Katoliknews.com – Pandemi virus corona (Covid-19) menyebabkan Gereja Katolik memutuskan menggelar Misa secara online atau melaui video siarang langsung di Youtube.
Misa online ini menjadi jalan untuk mendukung upaya pemerintah yang melarang berkumpul dan menjaga jarak dengan orang lain, demi mencegah penyebarluasan Covid-19.
Sejak Sabtu kemarin, hingga hari ini Minggu, 22 Maret 2020, sejumlah Gereja sudah melakukan Misa online ini.
Namun, pertanyaan soal apakah model Misa seperti ini sah masih saja muncul di benak umat, apalagi dalam Misa ini tidak ada penerimaan komuni.
Pastor Andreas Atawolo OFM, dosen teologi dogmatik di STF Driyarkara, Jakarta mengulas hal ini lewat artikel di blognya, andreatawolo.id.
Dalam artikel itu yang berjudul “Misa Online Banyak Maknanya,” ia menjelaskan bahwa dalam Misa online ini, kita pada prinsipnya “berpartisipasi” dan karena itu “bukan sekedar menonton.”
“Partisipasi yang dimaksud ialah adanya Imam Katolik merayakan Ekaristi yang disiarkan secara live, dan di saat yang sama umat berpartisipasi melalui media digital, tentu sejauh dapat dijangkau,” tulisnya.
Frase di saat yang sama, kata dia, menegaskan bahwa orang berpartisipasi ketika perayaan Ekaristi itu berlangsung, bukan menonton sebuah film atau video tentang perayaan Ekaristi.
Hal ini, kata dia, mirip ketika seseorang yang sakit serius atau terhambat oleh alasan lain, tidak mendapat pelayanan Ekaristi Paskah dari Gereja lokalnya, tetapi dapat mengikuti dengan niat hati seluruh siaran langsung perayaan Ekaristi dari Basilika Santo Petrus di Vatikan.
“Orang ini bukan sekedar menonton tetapi berpartisipasi secara spiritual,” tambahnya.
Lantas, apakah Misa itu sah? Pastor Andre menegaskan bahwa itu adalah sah.
“Dalam situasi khusus ini, jelas bahwa hal yang paling kita rindukan, yaitu menerima Tubuh Kristus dalam rupa hosti kudus memang tidak terjadi.”
“Namun kekurangan ini tidak perlu menjadi alasan untuk meremehkan makna Ekaristi live streaming. Kekurangan ini menjadi kesempatan bagi kita untuk berdoa mengundang Tuhan hadir dalam hati kita,” katanya.
Communio (persekutuan) tanpa menerima hosti, kata dia, menjadi saat untuk sadar bahwa makna simbol itu terbatas, namun kasih Tuhan tidak dibatasi oleh simbol; bahwa kita makhluk terbatas, namun dikasihi Tuhan tanpa batas ruang dan waktu.
Ia juga menjelaskan bahwa communio Gereja yang merayakan Ekaristi tidak melulu badani, tetapi juga spiritual.
“Jadi, meskipun tidak ada kontak secara indrawi antarumat maupun antara umat dan Imam selebran, mereka semua tetap bersatu karena satu iman dalam Kristus, dan karena itu bersatu secara batiniah dan spiritual. Pusat Perayaan Ekaristi adalah Yesus Kristus sebagai Penyelamat kita,” katanya.
“Antara Paus Fransiskus yang merayakan Ekaristi di Vatikan sana dan seorang umat di pedalaman Flores sana terdapat sebuah ikatan batin: keduanya bersatu dalam Gereja Katolik, Satu, Kudus dan Apostolik,” tambahnya.
Ia menjelaskan, penting diketahui bahwa ‘communio spiritual’ bukan hal yang tiba-tiba muncul karena situasi khusus seperti sekarang ini.
“Dimensi ini justru melekat pada makna Ekaristi. Sejak Yesus mengatakan ‘Ini Tubuh-Ku, ambillah dan makanlah’, ‘inilah Darah-Ku, ambillah dan minumlah’, lalu berkata: ‘Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku’ (Bdk. 1Kor 11: 23-26, Luk 22: 15-20, Mrk 14: 22-25, Mat 26: 26-29), Ia sendiri telah meletakkan dengan kokoh dasar spiritual bagi persekutuan Gereja dalam Perayaan Ekaristi,” katanya.
Ia menambahkan, “Jadi situasi khusus sekarang ini justru membuka kesadaran kita bahwa communio spiritual itu justru akar dari seluruh hidup Gereja. Ketika jemaat awal mengalami situasi khusus, yaitu dikejar-dikejar, ingatan mereka akan kata-kata dan pesan Yesus pada Perjamuan Akhir itulah yang menjadi dasar ikatan batin mereka. Ekaristi Gereja baru menjadi meriah sering perkembanga Liturgi, tetapi fondasinya ialah Kristus kepala Gereja.”
Communio spiritual, jelasnya, juga terkait dengan ikatan batin dalam keluarga atau komunitas kita.
“Mengikuti perayaan Ekaristi live streaming bersama anggota keluarga atau komunitas kecil menjadi sebuah kesempatan untuk merasakan kedekatan, seperti pengalaman jemaat-jemaat awal,” jelas imam Fransiskan ini.
“Atau sebagai sebuah Paroki, ketika tidak dapat hadir bersama di Gereja, ada sebuah kerinduan untuk berkumpul kembali. Keterpisahan karena ancaman virus justru menumbuhkan harapan akan sebuah persaudaraan,” tegasnya.
Ia menambahkan, “dalam situasi khusus ini kita tentu tidak perlu mengharapkan sebuah perayaan meriah yang melibatkan banyak petugas.”
“Kiranya cukup saja beberapa petugas yang semuanya berada di dekat imam, yang tanpa kesulitan dapat melakukan tugas rangkap juga,” tulisnya.
“Umat lain yang mengikuti dari rumah atau komunitas dapat berpartisipasi dengan hening. Dengan demikian communio spiritual mendapat tempat utama, dan tidak diganggu hasrat ingin berpartisipasi aktif,” tambahnya.
Pastor Andre menutup artikelnya dengan mengatakan bahwa situasi saat ini membuka kesempatan bagi kita untuk memaknai Ekaristi tidak hanya pada ritus-ritus atau simbol-simbol belaka.
“Tindakan dan kata-kata Yesus pada Perjamuan Akhir bukan drama bagi para murid. Di banyak kesempatan Ia telah mewujudkan pelayanan dan pemberian diri. Jadi, Yesus tidak memisahkan ritus yang Ia buat pada Perjamuan Akhir dengan sikap konkret-Nya sehari-hari kepada sesama,” katanya.
Menyebut bahwa Ekaristi tidak selesai sebagai ritual di altar, melainkan mengalir sebagai “Ekaristi dunia” lewat cara hidup, ia mengatakan, “dalam Ekaristi, mari kita memohon perubahan sikap kita kepada ibu semesta.”
“Semesta kita telah terluka oleh sikap eksploitatif kita. Dunia kita adalah dunia berkebutuhan khusus. Epidemi virus dapat diartikan sebagai tanda bahwa bumi sedang berharap agar kita bertobat dari sikap konsumersime ekstrim, dan sebaliknya lebih banyak terlibat memulihkan keseimbangan eksosistem dunia,” tulisnya.
Komentar