Katoliknews.com – John NR Gobai, Sekretaris Dewan Adat Papua, menegaskan selama 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) tidak memberi dampak signifikan terhadap kemajuan orang Papua. Dalam berbagai aspek, wilayah paling timur Indonesia itu masih berada di urutan buncit dalam skala nasional.
Hal itu diungkapkan John dalam diskusi daring bertajuk “Membangun Papua dengan Paradigma Baru” yang digelar Vox Point Indonesia di Jakarta pada Jumat 14 Agustus 2020.
Mengutip data statistik, John mencontohkan angka kemiskinan dan indeks pembangunan manusia Papua yang masih di tingkat terendah secara nasional.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat bahwa Papua adalah rumah bagi hampir satu juta orang miskin dan lebih dari 6.000 desa tertinggal.
Papua dan Papua Barat juga memiliki indeks pembangunan manusia terendah, menurut Badan Pusat Statistik.
Pada 2019 indeks pembangunan manusia di Papua hanya 60.84 dan Papua Barat di angka 64.70, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 71.92.
Menurut Jhon ada empat hal penting dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus di Papua yang harus segera dibereskan.
Pertama, meminimalisasi kesenjangan sosial, ekonomi, budaya, antara orang asli Papua dan masyarakat pendatang. Kedua, meminimalisasi kesenjangan pembangunan antara Papua dan wilayah-wilayah lain di tanah air.
Ketiga adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Yang keempat adalah memberi klarifikasi sejarah penyatuan Papua dengan Republik Indonesia untuk memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
“Keempat hal tersebut menjadi akar masalah di Papua sehingga muncul cabang-cabang persoalan seperti rasisme dan diskriminasi,” tutur Jhon.
Narasumber lain diskusi itu Vince Tebay mengatakan untuk menghadirkan kemajuan di Papua harus dimulai dari kualitas pendidikannya. Selama pendidikan berkualitas belum dinikmati orang Papua, selama itu pula mereka hanya akan menjadi penonton di tengah sumber daya alam yang terus digembosi korporasi.
“Itulah sebabnya selama ini mengapa orang Papua merasa terdzalimi. Mereka lahir di atas tanah yang kaya, tetapi hanya mampu gigit jari melihat sumber daya alamnya dilucuti oleh korporasi,” kata Vince.
Akademisi dari Universitas Cenderawasih Papua itu menegaskan membangun pendidikan di Papua juga tidak bisa dipukul rata dengan pulau-pulau lainnya, apalagi Pulau Jawa.
“Butuh treatment khusus, sebab di tingkat sekolah dasar pun masalahnya begitu kompleks. Itulah kenapa membangun pendidikan di Papua harus dimulai dari peguatan kualitas pendidikan di jenjang sekolah dasar,” katanya.
Untuk itulah kontruksi pendidikan di jenjang sekolah dasar wajib diperkuat, kemudian diikuti jenjang-jenjang selanjutnya. Syaratnya, fasilitas sekolah harus memadai dan kualitas para pendidik juga harus mumpuni. Jika salah satu instrumen itu tidak ada, katanya, sulit menghadirkan pendidikan berkualitas di tanah Papua.
“Maka perlu ada grand design pendidikan yang memperhatikan etnografi Papua, tidak bisa template nasional ditaruh sepenuhnya di Papua,” jelasnya.
Berdasarkan pemahaman atas akar masalah pembangunan dan tawaran solusi bagi Papua yang lebih baik di masa depan, Ketua Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengubah pendekatan di Papua.
Menurut Handoyo, pendekatan pembangunan di Papua tidak lagi pada keberhasilan infrastruktur fisik semata, tetapi juga pada pembangunan non-fisik atau infrastruktur sosial.
“Terutama juga dengan merealisasikan dialog damai Papua untuk membangun budaya tanpa kekerasan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat Papua dalam menentukan arah pembangunan sesuai dengan karakeristik Papua,” jelasnya.
Alexander AN
Komentar