RD Ardus Endi
(Imam Keuskupan Ruteng)
Hari ini (Minggu, 2 April 2023), kita merayakan Hari Raya Minggu Palma. Perayaan ini membawa kita pada jarum sejarah 2000-an tahun silam ketika Yesus, Sang Guru Agung memasuki kota Yerusalem. Dalam kebiasaan masyarakat Yahudi zaman itu, setiap raja yang datang harus disambut dengan penuh sukacita; dengan mengangkat daun palma di tangan dan ini menjadi pesta besar. Masyarakat Yahudi menyebut hari raya ini sebagai Hari Raya Pondok Daun.
Yesus datang sebagai raja, karena itu Ia disambut dengan penuh sukacita dan sorak-sorai oleh masyarakat Yahudi: “Hosana bagi Anak Daud! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan. Hosana di tempat yang mahatinggi” (Mat. 21:9). Seruan itu disorakkan sambil melambaikan daun-daun Palma di tangan, bahkan ada juga yang menghamparkan pakaian di jalan.
Peristiwa ini mau memperlihatkan kepada kita bahwa kehadiran Yesus sebagai Mesias sejati sungguh dinantikan dengan penuh rindu oleh semua orang. Kita yang turut ambil bagian dalam perayaan ini pun pasti punya kerinduan dan rasa sukacita yang sama untuk bertemu Yesus. Sebagaimana orang banyak menyambut Yesus di gerbang Yerusalem dan menatang Yesus masuk kota Yerusalem, semoga kita juga segera membuka pintu gerbang hati kita agar Yesus dapat masuk dan tinggal di dalam hati kita dan menjadikan hati kita sebagai istana cinta-Nya.
Dalam perayaan ini kita semua diajak untuk secara bersama-sama merenungkan bacaan-bacaan suci hari ini. Inti terdalam dari seluruh pewartaan dan misteri perayaan hari ini adalah ajakan Yesus agar kita semua menjadi “Sarana Belas Kasih Allah” atau dalam bahasa Injil hari ini, menjadi “Keledai tunggangan Yesus”. Hal ini terungkap jelas dalam perikop Injil Mat. 21:1-11, ketika Yesus, Sang Raja Daud memilih dan menjadikan keledai sebagai sarana tunggangan-Nya untuk masuk kota Yerusalem.
Keledai adalah simbol diri sekaligus sebagai pesan bagi kita untuk lebih berani menjadikan seluruh diri kita sebagai sarana untuk melakukan kebaikan Allah bagi sesama. Sama seperti seekor keledai memberikan dirinya untuk dipakai Yesus menjadi tunggangan-Nya, kita pun diundang untuk terus mengantar, menghadirkan Yesus kepada semua orang dan mengantar semua orang kepada Yesus. Ungkapan menjadi “Keledai tunggangan” dalam konteks bacaan hari ini berarti menjadi penyalur berkat bagi sesama. Hal itu dapat kita tunjukkan melalui tutur kata, pola pikir, sikap, dan tingkah laku kita setiap hari.
Barangkali muncul pertanyaan dalam benak kita: bagaimana upaya kita agar seluruh diri kita menjadi sarana belas kasih Allah bagi sesama? Bila menyimak bacaan I & II, kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Dalam bacaan I, Nabi Yesaya secara jelas menyebut dua organ penting dalam tubuh kita, yakni lidah dan telinga. Tentang tujuan dan fungsi lidah, tentu masing-masing kita tahu. Tanpa lidah kita tidak dapat mengecap rasa pada makanan, tanpa lidah juga kita tidak dapat melafalkan kata atau mengucapkan kalimat dengan jelas. Jadi, betapa pentingnya lidah ini dalam hidup kita.
Agar lidah kita dapat menjadi sarana belas kasih Tuhan, maka kita mesti menggunakannya sebaik-baiknya demi kebaikan sesama, seperti terus memotivasi dan memberikan peneguhan kepada orang lain, mendoakan sesama, dll. Tentang hal ini, Nabi Yesaya katakan: “Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataanku aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu” (Yes. 50:4). Mari kita pakai lidah dan mulut kita untuk hal-hal yang baik. Sebagaimana hari ini kita menyoraki seruan pujian: HOSANA PUTRA DAUD untuk menyambut Yesus, Sang Mesias Sejati, dalam relasi dengan sesama juga kita mesti pakai lidah dan mulut kita untuk terus memotivasi dan memberi semangat kepada orang yang letih lesu, seperti kata Nabi Yesaya tadi.
Selain lidah, Nabi Yesaya juga berbicara tentang telinga. Telinga kita ada dua, lebih dari jumlah lidah. Barangkali dengan cara ini, Allah ingin menyadarkan kita agar lebih banyak meluangkan waktu untuk mendengar daripada menghabiskan banyak waktu untuk berbicara, apalagi menyangkut hal-hal yang kurang baik atau hoaks. Persis inilah yg dimaksudkan Nabi Yesaya: “Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid” (Yes. 50:5). Ungkapan “mendengar seperti seorang murid” maksudnya mendengar dengan hati, dengan penuh cinta dan penuh perhatian.
Ketika kita menggunakan lidah dan telinga kita dengan baik, maka di sana kita hadir sebagai sarana belas kasih Allah bagi sesama. Karena kata-kata yang keluar dari mulut kita selalu menghadirkan berkat dan penghiburan bagi banyak orang dan bukan luka dan derita. Demikian juga dengan telinga kita, kita mendengar dengan hati dan tulus ikhlas. Persis inilah yang menjadi spirit keledai yang dimaksudkan tadi, yaitu kita bijaksana dalam bertutur kata dan rendah hati dalam mendengar dan siap melaksanakan tugas tanpa berontak.
Konsep diri sebagai sarana belas kasih Allah itu mesti sama seperti yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri, Sang Guru Agung kita. Yesus datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang. Dan tentang hal ini, Rasul Paulus dalam bacaan II tadi menulis dengan amat jelas: “Yesus Kristus telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan Diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu Salib” (Flp. 2:7-8).
Di sini kita melihat spiritualitas pengorbanan Yesus. Ia rela menderita dan bahkan sampai wafat di kayu salib demi keselamatan kita manusia. Sama seperti Yesus, kita diajak senantiasa melayani sesama. Motivasi untuk melayani mesti didasarkan pada kesadaran bahwa Allah telah lebih dahulu melayani kita bahkan memberikan nyawa-Nya demi kita. Ketika kita mengalami bahwa Allah telah dengan leluasa melayani kita, maka kita pun pada gilirannya mesti dengan leluasa melayani sesama tanpa batas dan tanpa pandang bulu.
Daun palma adalah simbol kedamaian dan sukacita, maka ketika kita membawa pulang ke rumah daun palma yang telah diberkarti, kita juga mesti membawa pulang sukacita, kedamaian dan berkat Tuhan untuk dibagikan kepada sesama. Hanya dengan cara demikian, kita hadir sebagai berkat bagi sesama yang lain.
Selamat berhari Minggu Palma, semoga Yesus, Sang Raja Daud senantiasa memberkati kita semua. Amin.
Komentar