Oleh: RP DESIDERAMUS ANSBI BAUM, OFM
Ketakutan melewati miliaran tahun sejarah manusia dan telah masuk jauh ke dalam inti psikologis dan biologis kita. Ketakutan itu sama tuanya dengan ancaman dan bahaya. Ia membantu kita bertahan hidup, tetapi juga dapat membuat kita bergerak menuju kematian. Ia memungkinkan kita menghindari maut atau malah dapat menolak kehidupan.
Di suatu malam, pada awal kedatangan saya di Meratus, di tengah jalan, seorang tua dengan taruh (parang) di pinggang dan putang (semacam keranjang) di punggung melangkah mendekat. Dengan sigap dan cepat-cepat, saya melajukan kendaraan sepedar motor dengan kecepatan mungkin di atas seratus kilo meter per jam. Sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.
Setelah jauh, saya melihat perasaan yang halus dan aneh tapi akrab: ketakutan. Saya mencoba melacak sumber ketakutan itu. Rupanya dari kisah bahwa orang Dayak itu bisa makan manusia. Bahwa Orang Dayak memasang tengkorak-tengkorak orang yang sudah dibunuh di rumahnya atau digantung di leher-leher mereka. Mengerikan.
Kemudian saya malu. Sebagai seorang pastor yang seringkali diajak berpikir rasional (-beriman) dan mau menjumpai orang-orang secara nyata, saya malah lebih mempercayai cerita bodoh tersebut dan meyakini pikiran saya sendiri tentang orang Dayak, sebelum saya berjumpa dengan mereka secara langsung.
Seringkali memang dunia pengalaman kita dipengaruhi oleh hal seperti itu. Kita membenci tanpa alasan, menolak tanpa sebab, menghindar tanpa dasar, hanya karena takut pada sesuatu yang bersifat imajiner, takut tanpa berbasis fakta, sehingga orang atau apapun yang kita jumpai lebih hadir sebagai hantu bagi kita dari pada sebagai manusia yang sama seperti kita.
Dimengerti secara simbolis, para murid hari ini bertindak seperti itu juga. Tanpa fakta yang jelas, mereka secara langsung meneriaki Yesus sebagai jejadian: Itu hantu! (Mat 14:26).
Begitulah ketakutan itu dapat saja menghantar orang kepada sesuatu yang buruk, kepada yang jahat, bahkan kepada ‘kematian’. Tetapi, mesti segera sadar bahwa kita semua juga butuh ketakutan untuk bertahan hidup. Belajar dari pengalaman misalnya, kita takut diserang oleh predator. Belajar dari pengamatan, kita takut mengalami bencana alam. Belajar dengan instruksi dari orang yang lebih tahu, kita takut terhadap ancaman tertentu.
Demikianlah dengan macam-macam cara kita mengumpulkan pengetahuan yang berisi ketakutan agar dapat menghindar dari aneka bahaya yang mengancam hidup. Namun dengan sikap yang lebih sering gegabah, ceroboh dan spontan kita malah jatuh lagi pada jenis ketakutan yang berlebihan, tidak logis dan kerap kali bodoh.
Petrus adalah prototipe dari manusia yang demikian itu. Ia bertindak spontan dengan maksud baik belaka melawan ketakutan. Bahkan dengan berlagak membuktikan kebenaran akan adanya Tuhan, ia melawan ketakutannya berjalan di atas air. “Tuhan apabila Engkau itu, suruhlah aku datang berjalan di atas air”, serunya! (Mat 14:27).
Tetapi kita tahu, ketakutan seringkali lebih kuat dari pada keberanian. Maka, Petrus yang bimbang dan kurang percaya mengalami ketakutan lagi dan mulai tenggelam. Ia menjadi risau akan kekuatan-kekuatan yang menakutkan yang sebenarnya semu. Tetapi justru karena begitu risau, ketakutan yang tidak nyata itu menjadi berbahaya karena dianggap sungguh-sungguh ada.
Namun ada hal yang menarik dari Petrus, kemudian. Ketakutan itu di tangannya berubah menjadi sesuatu yang bermakna, menjadi sesuatu yang positif. Di tangan Si Batu Karang itu, ketakutan berubah menjadi seruan kepada Tuhan, berubah menjadi doa, “Tuhan tolonglah aku (Mat 14: 30)”.
Ketakutan itu membantu manusia menjadi lebih baik, memungkinkan manusia bertahan hidup dan karena itu menemukan Allah sendiri.
Bagi kita orang beriman, ini adalah kebijaksanaan yang pantas dihayati. Di tengah aneka tantangan hidup, ancaman bahaya yang seringkali menakutkan, kita diajak untuk berani membangun hubungan dengan Yang Ilahi. Dan tentu saja hubungan itu akhirnya dibangun dalam keheningan – doa. Tuhan sendiri mengajarkannya dengan laku hidup-Nya: sebelum datang kepada para murid dengan berjalan di atas air – Ia pergi menyendiri dan berdoa (Mat 14:23).
Lagi, itulah kebijaksanaan yang pantas diikuti agar kita tidak lagi digerakan oleh ketakutan-ketakutan yang lebay.
Penulis adalah imam Fransiskan, melayani umat di Meratus, Kalimantan Selatan
Komentar