juga menyatakan mengetahui bahwa Bank Dunia dan New Zealand Aid sangat menghormati prinsip free, frior and informed consent (persetujuan bebas setelah mendapat informasi yang lengkap sebelumnya).
“Kami berharap bahwa Bank Dunia dan New Zealand Aid juga menghargai prinsip ini di kampung kami,” kata mereka dalam surat yang salinannya diperoleh Katoliknews.com.
Mereka menyebut sudah tiga tahun PT. SMI beroperasi untuk survei dan pengeboran pengambilan sampel tanpa persetujuan mereka dan saat ini hendak melanjutkan kegiatan eksplorasi/eksploitasi, juga tanpa persetujuan mereka.
“Titik yang hendak di eksplorasi itu persis berada di ruang hidup kami. Demi keadilan hak asasi manusia dan atas prinsip free, frior, and informed consent, kami meminta dengan sangat kepada pihak Bank Dunia dan New Zealand Aid untuk mengevaluasi dukungan dana terhadap proyek ini,” jelas mereka.
“Melalui surat ini juga warga Wae Sano mengundang pihak Bank Dunia dan New Zealand Aid datang ke Desa Wae Sano untuk melihat persoalan ini dari dekat,” lanjut mereka.
Direktur JPIC SVD Ruteng, Pastor Simon Suban Tukan SVD mengatakan, mereka akan mendampingi masyarakat Wae Sano dalam polemik ini dan menyebut bahwa mereka telah diperlakukan secara tidak adil.
“Kami di lembaga ini jelas dengan komitmennya yaitu melakukan pendampingan terhadap para korban. Kami harus berdiri bersama mereka. Soal-soal keadilan tidak bisa ditolerir lagi,” katanya.
Sementara itu, Bank Dunia mengaku tengah menerima surat dari warga dan mempelajari situasi proyek itu.
“Saat ini kami sedang mempelajari situasinya dan akan memberikan tanggapan yang lebih detail kepada pengirim surat dalam waktu dekat,” ungkap Lestari Boediono, Senior External Affairs Officer seperti dilansir CNNIndonesia.com, Selasa, 11 Maret.
Ia memastikan Bank Dunia selalu terbuka untuk melakukan komunikasi dengan seluruh pihak.
“Saat melaksanakan kegiatan di lapangan, Bank Dunia terbuka untuk berkomunikasi dengan semua pihak, seperti masyarakat adat, mitra kerja, kelompok agama, generasi muda, dan lain-lain,” jelas Lestari.
Tidak hanya JPIC-SVD lembaga gereja yang membantu mengadvokasi kasus ini.
Lembaga lain, JPIC-OFM sebelumnya melakukan investigasi atas polemik ini dan menerbitkan hasil penelitiannya lewat sebuah kertas posisi.
Kertas posisi tersebut telah didiskusikan dalam salah satu rapat dengar pendapat di DPRD Manggarai Barat.
BACA JUGA: Investigasi JPIC-OFM: Proyek Geothermal di Flores Mengancam Masa Depan Warga Desa
JPIC-OFM dalam laporannya menyatakan, kisah penolakan terhadap geothermal seperti yang dilakukan warga Wae Sano sebetulnya bukan baru pertama kali terjadi di Indonesia.
“Penolakan serupa sudah ada di tempat lain juga seperti di Gunung Talang Sumatera, Gunung Lawu Jawa Tengah, dan juga di Mataloko-Flores, NTT,” kata laporan itu.
JPIC-OFM menyebut kegagalan proyek di Mataloko sebagai rujukan.
“Penelitian JPIC OFM 2017 menunjukkan beberapa fakta penting terkait kegagalan tersebut. Kondisi awal sebelum pemboran tahun 2006 hanya ada satu mata air panas berskala sedang, tempat mandi bagi orang yang menderita penyakit kulit (kudis),” demikian menurut mereka.
“Tetapi setelah pemboran tahun 2006 muncul fenomen baru berupa lubang semburan uap dan lumpur panas baik di kebun/sawah warga maupun dalam rumah warga. Semburan tersebut sampai saat ini tetap ada dan kondisi lingkungan semakin parah,” tambah laporan itu.
Disebutkan juga bahwa warga di Mataloko “dihantui ketakutan dan merasa tidak nyaman karena adanya dentuman dan getaran yang berasal dari wilayah panas bumi.”
“Geothermal Mataloko telah memicu semburan lumpur yang mencuat di ladang-ladang warga. Tempat yang sebelumnya kondusif untuk berladang pelahan-lahan menjadi hamparan lumpur panas yang tidak bisa dijadikan ladang pertanian lagi,” demikian menurut laporan itu.
Laporan itu menyatakan, warga Wae Sano tidak menemukan adanya jaminan bahwa pengeboran di wilayah mereka akan berhasil.
“Bahwa aktivitas eksplorasi bisa berhasil menemukan sumur yang potensial untuk dieksploitasi lebih lanjut menjadi sumber listrik panas bumi bisa menjadi warta gembira bagi investor untuk pengembangan lebih lanjut. Namun sekaligus dikatakan juga bahwa proyek ini tidak saja berbiaya tinggi tetapi terutama beresiko tinggi. Tidak ada jaminan bahwa seratus persen berhasil. Celah inilah yang mengalirkan ketakutan di hati warga,” demikian menurut JPIC-OFM.
Proyek geothermal ini merupakan realisasi kebijakan nasional yang pada 2017 menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi (Flores Geothermal Island). Geothermal dianggap bisa membantu meningkatkan elektrifikasi di NTT yang masih sangat rendah.
Proyek geothermal Wae Sano ditaksi memiliki cadangan tenaga listrik 30 MW – setara dengan penerangan di ±23.000 rumah.
Komentar