Katoliknews.com – Ahmad Jabur (50), awalnya ragu untuk mencalonkan diri jadi Kepala Desa Compang Ndejing, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, pada 2017 lalu.
Ia yang adalah seorang Muslim, takut tidak terpilih, karena mayoritas warga desa itu menganut Katolik.
“Saya berpikir bahwa saya tidak mungkin terpilih. Alasan saya, karena saya dari pihak minoritas,” tutur Ahmad kepada Katoliknews.com pada Jumat, 14 Agustus 2020.
Data per Juli 2020, warga penganut Katolik di Desa Compang Ndejing berjumlah 2.227 orang, Islam 108 orang, dan Kristen Protestan 2 orang.
Pada Pilkades 2017, kata Ahmad, hanya ada 52 orang atau lima persen wajib pilih di desa itu yang beragama Islam. Sisanya, Katolik.
“Jika dilihat dari jumlah penduduk, secara logika, saya kalah,” ujarnya.
Ahmad mengisahkan, di tengah keraguannya itu-menjelang pendaftaran calon Kepala Desa Compang Ndejing-, ia didatangi oleh beberapa utusan dari tujuh Komunitas Basis Gerejawi (KBG) yang ada di Purang Mese, kampungnya.
“Saya kaget. Ternyata, dalam kelompok doa mereka, setelah berdoa, mereka adakan pertemuan dan sepakat mengusung saya untuk jadi calon kepala desa,” ceritanya.
“Karena komitmen mereka, akhirnya saya berani mendaftarkan diri,” lanjutnya.
Namun, kata Ahmad, setelah ia dinyatakan jadi calon, isu “mayoritas-minoritas” santer dibicarakan di desanya. Dalam situasi yang demikian, Ahmad mengaku ikhlas, jika kemudian ia kalah.
Ahmad mengatakan, isu tersebut kemudian berhasil dipatahkan berkat komunitas doa (KBG) di kampungnya, dan pastor paroki yang selalu bicara di gereja bahwa “agama bukan menjadi sebuah hambatan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin.”
“Itu semua yang membakar semangat saya untuk terus maju. Saya jadi optimis menang,” katanya.
Dalam pemilihan kepala desa itu, Ahmad pun berhasil merengkuh kemenangan. Ia mengalahkan tiga kandidat lain dari kalangan mayoritas Katolik.
Menurut Ahmad, kemenangannya dalam Pemilihan Kepala Desa pada tiga tahun lalu itu, merupakan salah satu wujud toleransi di kampungnya yang dipelihara sejak dulu, di mana kehidupan umat Islam dan Katolik, selalu rukun.
“Kami di sini, tidak pernah omong agama, suku atau ras. Di kampung ini, kami hidup sebagai sesama saudara yang selalu bersama dalam suka dan duka,” katanya.
Kerukunan antarumat beragama di kampung Ahmad juga diakui oleh Florianus Sujanjono, salah satu tokoh masyarakat Compang Ndejing.
Menurutnya, sejak dulu, belum pernah terjadi gesekan antara umat Islam dan Katolik di Purang Mese, meskipun mereka hidup berdampingan.
“Kami di sini, selalu di kenal dengan toleransinya yang kuat. Belum pernah ada konflik antara umat Islam dan Katolik di kampung kami,” ceritanya.
Menurut Florianus, cerita tentang kekompakan umat Katolik di Purang Mese memilih Ahmad- dari kalangan Muslim – untuk jadi kepala desa adalah wujud terkecil dari toleransi beragama di desanya.
“Jujur, kami (umat Katolik) memilih Pak Ahmad jadi kepala desa itu, bukan lihat agamanya. Kami lihat dia punya kemampuan dan pergaulannya di masyarakat,” katanya.
Agama, kata Florianus, “urusan privat”, yang “tidak boleh dibawa dalam hubungan atau pergaulan di masyarakat.”
“Itu kunci kerukunan kami di Purang Mese ini. Walaupun kami beda agama, tapi kami tidak pernah omong agama saat duduk atau obrol bersama,” pungkasnya.
Anand Putra
Komentar