Katoliknews.com – Organisasi kader Katolik Vox Point Indonesia meminta Presiden Joko Widodo melakukan dialog inklusif antara Pemerintah Pusat dan Masyarakat Asli Papua untuk mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) selama ini, sebelum direncanakan akan diperpanjang Otsus “Jilid Dua” di Tanah Papua.
Dalam sebuah surat resmi bernomor 079/Eks/DPN/VIII/2020 yang dikirimkan Kamis 13 Agustus 2020 dan langsung diterima oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, organisasi itu mengatakan memberikan masukan setelah “memperhatikan dinamika dan perkembangan situasi sosial politik di Tanah Air belakangan ini, terutama terkait dengan masalah Papua.”
“Surat sudah kami serahkan ke Kementerian Sekretariat Negara kemarin dan diterima langsung Menteri Pratikno. Kami berharap ini bisa jadi masukan berarti untuk Presiden Jokowi,” kata Sekretaris Jenderal Vox Point Indonesia Ervanus Ridwan Tou kepada Katoliknews.com, Jumat 14 Agustus 2020.
Kepada Presiden Jokowi organisasi yang dipimpin Yohanes Handojo Budhisedjati itu mengatakan “pelaksanaan UU Otsus Papua yang sudah berjalan sejak tahun 2001 sampai saat ini, dinilai oleh banyak kalangan, terutama oleh Masyarakat Asli Papua sendiri sebagai kegiatan yang tidak memberikan banyak manfaat bagi kebaikan dan kesejahteraan Masyarakat Asli Papua pada umumnya, terutama dalam mengelola wilayah Papua secara politik, ekonomi dan budaya.”
Menurut organisasi yang didirikan 2016 itu “diperlukan pemaknaan baru yang lebih komprehensif mengenai Otsus Papua, di mana Otsus tidak hanya diukur dalam batas dan situasi penyaluran dana triliunan rupiah, tetapi lebih kepada sentuhan kemanusiaan yang berkenaan dengan harga diri Masyarakat Asli Papua sebagai manusia yang bermartabat, dan memiliki hak untuk hidup di tanah Papua sebagai tempat warisan para leluhurnya.”
“Diperlukan penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Papua pada masa lalu, dan penyelesaian konflik di masa kini yang dipicu oleh sejumlah hal, termasuk penghentian kekerasan dan penyelesaian masalah diskriminasi rasial,” bunyi surat tertanggal 5 Agustus 2020 itu.
Seruan Vox Point Indonesia sejalan dengan suara Forum Pastor Pribumi Papua pada bulan lalu yang menegaskan posisi mereka terhadap perdebatan tentang perpanjangan UU Otsus.
Berbicara dalam sebuah konferensi pers di Jayapura, Selasa, 21 Juli 2020 dan wawancara dengan Katoliknews.com, para imam menilai, de facto, UU itu tidak membawa banyak perubahan bagi Papua. Apa yang tertulis, terutama yang berkaitan dengan isu kemanusiaan, tidak terealiasi.
Karena itulah, menurut Pastor Alberto John Bunay, juru bicara para imam, mereka memilih bersuara, mengingat warga Papua masih terus mengalami penindasan.
Mengutip Gaudium et Spes, 57 imam pribumi dari lima keuskupan di daerah ujung timur itu mengatakan kegembiraan dan harapan, penderitaan dan kecemasan orang Papua adalah kegembiraan dan harapan, kesedihan dan kecemasan mereka.
“Kami pastor pribumi bersuara, bukan untuk kami, tetapi untuk anak-anak dan cucu-cucu Papua, agar jangan sampai manusia hitam kulit dan keriting rambut, citra Allah ini, punah di atas tanah leluhur,” kata mereka.
UU Otonomis Khusus yang berlaku mulai 2001 pada prinsipnya menjamin hak khusus kepada Papua mengelola wilayah secara politik, ekonomi dan budaya. UU itu juga menetapkan alokasi dana khusus, yang hingga kini jumlahnya sudah mencapai Rp 95 triliun.
Presiden Jokowi telah meminta untuk memperpanjang status Otsus Papua, demikian juga Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang meminta agar diskusi tentang UU ini bisa selesai sebelum akhir tahun ini.
Namun, para imam dan sejumlah elemen lain di Papua meminta agar pemerintah pusat tidak langsung memperpanjangnya sebelum adanya dialog dan evaluasi menyeluruh atas Otsus yang sudah berjalan.
“Pemerintah pusat memahami dan melihat Otsus hanya diukur dari sisi penyaluran dana. Sebaliknya, bagi masyarakat Papua, soal harga diri sebagai manusia bermartabat dan berhak hidup damai sejahtera di atas tanah leluhur,” kata para imam.
Bahkan, berbagai elemen mengusulkan apa yang mereka sebut sebagai solusi transformatif, yaitu mengadakan referendum.
Pernyataan publik para imam pribumi pada 21 Juli itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya, pada Mei, mereka juga menyampaikan pernyataan publik serupa, di mana mereka mengecam rasisme.
Sikap itu, kata mereka saat itu, merupakan respon atas pernyataan kecaman rasisme oleh Paus Fransiskus, menyusul ramainya pembicaraan soal isu itu setelah kasus kematian warga kulit hitam George Floyd di Amerika Serikat usai disiksa para petugas keamanan berkulit putih.
Para imam pribumi mengatakan, rasisme juga dialami warga Papua dalam berbagai bentuk, termasuk dalam hal penegakan hukum dan isu-isu kemanusiaan.
Menurut Pastor John, pilihan mereka untuk bersuara tegas adalah wujud keterlibatan sosial yang bersumber dari ajaran Yesus sendiri.
Ia menegaskan, Gereja tidak hanya harus hadir, tetapi juga berjalan bersama dan merasakan ketidakdilan dan penindasan yang dirasakan bertahun-tahun oleh umat di Tanah Papua.
Alexander AN
Komentar