Oleh: JOAN DAMAIKO UDU
Apa itu api penyucian dan apa perbedaannya dengan surga dan api neraka? Apa pentingnya api penyucian diimani oleh Gereja Katolik dan apa relevansinya untuk kehidupan umat beriman?
Jika digali dari khazanah alkitabiah, tradisi, dan ajaran resmi Gereja, akan ditemukan bahwa ajaran tentang api penyucian (purgatory) selalu dihubungkan dengan proses pembenaran dan pembersihan jiwa manusia setelah kematian. Inilah tahap terakhir dalam proses pemurnian diri manusia dalam perjalanannya kepada Allah. Proses ini menjadi semacam persiapan jiwa-jiwa sebelum masuk ke dalam Kerajaan Surga, agar layak dan pantas “memandang Allah dengan bahagia” (the beatific vision) (Fenn, 2011: 420).
Dalam proses ini, orang mengalami sakit yang hebat karena ketidaksempurnaannya akibat dosa. Gelimang dosa membuat orang kehilangan kesempatan untuk memandang Allah yang kudus. Maka, supaya layak dan diperkenankan memandang Allah, setiap jiwa yang masih diliputi dosa perlu menempuh proses pengudusan terlebih dahulu. Proses inilah yang terjadi di api penyucian.
Proses itu sangat penting di sini, “sebab tanpa kekudusan tak seorang pun dapat melihat Allah” (Ibr. 12:14). Oleh karena itu, siapa pun yang hendak menghadap wajah-Nya haruslah menguduskan diri sepenuh-penuhnya (bdk. Im. 11:44-45). Melalui pengudusan, kesempatan manusia untuk memandang Allah di surga dipulihkan.
Namun, karena proses ini merupakan tahap yang harus dilewati sebelum masuk surga, maka ia dibedakan dari surga itu sendiri. Lalu, karena proses ini bersifat temporal, maka ia pun dibedakan dari api neraka, yang penderitaannya bersifat kekal. Perbedaan ketiganya dijelaskan dengan sangat baik di dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK).
Dalam pandangan Gereja, mereka yang meninggal dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, dengan jiwa yang suci dan bersih sepenuhnya, akan langsung bergegas menuju surga dan hidup selama-lamanya bersama Allah (KGK, art. 1023); lalu mereka yang meninggal dalam keadaan dosa berat, tanpa pernah menyesalkannya dan tanpa menerima cinta Allah yang berbelaskasihan, akan masuk ke dalam neraka (KGK, art. 1033); sementara mereka yang meninggal dengan jiwa yang belum sepenuhnya suci dan bersih karena masih menanggung dosa, tetapi tetap berada dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, harus menempuh suatu penyucian terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kegembiraan surga (KGK, art. 1030).
Dari uraian ini, jelaslah bahwa proses pemurnian yang dialami manusia dalam api penyucian merupakan sesuatu yang berada di antara surga dan neraka. Di sini, aksentuasi pokok pengajaran Gereja tentang api penyucian bukan pertama-tama pada tempatnya, melainkan pada proses pemurnian (purification) untuk mencapai kesucian.
Proses ini diperuntukkan bagi mereka yang pada dasarnya beriman dan mempunyai rahmat, tetapi dosa-dosanya belum sepenuhnya tertebus. Kondisi inilah yang menuntut pembersihan secara meyeluruh, di mana manusia dihadapkan pada dirinya sendiri dalam kenyataan yang sebenarnya, lalu menerima pengadilan Allah demi penyempurnaannya.
Dalam pengadilan ini, kesadaran manusia akan kedosaannya tidak datang dari dirinya sendiri, tetapi dari Allah yang dipandangnya dengan penuh kesakitan dan penderitaan (Dister, 2004: 601). Maka, penyempurnaan pada tahap ini tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang dilakukan manusia sendiri, atau sebagai bentuk tindakan aktifnya semata, tetapi mesti dilihat sebagai sesuatu yang diderita manusia karena pertemuannya dengan Allah.
Kata ‘api’ di sini bisa dilihat sebagai metafor bagi kemuliaan Allah yang mewahyukan kehinaan manusia, atau juga sebagai simbol bagi berkobar-kobarnya kerinduan manusia akan persekutuan dengan Allah. Kerinduan itu begitu besar, terutama karena manusia merasakan ketidaksempurnaannya, sebagai akibat dari dosa dan kesalahannya sendiri, yang membuat ia harus menanggung hukuman atas semuanya itu.
Namun, penting diingat di sini bahwa pada masa penghukuman ini, tidak hanya penderitaan yang dialami manusia, tetapi juga kegembiraan, sebab ia percaya dan bersyukur bahwa melalui kebaikan dan belas kasihan Tuhan, ia diberi kemungkinan untuk mencapai kesempurnaan setelah menempuh penderitaan di api penyucian.
Oleh karena itu, api penyucian pada akhirnya tidak hanya mengungkapkan harapan manusia akan keselamatan kekal, tetapi juga membahasakan kerahiman Allah yang terus-menerus berkarya untuk keselamatan manusia.
Dalam konteks perjumpaan antara harapan manusia dam kerahiman Allah itulah Gereja, sejak Konsili Firenze (1438-1445) dan Konsili Trente (1545-1563), mengajarkan pentingnya pertolongan bagi jiwa-jiwa di api penyucian melalui doa, kurban Ekaristi, amal, dan tindakan kesalehan lainnya. Inilah wujud ungkapan kasih dan solidaritas kita sebagai suatu persekutuan rohani yang bernama Gereja.
Melalui doa-doa itu, kita menaruh harapan bahwa jiwa-jiwa yang kita doakan dibangkitkan bersama Kristus dan mendapat bagian yang pantas dalam Kerajaan Surga. “Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati” (2 Makabe 12:44). Dari sinilah kebiasaan Gereja untuk mendoakan orang yang sudah meninggal menemukan basisnya.
Maka, melalui ajaran tentang api penyucian, Gereja menunjukkan bahwa kematian bukanlah saat di mana kehidupan dilenyapkan, melainkan saat di mana kehidupan itu justru dikembangkan dan disempurnakan. Untuk itu, jangan pernah berhenti berharap akan kebaikan dan belas kasihan Tuhan kepada kita, sebab Ia sendiri pun tak pernah berhenti membukakan pintu kerahiman-Nya kepada kita, bahkan setelah kehidupan di dunia ini.
Penulis adalah alumnus STF Driyarkara, Jakarta.
Komentar