Katoliknews.com – Peter. Begitu biasa saya memanggil dia, Peter. Tapi panggilan nama itu menjadi catatan tersendiri dengan berpulangnya pemilik nama Petrus Kanisius Aman OFM (15 Desember 2020) ke haribaan Hyang Ilahi.
Sejak 29 Januari 2020, Peter tidak masuk kampus STF Driyarkara (Jakarta) lagi sampai ia menyambut undangan Saudari Maut. Kamar kerja Peter yang bersebelahan dengan kamar kerja Ketua Prodi Filsafat Keilahian, Eddy Kristiyanto OFM, sejak tanggal itu tidak dikunjunginya.
Carolus
Senja sebelum tanggal 29 Januari tersebut Peter dirawat di RS Carolus karena stroke. Berkali-kali saya bezoek dan menjumpainya, meski terkadang tak banyak kata terucap dari mulut saya. Sekali-sekali, saya meneguhkan tekat dan semangatnya hanya karena saya pernah mengalami hal yang Peter rasakan saat itu.
Dari penglihatan orang yang awam di dunia medis, kayaknya kondisi Peter tidak semakin membaik dari hari ke hari. Dari berbicara dengan jelas kemudian menjadi kurang jelas karena pelo; kaki kanan juga tangan kanan kian susah digerakkan.
Mungkin pasalnya, diabetes yang dia idap semakin memperlambat proses penyembuhannya secara menyeluruh. RS Carolus telah berhasil melakukan pertolongan pertama pasca serangan stroke. Harapan akan kesembuhan semakin besar, apalagi dengan adanya bantuan yang memang perlu untuk itu.
Berdasarkan pengalaman yang terbatas, saya berharap dalam hati agar Peter ditangani secara intensif di Semarang. Dua tahun lalu saya pun demikian. Setelah serangan stroke saya ditangani di Carolus, dan dua minggu kemudian dipindahkan ke Elisabeth.
Sangatlah beruntung, bahwa kondisi fisik saya waktu itu OK. Artinya, tak ada komplikasi, misalnya diabetes. Saya bisa berjalan sendiri (tanpa alat bantu) setelah dirawat di Carolus dengan bantuan intervensi medis di Royal Taruma Hospital. Inilah yang menyebabkan, mengapa saya tidak perlu dirawat di rumah sakit, tetapi tinggal di rumah keluarga yang berjarak 10-15 menit berkendaraan untuk sampai Elisabeth, Semarang.
Elisabeth
Barangkali demi melihat hasil yang sangat positif dan meyakinkan tentang “kesembuhan” saya, maka Peter sendiri dan pimpinan Persaudaraan Fransiskan cenderung melanjutkan proses perawatan ke Elisabeth, Semarang. Lalu pilihan ditentukan, yakni memindahkan Peter ke Ibukota Provinsi Jawa Tengah.
Sejak 2 Maret, Peter menjadi penghuni Elisabeth. Masih segar dalam ingatan kita, pada 18 Maret pemerintah mengumumkan PSBB berskala besar lantaran pandemi Covid-19. Hal ini pasti menimbulkan masalah tersendiri, khususnya dengan orang-orang yang ada di sekitar Peter, misalnya para Saudara Muda (OFM) dari Yogjakarta yang bergilir secara periodik menjaga Peter.
Laporan dari Elisabeth baik dari paramedis maupun dari Peter sendiri menyatakan ada perkembangan signifikan. (Pesan) WA yang saya kirimkan pada Peter (20 Maret) melaporkan kondisi di Kampus STF, agar Peter tetap memelihara harapan yang besar. Tulis saya:
“Semoga Peter belum tidur (padahal sudah pukul 20:32), dan masih sempat membaca WA saya ini. Bagaimana perkembangan positif yang boleh saya dengar?”
“Sdh seminggu di STF tidak ada tatap muka di kelas. Semua diarahkan ke rumah masing-masing. Mulai besok sd 29 Maret dosen dan tenaga kependidikan tinggal di rumah. Kerja online.”
“Hari ini hari terakhir pengumpulan skripsi. Di Prodi Ilmu Teologi ada 3 OFM yang tidak memenuhi janjinya: tidak bisa mengumpulkan skripsi sd pk 15.00 hari ini, meski sudah diperpanjang 2 minggu.”
“Dengan banyak di rumah saya semakin fokus pada penulisan 50 th. STF yang sudah ditagih oleh Pak Kardinal. Pekerjaan saya mengalami banyak kemajuan. Dalam salah satu file saya, saya menemukan wajah dosen STF yang enerjik dan inspiratif. Ini dia: …… (saya kirimkan foto Peter dengan tambahan kalimat di bawah foto itu: “Semoga Peter semakin kuat dan sembuh. Doa kami untuk intensi Peter.” (pk. 20.42).
Dan Peter menanggapi: “Trims atas berita.” (pk. 20.45).
(Peter): “Keadaan membaik. Urusan ke toilet (dikerjakan) sendiri, begitu juga ke ruang terapis. Kaki tangan mulai begerak walau belum optimal. Butuh kesabaran dan ketekunan.”
(Eddy Kris): “Terima kasih. Selamat Istirahat. Selamat bahagia, sehat, tekun, dan sabar. Salam hangat dari semua Saudara di Duns Scotus: Andre, Tri, Andry, Edo dan para Saudara Muda.”
(Peter): “Salam balik. Trims atas doa dan dukungan.” (pk. 20.57).
(Berapa bulan kemudian), menjelang Pesta St. Antonius Padua, 13 Juni, saya (kembali) bertegur-sapa dengan Peter, yang menulis di WA begini, “Minggu ke-15 (di rumah sakit): Berawal dari rasa pusing kemarin siang usai makan (saya) muntah-muntah. Terapi yang ringan saja. Yang lain adalah minggu ini tensi tidak stabil. Hal mana agak mempengaruhi intensitas terapi. Perubahan tetap ada, memang pelan. Terima kasih untuk doa dan dukungan.” Inilah ciri Peter, senantiasa menjawab terus terang jika ditanya tentang kondisinya.
Bonaventura
Menghuni rumah sakit di Semarang hampir empat bulan. Minggu terakhir Juni, Peter sudah menetap di Biara St. Bonaventura (Bitora), Jogjakarta. Menjalani fisioterapi dan kemudian juga akupuntur. Katanya: “Mereka yg menangani mengatakan, saya butuh 3-4 bulan lagi. Nampaknya belum bisa. Padahal sudah 4 bulan terlewati.” Tidak ada ungkapan negatif yang terungkap, meski secara kasat mata mungkin berbeda dalam tatapan orang lain.
Satu kali, Peter menginap di Panti Rapih lantaran tensi naik mulai sore sampai pagi. Bahkan, pada awal Agustus ia masuk ruang isolasi karena sesak napas. “Setelah isolasi, badan sakit semua. Kaki yang stroke sulit digerakkan. Hampir dua minggu pemulihan di Panti Rapih (PR). Sekarang sudah bisa pakai tongkat lagi. Tensi cenderung tinggi begitu juga gula. Tadi checkup dan diganti beberapa obat. Semoga lebih mujarab. ….. Terapist datang (ke Bitora) dari PR.”
Sewaktu saya kontrol kesehatan ke Elisabeth Semarang dengan diantar mobil oleh Bruder Rachmat Simamora OFM pada Oktober lalu, saya menyempatkan diri menjenguk Peter di Bitora. Ada foto indah yang mengabadikan perjumpaan antar-insan senasib-sepenanggungan.
Rabu, 11 November Peter mengirimi saya WA: “Mama saya baru saja dipanggil Tuhan.” Saya balas, “Turut berduka atas wafat mama, Peter. Mendoakan untuk keselamatan kekal beliau. Kamu yang kuat, Peter!” Ketegaran jiwa saya meleleh demi membayangkan Peter yang pasti tidak bisa pergi ke Flores untuk menguburkan jasad mama tercinta.
Seorang mama (yang berbagi hidupnya dengan Peter Aman) telah berangkat tanpa pernah melihat anaknya yang (juga) sedang sakit. Tercabik-cabik nurani saya memahami duka mendalam Peter yang tengah disandera oleh kerapuhan fisik, mental, dan entah apa lagi.
Akhir November, Peter membalas video call saya. Kami terlihat gembira tertawa bersama, karena dapat saling melihat via aparat canggih. Kondisinya baik. Terapi berjalan rutin juga latihan jalan. Hasil laboratoium tentang albumin, kalium, gula darah juga baik.
Pada 13 Desember, saya kirimkan jajaran foto dosen STF Driyarkara (termasuk Peter). Dereten paling akhir yang terkirim adalah foto Rm. Franz Magnis-Suseno SJ yang saya imbuhi komentari berikut: Tokoh besar ini, Rm. Franz von Magnis, akan dikenang selama STF masih ada dengan periodisasi: STF Driyarkara Era Magnis dan STF Driyarkara Pasca Magnis. Saya tengah merampungkan draft naskah sejarah 50 tahun STF Driyarkara, Jakarta.
(Peter) membalas kiriman foto yang terakhir begini: Semoga beliau (Rm. Magnis) sehat senantiasa. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi via WA antara saya dan Peter. Kemudian Provinsial OFM, Mikael Peruhe OFM, mengabarkan: Peter Aman dilarikan ke RS Panti Rapih karena sesak napas yang cukup akut (WA 15 Nov. Pk. 19.55). Tidak genap satu jam kemudian Peter menyambut ajakan Sorella Morte menuju kehidupan sejati.
……………………………………………………………………….
………………………………………………………………………..
Seakan kesambar geledek yang melumpuhkan segalanya. Suatu kehilangan. Titik. Kosong.
Nalar ini tahu bahwa Peter menderita sakit yang sudah berbulan-bulan, sangat muskil untuk sembuh atau pulih kembali dengan komplikasi yang menelikungnya, tetapi hati ini tiada rela kalau dia pergi untuk selamanya.
Kata lirih saya secara virtual pada diri sendiri:
Entah mengapa setelah stroke, saya mudah menangis; apalagi saat terdengar kabar Peter pergi untuk tidak kembali. Dia, adik kelas empat tahun di bawah saya, itu sahabat, kolega seperjuangan sebagai regu pendidik di STF Driyarkara.
Semalam mata saya terpejam tetapi hati dan pikiran terus berkelana tanpa arah. Antara tanya yang ke mana dan jawaban yang tidak pasti. Dari cemas yang tak terurai sampai kekhawatiran yang tidak berujung. Bermula dari mengapa dan berakhir dengan mengapa pula. Semula badan berbalik ke kanan dan kemudian sebaliknya tanpa berkesudahan.
Peter, kamu sakit seperti saya. Hanya kamu telah dipilihkan oleh Tuhan jalan istimewa ini. Saya masih perlu dimurnikan dan dipertobatkan oleh Dia dari dosa melawan kasih-Nya. Saatku akan tiba juga. Doakanlah saya!
Catatan akhir: Bertahun-tahun saya bekerja sama dengan Peter baik di lingkungan persaudaraan Fransiskan maupun STF Driyarkara. Inilah guratan yang membekas kuat di hati dan budi saya perihal Peter.
Peter seorang pribadi autentik. Tiada kepalsuan sebagai fransiskan dina yang memiliki komitmen kuat. Loyalitas yang ikhlas hanya untuk melayani. Tahu memilih untuk berpihak apapun risikonya, terutama pada yang kecil, ringkih, yang dijadikan korban, dan miskin. Jalannya hening.
Kristus Tuhan yang Peter temui dalam dan bersama korban ketidakadilan kini ia jumpai dalam kedamaian abadi.***
* Antonius Eddy Kristiyanto OFM adalah Guru Besar Sejarah Gereja di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Komentar