RD Ardus Endi
Hari ini kita memasuki Hari Minggu Kedua Prapaskah. Tema utama selama Prapaskah ini pertobatan. Seruan untuk bertobat, berpuasa, dan atau berpantang merupakan serangkaian ajakan profetis bagi kita untuk secara sungguh-sungguh memaknai masa Prapaskah ini dengan baik. Dalam bingkai seruan ini, hal yang mesti kita ingat adalah bahwa pertobatan itu bukan sekadar berjanji untuk tidak melakukan dosa lagi, melainkan juga yang paling penting adalah berani menundukkan hati, pikiran dan kehendak kita di bawah kehendak Kristus sendiri. Artinya bahwa kehendak Kristus menjadi payung utama hidup kita.
Apabila kita menyimak dan mencermati secara baik ketiga bacaan suci hari ini, sesungguhnya ada begitu banyak nasihat yang amat berguna bagi hidup kita. Namun, saat ini, saya hanya fokus pada inti ajakan Yesus agar kita selalu percaya dan bersandar pada Tuhan. Agar ketika kita sudah jatuh cinta dengan Tuhan, maka setialah merawatnya. Kalau hati kita sudah tertambat pada-Nya, jangan sekali-kali beralih ke lain hati. Dan jika kita telah memilih kerahiman-Nya sebagai pelabuhan akhir ziarah panggilan hidup kita, jangan pernah berpindah ke pelabuhan lainnya. Kita akan selalu mengalami sukacita dan kebahagiaan dalam hidup ketika kita setia pada pilihan hidup kita, terutama ketika kita senantiasa memastikan diri untuk hidup dalam pelukan kasih Allah.
Melalui bacaan-bacaan suci hari ini, Tuhan mengajak kita semua untuk selalu percaya dan menyandarkan seluruh hidup dan karya kita pada-Nya. Dalam bacaan I, kita mendengar kisah panggilan Abram. Ia diperintahkan Tuhan agar segera meninggalkan negeri Haran, tempat tinggalnya dan segera hijrah ke tanah yang dijanjikan Yahwe di tanah Kanaan. Tuhan bersabda kepada Abram: “Tinggalkanlah negerimu, sanak saudaramu, dan rumah bapamu ini, dan pergilah ke negeri yang akan kutunjukkan kepadamu” (Kel. 12:1). Abram sungguh taat dan mematuhi perintah Yahwe. Oleh karena kesetiaannya itu, Abram diganjari dengan aneka berkat yang berlimpah; seperti keturunan yg banyak seperti pasir di laut dan bintang di langit. Selain itu, ia juga dihadiahi Tanah terjanji, negeri Kanaan yang di dalamnya berlimpah susu dan madu.
Kita belajar dari Abram, terutama tentang kesetiaan dan kepasrahan diri yang total kepada kehendak Allah. Seperti Abram yang berani meninggalkan segala sesuatu, termasuk negerinya dan mengikuti kehendak Tuhan, kita pun hendaknya demikian. Dalam konteks ini, kita tidak perlu harus meninggalkan tempat kelahiran kita untuk pergi ke luar negeri atau entah ke mana, tetapi dalam pengertian yang paling sederhana, perintah “tinggalkanlah negerimu…” mau mengajak sekaligus menyadarkan kita untuk bisa move on dari segala pola manusia lama kita yang penuh dengan kemunafikan dan dosa kepada pola dan gaya hidup yang selaras dengan kehendak Tuhan. Kita mesti berani membongkar atau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik dalam diri kita dan membiasakan diri dengan hal-hal yang baik dan benar.
Dengan kata lain, kita mesti beralih dari yang buruk kepada yang baik sembari menyandarkan seluruh hidup pada Tuhan. Rasul Paulus dalam suratnya kepada Timotius, meyakinkan kita semua bahwa ketika kita menyandarkan hidup kita pada Tuhan, kita akan mengalami keselamatan. Sebab, “Dia yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri” (2Tim. 1:9).
Senada dengan itu, Penginjil Matius meyakinkan kita juga bahwa ketika kita setia beriman dan percaya kepada Tuhan, lalu taat pada titah-Nya, kita akan selalu mengalami sukacita dalam berbagai karya dan pekerjaan kita. Peristiwa transfigurasi, di mana Yesus berubah rupa di Gunung Tabor, sebagaimana yang kita dengar bersama dalam bacaan Injil, hendak memperlihatkan kepada kita semua bahwa ketika kita setia berkanjang dalam naungan kasih Allah, hidup kita senantiasa diwarnai oleh kasih dan sukacita.
Ketika kita dekat dan selalu ada bersama Yesus, maka selalu ada kasih dan sukacita dalam hidup kita. Pengalaman Petrus, Yohanes dan Yakobus menjadi bukti nyata bagi kita tentang hal ini. Ketiga rasul yang selalu setia dekat dan ada bersama Yesus akhirnya mendapat kesempatan istimewa untuk melihat langsung dan mengalami sukacita di Puncak gunung Tabor. Pengalaman sukacita itu diungkapkan secara terang-terangan oleh Petrus: “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Luk. 9:33).
Kita tentu akan mengalami sukacita di “Gunung Tabor” kehidupan kita masing-masing, entah dalam hidup pribadi kita, dalam keluarga, atau dalam berbagai kebersamaan dengan yang lain> Hal itu hanya mungkin sejauh kita setia dekat dan ada bersama Yesus, Sang Guru Agung kita. Ungkapan “dekat dan ada bersama Yesus” memiliki makna selalu percaya dan bersandar penuh pada Yesus, Tuhan kita.
Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah bahwa kita harus berani move on, keluar dari zona nyaman, meninggalkan egoisme diri dan membiarkan Tuhan berkarya dalam diri kita. Ini adalah syarat utama untuk dapat mengalami sukacita gunung Tabor dalam dinamika hidup harian kita.
Marilah dalam terang Sabda Tuhan hari ini, kita diajak senantiasa mengisi hari-hari selama masa Prapaskah ini dengan berpantang, berpuasa sembari terus berbuat baik kepada sesama sebagai bentuk nyata sikap tobat kita. Semoga Tuhan senantiasa memberkati kita semua.
Komentar