Katoliknews.com — Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mendesak Kepolisian Resor Depok untuk segera menuntaskan penyidikan kasus pencabulan anak-anak yang pernah diasuh Lukas Lucky Ngalngola, yang mengaku sebagai “Bruder Angelo”.
Penangan kasus itu, menurut kedua lembaga itu, berjalan lamban, sehingga menimbulkan preseden bahwa negara mengabaikan hak anak-anak yang menjadi korban selama hampir dua tahun lamanya.
Sampai saat ini, terlapor yang dikenal sebagai “kelelawar malam” oleh korbannya, masih bebas berkeliaran bahkan membuka panti baru dan hidup bersama anak-anak di bawah umur.
Kedua lembaga ini juga mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk menelusuri dugaan tindak pidana perdagangan orang dalam kasus ini, karena anak-anak asuh diambil dari orang tua mereka yang jauh dari Depok, seperti dari Sumatra Utara dan Nusa Tenggara Timur.
“Saya berharap benar-benar gunakan berbagai cara semaksimal mungkin, seperti CCTV atau hal-hal yang tidak terpikir,” kata Poengky Poengky Indarti dari Kompolnas.
Hal itu diungkap Poengky dalam acara bedah kasus pencabulan Angelo yang diadakan End Child Prostitution, Child Pornography, & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) bekerja sama dengan Mitra Imadei, Minggu, 14 Maret 2021.
Poengky menegaskan bahwa Kompolnas akan mengawal kasus tersebut.
“Kami sudah terima pengaduan dari lawyer secara resmi dan akan ditindaklanjuti dan akan melakukan gelar perkara agar kasus ini bisa dijalankan dengan lebih baik,” ujar Poengky.
Sementara itu, Ipda Tulus Handani yang mewakili Ipda Elia Herawati, Kepala Unit PPA Polres Depok, mengatakan bahwa kepolisian telah mendapatkan petunjuk dari hasil visum.
Tulus mengatakan, pada saat pihaknya mengambil hasil visum, ternyata di luar dugaan bahwa ada hasil yang menunjukkan anus korban terdapat luka.
“Atas dasar luka tersebut, kami periksa lagi korban saat dia (korban-red) di Handayani [panti yang dikelola Kementerian Sosial], tetapi korban tidak bisa menjelaskan luka tersebut karena apa,” kata Tulus.
“Korban cuma bilang luka gatal, kita kasih pemahaman, dia bilang lupa; kami sudah koordinasi untuk minta pendampingan psikologi khusus untuk gali keterangan korban,” tambahnya lagi.
“Karena luka dubur pastinya ada kekerasan lagi, entah karena ada pelaku lain atau karena alasan lain,” ungkap Tulus.
Merespons Polres Depok yang memaparkan banyak kesulitan dalam penyidikan, Nahar, Plt. Deputi Perlindungan Anak di KPPA, mendesak kepolisian agar segera menyelesaikan berkas.
“Serahkan saja, kumpulkan saja. Nanti jaksa yang menentukan. Jadi, berkas ini harusnya naik saja. Kami beri kesempatan kepada kepolisian dan kejaksaan untuk konsultasi ke kami,” tandasnya.
“Saya yakin kasus ini bukan kasus pelik. Ini kasus biasa. Mari kita jaga kepercayaan masyarakat,” kata Nahar.
Sementara itu, Ermelina Singereta sebagai kuasa hukum para korban sejak September 2020 mengatakan bahwa seharusnya kepolisian menggunakan prinsip persamaan hak di muka hukum.
“Kami (tim hukum) sering sekali menanyakan perkembangan laporan pada kasus ini dan juga selalu memberikan informasi terkait keberadaan pelaku yang kami dapatkan dari berbagai pihak,” kata Ermelina.
Namun, lanjut Ermelina, sering juga terjadi perdebatan karena berbeda pandangan terkait penanganan kasus yang terkesan sangat lamban, dan sepertinya ada pembiaran yang dilakukan oleh Polres Depok untuk tidak memproses kasus ini dengan cepat dan menunggu desakan publik secara terus-menerus.
Hal itu, kata dia, dapat terlihat dari hasil gelar perkara yang hasilnya kasus ini masih berada di tingkat lidik, dengan alasan kepolisian harus meminta keterangan tambahan dari korban, saksi dan perlu adanya visum et psikiatrikum bagi korban.
Judianto Simanjuntak, yang juga menjadi kuasa hukum korban, mengatakan bahwa kepolisian sangat lamban. Seharusnya, kata dia, jika ada kekurangan yang perlu ditambahkan, maka kepolisian berkoordinasi dengan kuasa hukum dan juga pihak terkait lainnya.
Senada dengan kuasa hukum korban, ahli hukum pidana Ahmad Sofian mengatakan bahwa Polres Depok diduga melakukan malpraktik dalam penyidikan kasus ini.
Sofian mempertanyakan pihak kepolisian yang melakukan penangguhan penahanan terhadap tersangka Angelo, kendati kepolisian belum mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan sejak September 2019.
“Jadi, statusnya harus tetap tersangka. Kok mau diulang lagi ditetapkan sebagai tersangka?” tanya Sofian.
Sementara itu, Livia Iskandar dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan bahwa lembaganya telah berupaya membantu penyelesaian kasus, tetapi saat ini belum mendapatkan persetujuan dari korban dan wali dari korban, Darius Rebong.
Dia juga mempertanyakan pihak yang menunjuk Darius Rebong sebagai wali. Darius, kata Livia, sangat tidak kooperatif padahal sudah dihubungi berkali-kali.
Adapun Darius adalah pelapor kasus kedua pada September 2020. Saat ini, puluhan anak yang dulu diasuh Angelo tinggal di panti miliknya di Depok, di mana beberapa pihak dalam forum itu mempertanyakan izin pendirian panti yang Darius kelola tersebut.
Guru besar antropologi hukum Universitas Indonesia, Prof. Sulistyowati Irianto, dalam urun pendapatnya pada forum itu menyatakan keheranannya akan lambannya penyelesaian kasus itu.
“Kasus ini adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat serius, dan mohon segera dapat dijalankan akses keadilan bagi korban,” ujar Sulistyowati.
Dalam pengumpulan bukti, kata Sulistyowati, bila bukti visum et repertum berbeda dengan keterangan korban, maka harus dipahami.
“Korban berada dalam situasi psikologis yang berat, sehingga tampak keterangannya tidak jelas, tidak konsisten, tidak bisa dipegang. Maka, keterangan korban ini harus diperlakukan secara khusus,” kata Sulistyowati.
Sulistyowati juga mengatakan, penanganan kasus tersebut terkesan kaku, “legistis”, dan mengabaikan perspektif kemanusiaan.
Menurutnya, kejaksaan sudah memiliki Pedoman No. 1/21 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak yang memberi banyak terobosan. Dengan demikian, kata dia, pedoman ini dapat sangat membantu melindungi korban-korban kekerasan seksual semacam ini.
Ian Saf
Komentar