Katoliknews.com – Sejatinya, membicarakan tema korupsi berkaitan erat dengan tingkah laku manusia yang tidak jujur, mencuri, menyalahgunakan wewenang, dan menilep uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Akan tetapi, sekarang ini, orang sering mengaitkan pembicaraan tentang korupsi dengan hewan, tikus.
Berbagai bentuk pemberitaan media seringkali menampilkan tikus sebagai ‘maskot’ kejahatan korupsi.
Kemudian, muncul pertanyaan: kenapa tikus dijadikan sebagai ‘maskot’ koruptor? Padahal, yang berbuat jahat manusia. Kok hewan ikut-ikutan jadi ‘korban’ pencemaran nama baik? Apa salah tikus?
Bagi sebagian orang, pertanyaan semacam itu murahan.
Tetapi, bagi sebagian lainnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu justru menjadi inspirasi untuk menghasilkan karya seni: teatrikal.
Itulah yang dilakukan oleh Frater Damianus Asep Cahyono OFM dan Pastor Vinsensius Darmin Mbula OFM lewat teater ‘Tikus-tikus Nusantara’.
Dipentaskan pada Kamis malam, 25 Agustus 2018, teater itu menjadi sajian penutup dari pertemuan sepekan INFO-JPIC, forum para animator Komisi JPIC sejumlah tarekat religius yang menghayati spiritualitas St Fransiskus Assisi.
Teater itu dipentaskan para frater OFM yang kini sedang mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Menurut Frater Asep, “Tikus-tikus Nusantara” hendak menyentil budaya politik korupsi sebagai akar perusak alam semesta sebagai Taman Eden.
“Korupsi turut menghancurkan kehidupan mahluk di bumi,” katanya.
Melalui teater ini juga, kata dia, mereka ingin menyampaikan pesan untuk menjaga bumi.
“Belumlah terlambat untuk menyelamatkan Bumi sebagai rumah kita bersama. Krisis yang melanda di mana-mana menumbukan kesadaran untuk menjaga bumi,” katanya.
“Dibutuhkan tindakan moral-spiritual untuk mengharmonisasikan kembali alam semesta, menjalin kembali persaudaraan multikultrual dan universal. Di sinilah kita membutuhkan sosok yang berani dan membawa perubahan.”
Tikus Sawah Menjadi Tikus Nusantara
Dalam teater itu, yang diangkat dari cerita rakyat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, konon tikus adalah sahabat dan penolong manusia.
Tikus dalam bahasa Manggarai disebut lawo yang (konon) terbentuk dari dua kata: lami woja. Lami artinya menjaga dan woja artinya padi. Jadi, tikus memiliki peran dalam menjaga padi di ladang para petani.
Ada masanya di mana manusia dan bangsa tikus hidup berdampingan dalam damai. Tikus menyandang peran ‘menjaga padi,’ entah di ladang atau juga sawah.
Malang segera datang ketika manusia mengusik keharmonisan itu dengan memburu tikus untuk dijadikan lauk pauk.
Bangsa tikus yang merasa dirugikan karena tindakan manusia itu berbalik menyerang manusia dengan memakan segala hasil bumi manusia. Sejak saat itu, manusia dan tikus bermusuhan.
Kini, permusuhan itu terlihat makin nyata dengan berkembangnya pandangan yang seolah menyudutkan tikus.
Para koruptor yang rakus, serakah, dan munafik disamakan dengan sifat tikus yang rakus, menjijikkan, kotor dan bahkan menjadi sumber penyakit.
Tikus-tikus itu pun keluar dari ladang dan sawah, melewati got-got, melebarkan jangkauan pengrusakan.
Mereka segera mengenakan dasi dan menjangkau ruang-ruang di gedung mewah.
Wartawan, yang malam itu diperankan oleh Frater Yeri OFM, membaca fenomen ini dan membuat liputan tentang tikus-tikus kantor, suatu sentilan kecil untuk korupsi, kejahatan luar biasa yang mewabah di negeri kita dan menjadi penyakit yang menyerang seluruh sendi kehidupan bangsa.
Seharusnya manusia sadar, penyakit korupsi itu tidak lagi identik dengan sifat-sifat tikus di luar sana, tetapi telah menjadi penyakit manusia di kedalaman dirinya yang makin dangkal dan busuk.
Ketua INFO-JPIC Indonesia periode 2014-2016, Pastor Mike Peruhe OFM, memberi apresiasi luar biasa untuk pementasan itu.
Tikus-tikus Nusantara, kata Pastor Mike, mengungkapkan dengan bernas keresahan, kegelisahan dan harapan peserta INFO-JPIC Indonesia ketika mengadakan pertemuan sepekan dengan tema “Memberantas Korupsi: Tanggung Jawab demi Keadilan dan Iman.”
“Para frater ini menangkap dengan baik apa yang kita bicarakan dalam sepekan ini. Mereka menampilkannya dengan sangat menarik. Singkat, namun sarat makna!” tegas Pastor Mike.
Disadur dari tulisan Fr Alders Jangkar OFM yang dimuat di website JPIC-OFM Indonesia
Komentar