Katoliknews.com – Berbicara dalam sebuah konferensi pers di Jayapura, Selasa, 21 Juli 2020, Forum Pastor Pribumi Papua menegaskan posisi mereka terhadap perdebatan tentang perpanjangan UU Otonomi Khusus.
Dalam pernyataan tertulis yang disebarluaskan usai konferensi pers itu dan wawancara dengan Katoliknews.com, mereka menyatakan mengikuti perkembangan pembicaraan tentang UU itu yang masa berlakunya akan habis pada tahun depan.
Para imam menilai, de facto, UU itu tidak membawa banyak perubahan bagi Papua. Apa yang tertulis, terutama yang berkaitan dengan isu kemanusiaan, tidak terealiasi.
Karena itulah, menurut Pastor Alberto John Bunay, juru bicara para imam, mereka memilih bersuara, mengingat warga Papua masih terus mengalami penindasan.
Mengutip Gaudium et Spes, 57 imam pribumi dari lima keuskupan di daerah ujung timur itu mengatakan kegembiraan dan harapan, penderitaan dan kecemasan orang Papua adalah kegembiraan dan harapan, kesedihan dan kecemasan mereka.
“Kami pastor pribumi bersuara, bukan untuk kami, tetapi untuk anak-anak dan cucu-cucu Papua, agar jangan sampai manusia hitam kulit dan keriting rambut, citra Allah ini, punah di atas tanah leluhur,” kata mereka.
UU Otonomis Khusus yang berlaku mulai 2001 pada prinsipnya menjamin hak khusus kepada Papua mengelola wilayah secara politik, ekonomi dan budaya. UU itu juga menetapkan alokasi dana khusus, yang hingga kini jumlahnya sudah mencapai Rp 95 triliun.
Presiden Joko Widodo telah meminta untuk memperpanjang status Otsus Papua, demikian juga Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang meminta agar diskusi tentang UU ini bisa selesai sebelum akhir tahun ini.
Namun, para imam dan sejumlah elemen lain di Papua meminta agar pemerintah pusat tidak langsung memperpanjangnya sebelum adanya dialog dan evaluasi menyeluruh atas Otsus yang sudah berjalan.
“Pemerintah pusat memahami dan melihat Otsus hanya diukur dari sisi penyaluran dana. Sebaliknya, bagi masyarakat Papua, soal harga diri sebagai manusia bermartabat dan berhak hidup damai sejahtera di atas tanah leluhur,” kata para imam.
Bahkan, berbagai elemen mengusulkan apa yang mereka sebut sebagai solusi transformatif, yaitu mengadakan referendum.
Mengapa Bersuara?
Pernyataan publik para imam pribumi pada 21 Juli itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya, pada Mei, mereka juga menyampaikan pernyataan publik serupa, di mana mereka mengecam rasisme.
Sikap itu, kata mereka saat itu, merupakan respon atas pernyataan kecaman rasisme oleh Paus Fransiskus, menyusul ramainya pembicaraan soal isu itu setelah kasus kematian warga kulit hitam George Floyd di Amerika Serikat usai disiksa para petugas keamanan berkulit putih.
Para imam pribumi mengatakan, rasisme juga dialami warga Papua dalam berbagai bentuk, termasuk dalam hal penegakan hukum dan isu-isu kemanusiaan.
Menurut Pastor John, pilihan mereka untuk bersuara tegas adalah wujud keterlibatan sosial yang bersumber dari ajaran Yesus sendiri.
Ia menegaskan, Gereja tidak hanya harus hadir, tetapi juga berjalan bersama dan merasakan ketidakdilan dan penindasan yang dirasakan bertahun-tahun oleh umat di Tanah Papua.
Ia mengatakan misi Gereja sejak awal tidak berubah karena bersumber dari Yesus Kristus sendiri.
Perintah untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas (Bdk. Lukas 4:18-19), kata Pastor John, memiliki dimensi moral politik.
“Gereja berkewajiban untuk menilai politik dari dimensi moral yang bersumber dari iman. Kita tahu politik seringkali diwarnai oleh berbagai kepentingan yang mengabaikan harkat dan martabat manusia. Di situlah Gereja harusnya hadir,” katanya kepada Katoliknews.com.
Menurut Koordinator Jaringan Perdamaian Papua ini, situasi manusia dan alam Papua saat ini sangat membutuhkan kehadiran Gereja.
Ketika banyak umat yang tidak bisa bersuara di hadapan ketidakadilan, praktik-praktik diskriminatif, perusakan alam dan budaya, Gereja, katanya, harus berani bersuara, karena untuk itulah ia ada, untuk mereka yang lemah dan tertindas.
“Banyak umat yang menderita karena hak-haknya sebagai manusia dilanggar, tanahnya rusak karena kehadiran perusahaan sawit dan tambang, yang akhirnya menghilangkan budaya asli Papua. Situasi ini sudah sepatutnya memanggil Gereja untuk bergerak dan melawan,” katanya, seraya menambahkan derasnya arus militerisme di Tanah Papua juga semakin memperburuk penegakan hak asasi manusia.
Ia menjelaskan, forum pastor pribumi lahir dari konteks demikian, sambil menegaskan bahwa itu tidak bermaksud menunjukkan eksklusivitas mereka.
Kata dia, mereka tidak sedang membenci siapa pun ketika berjuang bersama umat Papua yang miskin, menderita, dan terabaikan.
“Kami hanya mau menunjukkan bahwa kami adalah orang-orang Papua yang diserahkan oleh keluarga Papua kami untuk menjadi gembala umat. Maka, penderitaan mereka adalah penderitaan kami juga. Kami tidak bisa diam dengan ketidakadilan yang mereka alami, karena kami merasakan ketidakadilan yang sama,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan, istilah pribumi sama sekali tidak bermaksud memisahkan mereka dari imam-imam lain yang non-Papua.
Mengingat persoalan kemanusiaan di Papua adalah masalah universal, maka “kami ingin mengajak keterlibatan Gereja universal untuk juga bersuara dan berjuang bersama-sama dengan kami.”
Meninjau Kembali
Upaya memberi catatan pada UU Otonomo Khusus ini bukan hanya menjadi perhatian para imam, tetapi juga berbagai pihak lain.
Dalam laporan terbaru yang dirilis pada 30 Juli, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mengingatkan adanya ketegangan politik lebih tinggi dari sebelumnya dalam pembahasan perpanjangan UU ini.
Hal ini, menurut laporan berjudul Renewing, Revising or Rejecting Special Autonomy in Papua itu dipicu oleh sejumlah hal, termasuk peningkatan kasus kekerasan dan konflik yang berkelanjutan akibat masalah rasisme.
“Gagasan baru sangat dibutuhkan,” kata Sidney Jones, direktur IPAC, sambil memberi catatan bahwa pembahasan soal UU Otsus ini juga berkaitan dengan sejumlah masalah lain yang penting bagi Papua, termasuk soal migrasi warga dari berbagai daerah ke Papua serta isu keamanan dan keadilan.
Sementara itu, dari kelompok pro-kemerdekaan, alih-alih mendukung perpanjangan UU Otsus, suara-suara untuk mendukung kemerdekaan makin kencang.
Juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo, misalnya menyebut, soal penggelontoran uang ke Papua yang selalu disebut-sebut sebagai buah dari Otsus sejatinya tidaklah sebanding dengan uang yang didapat dari Papua.
“Freeport saja berkontribusi kepada [perekonomian] Rp 200 triliun. [Itu] belum hitung hasil 240 perusahaan tambang, 80 perusahaan pembalakan hutan, dan hasil sumber daya alam lain yang dikuras,” katanya dalam diskusi daring yang digelar Suarapapua.com, Senin, 27 Juli dan dikutip Jubi.co.id.
Dari data statistik, dana yang digelontorkan itu juga tidak membawa perubahan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat bahwa Papua adalah rumah bagi hampir satu juta orang miskin dan lebih dari 6.000 desa tertinggal.
Papua dan Papua Barat juga memiliki indeks pembangunan manusia terendah, menurut Badan Pusat Statistik.
Pada 2019 indeks pembangunan manusia di Papua hanya 60.84 dan Papua Barat di angka 64.70, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 71.92.
Butuh Evaluasi Komprehensif
Untuk mengatasi sengkarut ini, akademisi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth mengatakan, perlu ada evaluasi komprehensif terhadap Otsus.
Hal ini, menurut Ketua Tim Kajian Papua LIPI ini menjadi salah satu pendekatan yang paling mungkin dilakukan.
“Otsus itu tidak diinginkan oleh Papua, sementara Jakarta tidak mengizinkan referendum,” katanya kepada Katoliknews.com.
“Maka, harus ada dialog komprehensif yang melibatkan semua elemen, khususya di tujuh wilayah adat seluruh Papua,” tambahnya.
Menurut Adriana, meskipun ada Otsus dengan dana yang terus meningkat setiap tahun, ketidakpuasan masih melanda sebagian besar warga Papua. Persoalan ketidakadilan sosial-ekonomi, masalah keamanan, dan pelanggaran hak asasi manusia adalah masalah utama yang diminta rakyat Papua untuk diselesaikan.
Akumulasi persoalan itu kemudian mudah meletup menjadi aksi-aksi massa dan sebagian berlangsung anarkis.
Dengan kondisi itu, Otsus Papua pun dinilai tidak terbukti menjadi “jalan tengah”, karena masih ada disharmonisasi relasi dan perbedaan perspektif antara pemerintah dan masyarakat Papua tentang keberhasilan atau kegagalan Otsus, pungkasnya.
Kekerasan Terus Terjadi
Sementara perdebatan soal Otsus ini terus berjalan, dalam beberapa waktu terakhur kasus kekerasan masih saja terjadi di bumi Cenderawasih.
Pada 18 Juli, dua orang warga di Kabupaten Nduga tewas setelah ditembak tentara. Pimpinan militer mengklaim, mereka adalah bagian dari kelompok separatis. Namun, klaim dari warga Papua, dua korban itu adalah bagian dari masyarakat sipil,
Merespon hal ini pada 27 Juli, warga di Nduga bersama pemerintah mereka turun ke jalan. Selain menuntut tindakan tegas bagi pelaku penembakan, mereka juga menyatakan menolak perpanjangan UU Otsus.
Sementara di Merauke, Komisi JPIC Keuskupan Agung Merauke melaporkan kasus kematian seorang pemuda, Oktovianus Betere pada Jumat 24 Juli 2020.
Pastor Anselmus Amo, MSC, Ketua Komisi JPIC Keuskupan Agung itu mengatakan, mereka menduga korban meninggal karena disiksa oleh tentara.
Kasus-kasus itu menambah daftar panjang warga Papua yang meregang nyawa karena konflik.
Menurut Amnesty International, setidaknya 100.000 orang Papua telah terbunuh sejak pengambilalihan Papua oleh Indonesia pada 1960-an.
Sementara kasus pembunuhan memuncak pada 1970-an, jumlahnya meningkat lagi seiring dengan adanya tuntutan kemerdekaan di wilayah itu.
Lembaga itu mencatat lebih dari 69 kasus pembunuhan tanpa proses hukum di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018, di mana aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan, yakni 34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh tentara.
Sementara masalah kehancuran lingkungan juga tidak kalah mencemaskan.
Data Forest Watch Indonesia terbaru melaporkan pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam di Papua banyak merugikan masyarakat adat.
Lembaga itu melaporkan, pada periode 2000-2009, laju deforestasi di bioregion Papua seluas 60.300 hektar per tahun.
Angka itu meningkat tiga kali lipat pada periode 2009-2013 seluas 171.900 hektar per tahun. Periode selanjutnya, 2013- 2017, laju deforestasi makin meningkat jadi 189.300 hektar per tahun.
Rentetan kasus kekerasan dan deforestasi ini, bagi para imam pribumi Papua seperti Pastor John dan rekan-rekannya, menjadi alasan untuk cemas tentang masa depan mereka.
“Jika kami tidak berani bicara, siapa lagi yang bisa berjuang bagi masa depan kami,” katanya.
“Kami bicara pakai rasa. Mungkin yang lain masih pikir-pikir dulu. Tapi kami tidak, kami sampaikan apa yang kami rasakan.”
Aleksander AN
Komentar