Oleh: MARCIANO A. SOARES, OFM
Konsumerisme sedang menjiwai hidup sebagian besar masyarakat pada zaman ini. Orang mau memiliki semua, dan mau belanja semua. Tidak pernah ada rasa puas, selalu merasa tidak cukup atau selalu merasa kekurangan, merasa ketinggalan atau tidak eksis kalau tidak belanja, dan lain-lain.
Orang zaman ini pun semakin individualis, semakin egois, dan merasa bahwa adalah sebaiknya segala sesuatu, bahkan isi alam semeseta ini untuk diriku saja; sementara itu, semangat tenggang rasa, empati, kepeduliaan terhadap sesama dan alam semesta semakin memudar.
Di tengah situasi zaman yang konsumtif ini kita diajak untuk merenungkan secara sungguh-sungguh persitiwa penggandaan Roti oleh Yesus (Lih. Matius 14:13-21). Kata kunci dari cerita mengenai mukjizat penggandaan roti ini adalah kasih dan empati. Dalam Allah ada kasih dan kepeduliaan yang mendalam terhadap manusia.
Yesaya menggambarkan Allah sebagai sumber hidup. Maka, dia mengajak kita untuk datang kepada-Nya menimba kehidupan. Bukan hidup yang fana, melainkan hidup yang baka. Modal untuk memperoleh hidup yang baka itu tidak lain adalah dengan mendengarkan Allah. Dikatakan, “Dengarkanlah Aku maka kamu akan mendapat makanan yang baik dan akan menikmati sajian yang lezat (bdk. Yes. 55:1-3).” Kepada manusia disediakan makanan kehidupan, dan itu semua terpancar dari kasih-Nya yang begitu besar bagi manusia.
Kasih Allah itu abadi dan selalu mengalir kepada segenap ciptaan-Nya. Paulus mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi kasih Allah kepada manusia. Maut, pemerintah, malaikat, dan kuasa mana pun tidak akan memutuskan kasih Allah yang ada dalam Kristus kepada kita. Kasih Allah itu mengambil bentuk yang konkret dalam peristiwa penggandaan roti dan ikan.
Penginjil Matius memberikan gambaran yang jelas bagi kita bahwa Allah yang menjelma dalam Yesus Kristus tidak pernah membiarkan umatnya telantar. Kendatipun Yesus seharusnya menyingkir untuk beristirahat, tetapi Ia tidak memilih untuk beristirahat, karena Ia tahu apa kerinduan mereka semua yang datang kepada-Nya. Itulah sejatinya kasih dan itulah arti sesungguhnya dari empati. Yesus tahu bahwa mereka butuh disembuhkan dan Ia tahu bahwa mereka lapar dan harus mendapatkan makanan.
Dari peristiwa monumental itu kita dapat menarik beberapa makna untuk kita sadari dan hidup di zaman ini. Pertama, mukjizat ini menyadarkan kita bahwa Allah yang adalah kasih selalu berempati kepada orang-orang yang datang kepada-Nya. Kedua, menyadarkan kita akan tanggung jawab dan tenggang rasa terhadap sesama, terutama pada mereka yang miskin dan terpinggirkan. Ketika murid-murid datang kepada Yesus, meminta-Nya untuk menyuruh orang-orang itu pergi; Yesus mengatakan, “Kamu harus memberi mereka makan.”
Sering kali kita merasa bahwa makanan, atau kemampuan yang kita miliki hanya cukup bagi diri kita, tidak cukup jikalau dibagi dengan orang lain. Perasaan seperti itu membuat kita terus tinggal dalam kekurangan. Akan tetapi, ketika orang-orang bergerak, mencoba untuk menyatukan segala yang mereka miliki, lantas menjadi banyak, cukup untuk semua orang, bahkan lebih.
Dalam arti ini, mukjizat penggandaan roti merupakan mukjizat penggerak hati. Artinya, ketika semua orang tergerak hatinya untuk memberi apa yang mereka miliki, kendatipun sedikit akan menjadi banyak dan dapat mencukupi hidup semua orang. Begitu juga harta, kekayaan alam yang kita miliki, ketika kita merasa semuanya hanya untuk diri kita, maka tidak akan pernah cukup bagi orang lain. Mahatma Gandhi pernah mengatakan, “Kekayaan alam semesta ini akan cukup bagi tujuh keturunan, tetapi, tidak akan cukup bagi tujuh orang yang rakus.”
Di tengah pandemi COVID-19 saat ini, kita diajak untuk bertanggung jawab terhadap sesama. Kita diajak untuk bertenggang rasa dan membantu mereka yang miskin dan terpinggirkan. Kita diajak untuk semakin solider, semakin berbela rasa terhadap sesam. Banyak orang yang dalam kekurangan dan keterbatasan mau membantu orang-orang berkekurangan. Kasih dan empatilah menjadi kunci atau spirit bagi kita untuk tergerak hati menolong sesama.
Menutup renungan singkat ini, kami menyajikan sebuah cerita: Suatu ketika, Bunda Teresa dari Kalkuta mendapat kabar bahwa ada seorang janda Hindu dengan 8 anak tidak mendapat makanan. Lalu, ia membawa beberapa liter beras kepada keluarga itu.
Sesampai di rumah itu, ia memberikan beras itu kepada sang janda itu. Ketika ibu itu menerima beras yang dibawanya, ia itu langsung membaginya dalam dua bagian. Kemudian, janda itu pergi dan membawa sebagian yang sudah dibaginya.
Selang beberapa menit ibu itu kembali. Lalu, Bunda Teresa bertanya, “Tadi, Ibu ke mana? Dan buat apa?” Janda itu menjawab, “Saya menghantar sebagian beras yang ibu beri kepada tetangga Muslim yang juga sedang kelaparan.” Pada saat itu, BundaTeresa tidak sanggup berkata-kata. Dalam hatinya, ia mengatakan, “Dalam hati ibu yang miskin ini ada rasa empti yang mendalam terhadap sesamanya. Dalam kekurangannya ia masih memikirkan orang lain dan tergerak hatinya untuk menolong sesamanya yang senasib dengannya.”
Semoga sebagai orang-orang beriman kita senantiasa tergerak untuk menolong sesama terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan!
Penulis adalah seorang Fransiskan. Saat ini sedang menjalani diakonat di Paroki St. Paulus, Depok, Jawa Barat.
Komentar