Oleh: MAXI ALI PERAJAKA
Istilah ‘Sekolah Dosa’ muncul dalam kotbah Pastor Gabriel Possenti Sindhunata SJ pada misa pelepasan jenazah, Jakob Oetama yang berlangsung di Gedung Kompas Gramedia, Kamis, 10 September.
Pastor yang pernah bekerja di Harian Kompas pada kurun 1977-2012 itu mengatakan, setelah setahun menjadi imam dan bekerja sebagai wartawan, terbersit di benaknya bahwa Harian Kompas itu ibarat sebuah ‘sekolah dosa’.
‘Sekolah dosa’, bukan dalam arti tempat belajar untuk berbuat dosa, melainkan tempat dimana seorang wartawan menyadari dirinya bahwa ia adalah manusia rapuh, yang bisa melakukan kesalahan dan dosa.
Di ‘sekolah’ itu, jelas Sidhunata, karena kerapuhannya sebagai manusia, seorang wartawan bisa saja melakukan banyak kesalahan dan dosa. Namun, di sekolah tersebut sang wartawan memperoleh kesempatan untuk belajar mengolah diri dan memperbaiki kesalahan atau bertobat dosa-sosanya. Walau hal itu tidak berarti bahwa ia tak akan pernah melakukan kesalahan atau jatuh lagi ke dalam dosa.
Sidhunata menyatakan, Pak Jakob, sangat senang ketika mendengar istilah ‘sekolah dosa’ itu. Mungkin, karena Pa Jakob menyadari bahwa sebagai manusia, ia pun sangat rapuh dan sering jatuh ke dalam dosa.
Lebih dari itu, rupanya Pa Jakob berpikir bahwa istilah ‘sekolah dosa’ selaras dengan pemahaman dan visinya, bahwa Harian Kompas adalah pers yang dikelola oleh sekelompok orang yang dengan kerapuhan insaninya berupaya menjawab panggilan Yang Ilahi untuk membangun kemanusiaan dan keindonesiaan.
Terarah Ke Kemanusiaan dan Ketuhanan
Sebagaimana diketahui, riwayat hidup Jakob Oetama tak pernah ‘jauh’ dari nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Semenjak masa kanak-kanak, belajar di Seminari Mertoyudan di Magelang, hingga kuliah, Jakob selalu ‘dibekali’ oleh orangtuanya yang penganut Katolik taat, para pastor di seminari, dan para dosen di kampusnya, dengan nilai-nilai dan praktik hidup yang terarah kepada kemanusiaan dan keimanan kepada Tuhan.
Ketika menjadi guru SMP di Mardiyuwana Cipanas dan SMP Van Lith Jakarta, Jakob selalu mengajar dan meneladani cara hidup yang menghargai kemanusiaan. Kemudian, kala beralih profesi menjadi wartawan hingga mendirikan dan membesarkan Grup Kompas Gramedia, ia selalu menulis tentang kemanusiaan dan kebhinekaan Indonesia.
Sebab, menurut Jakob Oetama, pers/jurnalisme makna (value journalism) adalah pers yang berjuang memajukan kemanusiaan dan memperkokoh keindonesiaan.
Secara historis, humanisme muncul pada abad ke-13 di Italia Utara. Kemudian, aliran pemikiran itu menyebar ke benua Eropa dan Inggris. Sejatinya, arus berpikir ini adalah buah dari gerakan Renaisans yang terpesona pada skolastisisme abad pertengahan dan ingin membangkitkan kembali minat akan kesusatraan Yunani kuno dan pemikiran Romawi. Itulah sebabnya, humanisme disebut juga sebagai ‘humanisme renaisans’.
Pada awalnya, humanisme renaisans dimengerti sebagai pendekatan dalam studi filsafat, atau praktik yang didasarkan pada penghargaan akan martabat manusia; berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan; dan bertujuan untuk kebaikan umat manusia.
Pendekatan itu dikembangkan di luar otoritas gerejani, makanya dikenal juga sebagai ‘humanism sekular’. Pada mulanya ‘sekular’ diartikan sebagai sesuatu yang di luar otoritas gerejani. Baru pada abad 19, ‘sekular’ dimaknai sebagai segala sesuatu yang bertentangan dengan hierarki dan urusan gerejani.
Dalam perkembangannya, konsep dan praktik humanisme ‘sekular’ bergerak liar. Mereka merangkul akal budi sembari menolak dogma agama dan supernaturalisme yang menjadi dasar moralitas dan pengambilan keputusan.
Bahkan, aliran pemikiran ini lebih sering menyimpang dari nilai-nilai etika universal dan cenderung atheis. Oleh karena itu muncul arus balik untuk menghidupi humanisme yang asli. Untuk membedakan diri dari humanisme sekular, arus balik ini menyebut diri ‘humanisme transendental’.
Humanisme transendental adalah aliran filsafat yang mempertimbangkan perlakuan tepat terhadap manusia, bertolak dari kemampuan berpikir yang melampui dirinya sendiri. Contoh, ketika berpikir tentang diri dan karakternya sendiri, manusia merasa seperti dua orang yang berbeda. Dengan istilah ‘humanisme transendental’ Immanuel Kant (1724-1804) misalnya memahami manusia sebagai bagian dari ‘ciptaan’ Tuhan dan mampu melampaui kepatuhan refleksif terhadap hukum alam.
Baru pada 1915, muncul istilah ‘humanisme religius’. Lawan katanya adalah ‘humanisme non-religius’ atau ‘humanisme’ saja. Dalam perkembanganya, humanisme religius dimaknai secara beragam, salah satu di antaranya sebagai “gerakan Amerika modern’ yang humanis dan non-teistik yang didedikasikan untuk mencapai tujuan etis, bebas dari pengaruh kepercayaan dan ritus tertentu.
Istilah ‘humanisme religius’ memang perlu dipakai secara berhati-hati. Siapa pun yang ingin menggunakannya perlu membedakan ‘humanisme religius’ dengan istilah turunannya seperti ‘humanisme Yahudi’ (Yahudi sekuler yang humanis), humanisme Kristen (penganut Kristen yang ingin menonjolkan dimensi kemanusiaan dari ajaran agama mereka).
Beberapa ahli humanisme, termasuk Andrew Copson (Kepala Eksekutif Humanis Inggris dan Presiden Humanis Internasional), berpendapat bahwa tampaknya ada upaya yang disengaja untuk “mengaburkan air konseptual dari istilah filosofis ‘humanisme’, dengan menambahkan kata sifat pada istilah humanisme. Copson menontohkan istilah “humanisme Kristen” yang pertama kali digunakan pada 1944. Menurut dia istilah itu sebagian besar telah digunakan oleh orang-orang Kristen “sebagai cara untuk mengkooptasi (bagi kelompoknya sendiri) aspek-aspek humanisme yang dapat diterima untuk agama mereka sendiri.
Tetapi, sejak 1960-an sebagian besar orang di dunia telah meninggalkan jebakan “religius” seperti itu. Mereka menegaskan bahwa humanisme bukanlah sebuah identitas religius, apalagi sebagai label untuk membedakan diri dari kaum rasional dan tak beragama.
Dengan begitu, istilah ‘humanisme religius’ lebih dekat dengan istilah ‘humanisme transendental’. Humanisme ini tidak hanya berarti keterarahan manusia kepada Yang Transenden (Tuhan), melainkan juga keterbukaan akan Tuhan dan dunia. Bahkan, dalam memahami Tuhan, manusia ditentukan oleh keterkaitannya pada dunia, yang dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu.
Humanisme Keimanan
Nah, kita memang diberitahu bahwa semenjak merintis ‘Sekolah Dosa’ (baca:Harian Kompas), bersama P.K Ojong, Jakob Oetama tanpa henti menebarkan visi dan nilai humanisme transendental kepada seluruh wartawan dan staf lainnya. Namun, semenjak tahun 2000-an, Jakob Oetama lebih sering menggunakan istilah ‘kemanusiaan yang beriman’.
Sejauh ini tak ada yang dapat menjelaskan mengapa ia beralih dari istilah ‘humanisme transendetal’ ke ‘humanisme keimanan’. Oleh karena itu, penulis menduga, Jakob Oetam a melakukan alih istilah karena kedua istilah tersebut memang mengandung makna yang sama, yakni ‘manusia berpusat/terarah pada Yang Ilahi’.
Alasan lainnya, barangkali karena Jakob Oetama punya kegelisahan – menurut Pastor Sinduhanata, Pak Jakob punya banyak kegelisahaan -: tak ingin menonjolkan identitas Katoliknya.
Boleh jadi pula, karena Jakob Oetama memang memahami betul sejarah pengaburan konsep ‘humanisme religius’ berikut derivasinya. Oleh karena itu, walau sebagai orang Katolik, ia menghindar untuk menggunakan istilah ‘humanisme Katolik’, tetapi lebih memilih untuk menggunakan istilah ‘humanisme keimanan’.
Jika dua dugaan terakhir itu benar, maka sesungguhnya kita belajar hal baru lagi dari pendiri dan pemimpin umum ‘Sekolah Dosa’ itu. Terima kasih Pak Jakob!
Maxi Ali Perajaka adalah dosen dan peneliti pada Cornelisen Research Institute, Depok.
Komentar