Katoliknews.com – Uskup Bogor, Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM meminta dua suster SFS Sukabumi yang mengikrarkan kaul pada Minggu, 16 Agustus 2020 untuk menjadi pribadi yang mengabdi dengan penuh sukacita, salah satu semangat dan teladan yang diwariskan Bunda Maria dalam menanggapi panggilannya sebagai Ibu Tuhan kita Yesus Kristus.
Misa kaul kekal Sr. M. Theovilla, SFS dan kaul sementara Sr. M. Gabriela, SFS itu digelar di Kapel St. Fransiskus Assisi Biara SFS Sukabumi, dipimpin Uskup Paskalis, didampingi RP. Martin Harun, OFM dan Pastor Rekan Paroki St. Yoseph Sukabumi, RD. Heribertus Susanto Wibowo, Pr.
Mengawali khotbahnya, Uskup Paskalis mengutip pesan Paus Fransiskus yang disampaikan kepada semua kaum religius saat merayakan Tahun Hidup Bhakti: “Dalam memanggil Anda, Tuhan berkata kepada Anda, ‘Engkau penting bagiKu, Aku memperhitungkanmu.’ Yesus mengatakan ini kepada setiap orang dari kita. Sabda Yesus itu menciptakan sukacita bagi kita, sukacita saat Yesus memandang kita sebagai yang berharga di mata-Nya.”
Ia selanjutnya menggarisbawahi poin penting dari kutipan ini serta mengaitkannya dengan sosok Bunda Maria, yakni pengalaman dipanggil atau dipilih terjadi karena adanya perjumpaan personal dengan Tuhan sendiri.
Dan perjumpaan personal itu, menurutnya, mendatangkan sukacita lantaran Yesus memandang setiap pribadi sebagai yang berharga, penting dan diperhitungkan.
“Bunda Maria yang kita rayakan kenaikannya ke surga hari ini merasakan sukacita mendalam dalam Roh penuh kerendahan hati, karena Allah memandangnya penting dan karena Allah memintanya menjadi Bunda Tuhan,” katanya dalam Misa itu.
Ia melanjutkan bahwa “Bunda Maria semula terkejut dan tidak percaya saat diberi kabar oleh Malaikat Gabriel, tetapi Malaikat Tuhan meneguhkan dia, Roh Kudus akan menaungi”.
Karena itu, lanjut mantan Provinsial OFM Indonesia ini, “dalam kepasrahan penuh penyerahan diri, Bunda Maria berkata: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”.
“Bunda Maria merasakan sukacita karena dilibatkan Allah dalam karya keselamatan,” katanya.
Menurutnya, Sukacita Bunda Maria, pertama-tama tampak dalam pengalaman dan sikapnya yang mau bergegas menyebarkan sukacita dan kabar gembira kepada semua orang dan khususnya ketika ia bergegas turun dari Nazaret ke suatu kota di daerah Yehuda di mana Elisabeth tinggal, untuk menyampaikan kabar sukacita itu kepada saudaranya.
Dengan bergegas, kata dia, “seturut lukisan penginjil Lukas, sebetulnya di sana diperlihatkan antusiasme Bunda Maria.”
Dan memang, lanjutnya, “sukacita itu tertular. Anak dalam kandungan Elisabeth pun, dikisahkan melonjak kegirangan. Lalu Elisabeth sendiri pun bergembira, siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku”.
Dan kedua, katanya, “sukacita Maria juga terekam dalam Kidung Pujian atau Magnifikat Maria”.
“Tampak jelas dalam Magnifikatnya, dia bersukacita karena Allah berkarya dalam dirinya, karena itu ia memuji,” terang uskup yang juga Wakil Ketua II Konferensi Waligereja Indonesia ini.
Hidup Bunda Maria, kata dia, “adalah suatu pembaktian diri penuh sukacita kepada Allah.”
Mengacu kepada pengalaman sukacita Bunda Maria, khususnya kisah perjumpaan Maria dan Elisabeth, Uskup Paskalis pun mengajak para suster SFS, terutama dua yubilaris untuk meneladani sosok Maria sebagai pribadi yang mengabdikan diri kepada Tuhan dengan penuh sukacita.
Bukan saja mengalami sukacita untuk dirinya tetapi, kata dia, juga bergegas menyebarkan sukacita yang sama dalam perjumpaan-perjumpaan dengan siapa pun.
“Sukacita hidup semakin lengkap tatkala setiap perjumpaan kita menjadi kesempatan berahmat, dan di sana terjadilah saling berbagi energi positif. Dan itulah yang mendatangkan sukacita,” jelasnya.
Karena itu, kata Uskup Paskalis, “seorang yang membaktikan hidupnya melalui jalur cara hidup bhakti ini lahir dari perjumpaan pribadi dengan Allah melalui Yesus Kristus dan serentak pula didorong untuk melakukan misi perutusan menciptakan perjumpaan-perjumpaan baru.”
“Dan perjumpaan itu, antara Allah dan kita manusia sesungguhnya adalah perjumpaan yang kemudian melahirkan sukacita dan kegembiraan,” tegasnya.
Pada akhir homilinya, ia menekankan tiga hal penting dalam kata-kata dialog saat profesi sementara dan profesi kekal.
Pertama, menjalani hidup bhakti dengan mengikrarkan kaul-kaul itu terkait dengan makna hidup.
Dalam konteks hidup bhakti, kata dia, makna hidup kita adalah untuk membaktikan diri kepada Tuhan.
“Hidup kita menjadi bermakna tatkala saya bhaktikan untuk Allah yang kemudian diwujudkan dalam pembaktian dan pelayanan kepada sesama manusia dan alam semesta,” katanya.
Kedua, kata dia, “dalam profesi ini, dijelaskan juga bahwa kita adalah manusia perjanjian.”
Kita, lanjut Paskalis, “adalah manusia berjanji, sejak dibaptis kita berulang kali berjanji, hingga saat profesi sementara maupun profesi kekal, bukan hanya satu kali tetapi beberapa kali.”
“Karena itu, dalam konteks hidup religius, kita berjanji untuk hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan keperawanan sebagai pembaktian yang mendalam kepada Tuhan.”
Dan ketiga, lanjutnya, dalam profesi ini dikatakan juga tentang identitas sebagai anggota tarekat SFS, yang adalah titik pijak untuk membaktikan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
“Karena itu, sebagai orang yang berikrar setia ke dalam Tarekat SFS, maka berusahalah untuk mencintai dan mengembangkan tarekat ini, agar tarekat ini sungguh menjadi tempat pembaktian dan mewujudkan janji-janjinya, baik secara pribadi maupun secara bersama,” tegasnya.
Sementara itu, Sr. M. Theovilla, SFS, saat memberikan sambutan, menyampaikan rasa sukacita dan rasa syukur serta terima kasih atas peristiwa berahmat yang dialami dalam janji setia sementara dan kekal dan terhadap segala dukungan dan doa dari banyak pihak.
Ia juga tetap mengharapkan dukungan dan doa dari semua pihak untuk kesetiaan dan semangat menjalani panggilan selanjutnya.
Rasa sukacita juga diungkapkan oleh pelayan umum Tarekat SFS, Sr. M. Zita, SFS.
Selain rasa sukacita, Sr. Zita juga mengajak semua suster SFS agar dalam setiap pristiwa profesi, mereka juga membarui diri dalam janji-janji hidup religius.
“Saya mengajak para suster juga, setiap kali kita merayakan profesi, bukan hanya yang sedang profesi tetapi di dalam hati kita, juga memperbaharui diri. Kita berjanji kepada Allah untuk setia,” katanya.
Hal itu, menurut dia,“selaras dengan cita-cita pendiri SFS, yakni supaya anggota SFS menjadi kudus.”
Dan untuk menjadi kudus, lanjut dia, “kita harus berani menghadapi tantangan-tantangan hidup”.
“Tetapi sejauh mana kita menjadi kudus?”, tanyanya. Menjawab pertanyaan itu, Sr. Zita menegaskan bahwa kita menjadi kudus sejauh Yesus Kristus itu hidup di dalam diri kita.
“Sejauh Yesus Kristus hidup di dalam diri kita, sejauh itulah kita menjadi kudus, bukan sejauh kalau kita sudah punya mahkota”, jelas suster yang sudah terpilih untuk ketiga kalinya sebagai pelayan umum ini.
Dan tanda kita menjadi kudus, lanjut Sr. Zita, “adalah ketika kita sudah menghasilkan buah. Dan buah-buah itulah yang akan kita persembahkan kepada Allah melalui pelayanan kita.”
Mengikuti protokol COVID-19, perayaan Ekaristi profesi ini dihadiri umat dengan jumlah terbatas, yakni hanya para suster anggota terekat dan tidak dihadiri orangtua para yubilaris seperti biasanya.
Perayaan profesi ini disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Sr. Emilia SFS.
Pasca kaul ini, Suster Gabriela, yang sebelumnya menjalani masa Novisiat di Biara Santo Bonaventura Sukabumi akan bertugas di Rumah Pusat SFS Sukabumi selama 6 bulan.
Sementara itu, Sr. Theovilla akan tetap bertugas di tempat perutusan sebelumnnya, yakni karya pelayanan Pendidikan di Gubug, Jawa Tengah, yang berada di bawah naungan Yayasan Mardi Lestari Sragen.
Fidel Punter
Komentar