Oleh: Bernardus Tube Beding
Entah secara besama atau tidak, masyarakat di seluruh dunia telah menutup tahun 2020 dan membuka tahun 2021. Tentu, berbagai ragam kegiatan maupun acara yang dilaksanakan dalam melepaskan tahun 2020 dan menyambut tahun 2021. Yah, itu sudah menjadi suatu tradisi tahunan. Sepanjang tahun 2020 setiap orang memiliki pengalaman-pengalaman hidup yang menjadikannya kenangan yang beragam, baik yang manis dan membahagiakan, maupun yang pahit dan mengecewakan. Kenangan yang selalu diingat apabila diagendakan atau dicatat dan disimpan dalam akun sosial pribadi, maupun dalam buku harian. Apalagi, pengalaman yang cukup memengaruhi kepribadian, pasti selalu diingat oleh setiap pribadi. Semua pengalaman merupakan realitas yang pernah hidup untuk direfleksikan, dievaluasi, dinilai, dan menjadi kenangan.
Setiap realitas kehidupan, baik menyakitkan maupun membahagiakan pasti meninggalkan jejak dalam proses pembentukan diri, bahkan memengaruhi cara berpikir, bertutur, dan bertindak. Semuanya pada hakikatnya perlu diingat dan direnungkan, karena sungguh membentuk pribadi menjadi lebih baik. Artinya bahwa setiap pribadi mengalami perkembangan secara fisik, maka secara psikis dan mental pun harus mengalami kemajuan yang baik. Namun, tidak dapat dimungkiri juga bahwa pengalaman-pengalaman tertentu justru membuat hidup seseorang semakin merosot. Artinya seseorang semakin bertambah besar dan tinggi secara fisik, tetapi tidak ada tanda-tanda kemajuan secara psikis dan mental. Misalnya, sifat kekanak-kanakan masih melekat dalam diri seorang yang dari segi usia sudah dewasa. Relasi dan pergaulan seseorang semakin luas, memiliki banyak teman, tetapi cara bergaul dan berteman belum tentu dipandang semakin baik dan dewasa. Jangan sampai pergaulan yang luas, justru membawa kesusahan, kecemasan secara meluas juga kepada orang lain. Selain itu, tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan mungkin semakin banyak, tetapi karena rasa malas sehingga memilih jalan instan, mental enak, tidak bertanggung jawab dan jujur. Hal-hal tersebut merupakan sebagian sisi realitas yang menjadi kenyataan hidup pribadi maupun kelompok masyarakat. Pertanyaan muncul, apakah pribadi saya demikian? Mari kita ingat dan renungkan kembali di masa transisi tahun ini.
Sambil mengingat realitas kehidupan sebagai pengalaman tersebut, dan dalam situasi pergantian tahun 2020 ke 2021 ini, kita kita boleh merenungkan kritikan Yesus, Sang Guru kepada orang banyak, “Apabila kamu melihat awan naik ke sebelah barat, segera kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu memang terjadi. Dan apabila kamu melihat angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari akan panas terik, dan hal itu memang terjadi. Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini (Lukas 12:54-56)?” Sabda Tuhan tersebut mempertanyakan kepedulian kita terhadap waktu atau masa. Tuhan meminta pertanggungjawaban, mengapa kita tidak peduli terhadap setiap waktu dan kesempatan yang di dalamnya kita membangun kehidupan. Hemat saya, entah apa alasan dan bagaimana pertanggungjawabannya, yang pasti bahwa Tuhan menghendaki kita untuk segera menilai waktu dan kesempatan yang telah kita isi dengan realitas kehidupan kita, sekaligus sedapat mungkin menaruh kepedulian terhadap zaman.
Bercermin dari permenungan Sabda Tuhan tersebut, suatu zaman tidak lain daripada sebuah masa, sebuah rentang waktu yang dalamnya terisi aneka pengalaman atau peristiwa hidup. Rentang waktu awal sampai akhir 2020 adalah sebuah masa, sebuah zaman yang syarat dengan pelbagai realitas, pengalaman, dan peristiwa hidup tersebut. Semuanya itu, entah sadar atau tidak sangat mewarnai perjalanan dan perjuangan hidup kita. Dengan itu, menilai zaman berarti menilai realitas, pengalaman, dan kenyataan hidup kita. Tentu, sikap tersebut merupakan dinamika kehidupan berpikir, melihat, membaca, bertutur, dan bertindak.
Dinamika berpikir, melihat, membaca, bertutur, dan bertindak dalam kehidupan berkeluarga, seperti relasi yang dibangun secara harmonis antara nenek dan kakek, bapak dan ibu, istri dan suami, orang tua dan anak-anak, adik dan kakak, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sosial, yakni bagaimana hubungan kita dengan tetangga dan sesama, bagaimana pergaulan kita dengan teman-teman sebaya, dengan orang lain yang lebih tua atau lebih muda. Dalam kehidupan akademik, bagaiman hubungan dengan teman-teman dan para pendidik maupun pelajar, antara dosen dan mahasiswa, juga tenaga kependidikan. Dalam kehidupan sosial politik, bagaimana pelayanan kita kepada publik, pergaulan kita dengan sesama pelayan publik; apa yang dibuat untuk masyarakat banyak. Sementara dalam kehidupan rohani, bagaimana dinamika kehidupan relasi kita dengan Allah; apakah kita biasa membangun komunikasi yang intim dengan-Nya ataukah malah menghindar dari pada-Nya?
Dinamika-dinamika kehidupan tersebut bukan suatu tindakan tanpa makna. Dengan kata lain, dinamika kehidupan bukanlah suatu aktivitas yang sia-sia tanpa tujuan, melainkan mengarahkan hati dan pikiran kita merenungkan, merefleksikan untuk mengetahui mana pengalaman baik dan mana pengalaman buruk; membedakan mana sikap dan tutur kata yang salah dan mana yang benar, mana yang perlu dipertahankan dan mana yang perlu disingkirkan; kita bisa tahu, mana janji politik yang sudah direalisasikan, dan mana yang belum dan yang tidak bisa dijalankan. Artinya, dengan jalan permenungan dan refleksi, kita mampu memperbaharui cara hidup kita yang mencakup cara berpikir, melihat, membaca, bertutur, dan bertindak. Lebih dari itu, kita bisa membangun diri menjadi pribadi yang lebih integral dan dewasa. Misalnya, apabila ada catatan kritis masyarakat terhadap penegak hukum, penegak hukum yang integral dan dewasa akan menerima catatan kritis itu sebagai sesuatu yang konstruktif, kukan malah membungkamnya. Apabila program tertentu dari pemerintah yang integral dan dewasa akan mengakomodir aspirasi masyarakat, bukan bersikeras bertentangan dengan masyarakat yang nota bene sebagai asal mula kekuasaannya.
Saya yakin, sepanjang tahun 2020, ada banyak pengalaman hidup yang tidak sempat dipikirkan, dilihat, dibaca, dituturkan, dan dan ditindakkan secara mendalam. Ada pelbagai kenangan pahit dan manis yang tidak sempat dinilai, yang berlalu begitu saja tanpa didalami maknanya. Ada aneka peristiwa yang tercecer dan berserakan. Mengapa? Karena kita kurang, bahkan tidak sadar dalam mengalami realitas hidup kita sendiri. Tidak ada keterlibatan diri yang penuh. Hal ini terjadi karena kita lebih banyak ikut arus, ikut rame-rame saja. Kesannya, tidak ada pendirian. Apa yang kita buat, apa yang kita bicarakan dan pikirkan lebih banyak dipengaruhi oleh orang lain; oleh teman-teman seperjuangan, oleh rekan-rekan kerja, oleh para atasan, dan bukan oleh niat baik, niat yang sungguh dari kedalaman diri sendiri. Kita mengalami apa yang disebut sebagai elienasi diri. Diri yang terasing. Kadang kita malu melakukan perbuatan terpuji, suatu perbuatan yang berlandaskan hati nurani. Kadang kita canggung, ragu, dan tidak berani membela kebenaran di hadapan aneka praktik manipulasi. Kita tidak konsisten terhadap komitmen untuk melawan kekuasaan dan penguasa yang ‘miring’. Kita malu karena perbuatan itu tidak sesuai dengan kemauan orang lain. Namun, ketika kita malu dan tidak memiliki keberanian, sebetulnya kita sedang tidak menghormati hati nurani kita sendiri. Kita sedang membenci diri kita sendiri dan membenci kebenaran atau ide dan perbuatan terpuji itu.
Tahun 2021 merupakan masa atau zaman harapan. Tentu, harapan yang dimaksud adalah dinamika kehidupan (berpikir, melihat, membaca, bertutur, dan bertindak) yang positif, membahagiakan orang lain dan diri sendiri, serta menampilkan kemuliaan Allah. Kita mesti bersyukur karena kita masih diberi waktu boleh hidup dan mengawali tahun 2021 sebagai suatu harapan baru. Momen pergantian tahun merupakan sebuah rahmat (a grace) yang terbesar bagi kita.
Karena itu, dari realitas yang telah kita alami selama tahun 2020 menuju harapan di tahun 2021 ini, kita dikehendaki untuk lebih banyak kembali ke dalam diri, dan pada taraf tertentu, kita diwajibkan untuk menilai segala pikiran, perkataan, dan perbuatan kita. Apakah semuanya itu cukup membangun diri sendiri dan orang lain dalam kelompok, masyarakat, dan dalam keluarga. Ataukah justru merusak diri sendiri dan orang lain. Sang Nabi pernah bertanya; mengapa engkau sendiri tidak memutuskan sendiri apa yang benar? Dengan pertanyaan ini, dia sebetulnya mengkritisi pribadi yang kurang otonom dalam bertindak dan berpikir. Sebelum melakukan sesuatu, sebelum mengatakan sesuatu, seseorang semestinya yakin bahwa pikiran, perkataan, dan perbuatannya sungguh benar. Mari kita saling mendukung dalam membangun diri, membangun masyarakat, membangun daerah kita yang sarat persoalan dengan harapan yang lebih baik. Mari kita lebih kritis menilai zaman dan pandai berpikir, melihat, membaca, bertutur, dan bertindak tentang waktu, dan dengan itu kita lebih peduli terhadapnya. Selamat menjejaki tahun baru 2021.
Penulis adalah Pegiat Literasi dan Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus Ruteng
Komentar