Oleh: Aditia Purnomo, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Pagi itu, saya tengah berada di Kalibata City untuk menangani sebuah urusan ketika mendapat kabar bahwa telah terjadi aksi massa yang mengatasnamakan seluruh masyarakat Muslim kompleks perumahan Keroncong Permai di Kota Tangerang.
Massa menuntut agar sebuah rumah peribadatan milik Huria Batak Kristen Protestan (HKBP) Keroncong Permai segera ditutup karena meresahkan masyarakat.
Aksi ini adalah buntut dari polemik yang sudah lama terjadi.
Perlu Anda ketahui bahwa rumah peribadatan yang dimaksud bukanlah gereja. Tempat itu hanyalah sebuah rumah yang dijadikan tempat peribadatan sementara karena proses pembangunan gereja milik jemaat HKBP Keroncong mandek pada perkara perizinan.
Ya, soal tanah dan anggaran mereka sudah punya. Hanya izin yang belum mereka miliki.
Polemik ini sudah saya ketahui sejak dua tahun yang lalu ketika seorang teman dan tetangga rumah saya, Jonathan Alfrendi, menceritakan persoalan yang dialami jemaatnya kepada saya di kampus.
Kebetulan, Jonathan dan saya memang kuliah di kampus yang sama – Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam cerita dia, persoalan pembangunan gereja ini sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Saya agak lupa ceritanya, tetapi yang jelas mereka sudah memiliki sebidang tanah untuk pembangunan gereja. Namun, izin dari masyarakat tak pernah mereka dapatkan.
Sementara itu, tanah tersebut justru dialihfungsikan sebagai lapangan badminton oleh warga, tentu tanpa izin pemilik tanah.
Sementara gereja tak bisa dibangun, ritual ibadah harus tetap berjalan. Kalau hanya ibadah harian mungkin jemaat HKBP Keroncong tak perlu ambil pusing. Mereka bisa menggilir rumah para jemaat untuk dijadikan tempat beribadah.
Ya, seperti ibu-ibu pengajian yang rumahnya digilir setiap malam Jumat untuk mengaji bersama.
Persoalannya, pada saat ibadah akbar Misa natal, tidak mungkin mereka menggunakan rumah jemaat dengan luas ruangan yang tidak memadai.
Akhirnya, jemaat HKBP Keroncong memutuskan menggunakan gedung pertemuan agar ibadah tetap berjalan meski rumah ibadah tak ada.
Tapi, ya namanya jalan keluar sementara, masalah pun hanya selesai sementara.
Menggunakan gedung pertemuan boleh jadi membuat jemaat bisa beribadah dengan nyaman dan khusyuk, tapi persoalan baru soal membengkaknya anggaran jelas tak bisa dianggap sepele.
Dalam setahun, ada tiga ibadah raya yang dilaksanakan, yakni Paskah, Natal, dan Kenaikan Isa Almasih. Misalnya saj gedung pertemuan tersebut memiliki tarif sebesar 20 juta rupiah untuk setiap ibadah raya, bisa dibayangkan berapa besar uang yang harus dikeluarkan jemaat.
Itu belum ditambah ibadah Minggu yang juga mesti dilaksanakan di gedung pertemuan.
Mungkin untuk ibadah Minggu, dana yang dikeluarkan tak sebesar itu, tetapi kalau harus dikalikan 52 minggu dalam setahun, ya besar juga duit yang harus dikeluarkan.
Hal inilah yang kemudian membuat jemaat memutuskan untuk membuat satu rumah huni sebagai tempat peribadatan. Memang ilegal dan tidak memenuhi izin.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, izin untuk rumah hunian dan rumah ibadah jelas berbeda. Juga jika mengacu pada Surat Keputusan Bersama dua Menteri tahun 2006. Karena itu, menggunakan rumah hunian sebagai rumah ibadah adalah sebuah kesalahan.
Tetapi bukan hal itu yang perlu kita kedepankan. Persoalan paling mendasar dari masalah ini adalah bagaimana negara menjamin kebebasan warganya untuk beribadah. Mau menggunakan landasan hukum apapun, jika sudah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sebagai landasan konstitusi negara ini, seharusnya hal-hal seperti itu tidak berlaku.
Lagipula, semua masalah tadi bermula dari ketidakmauan warga memberikan izin pada jemaat HKBP Keroncong untuk membangun gereja sebagai tempat ibadah mereka. Jika saja warga memberikan izin, tentu saja tidak akan ada pelanggaran apalagi konflik yang terjadi pada masyarakat. Lagipula, apa memiliki gereja sebagai tempat ibadah menjadikan mereka sebagai pengganggu ketertiban?
Jika masyarakat hanya bisa menolak tanpa mau berdialog, tentu persoalan ini tidak akan pernah selesai bahkan sampai kiamat datang. Percayalah. Mungkin masyarakat islam mayoritas belum pernah merasakan bagaimana rasanya dilempari batu ketika sedang khusyuk beribadah di masjid. Lucunya, masyarakat begitu heboh ketika kolom agama di KTP hendak dihapus, tetapi masih saja tidak membolehkan umat agama lain untuk beribadah.
Dalam persoalan ini, keberpihakan saya jelas pada soal kemanusiaan. Bagaimana negara yang memaksa warganya untuk beragama tidak mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi mereka yang hendak beribadah?
Mengutip kalimat Pram, “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.”
Memang, kejadian di Tangerang ini hanyalah sebuah permasalahan yang sangat kecil dari ratusan kasus pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut bukanlah kejadian yang memakan korban seperti yang terjadi di Papua, Aceh, atau yang dialami jemaat Ahmadiyah.
Namun, jika masalah yang sangat kecil ini tidak bisa diselesaikan masyarakat dan aparat negara, bagaimana nasib kasus-kasus lain yang skalanya lebih besar?
Artikel ini dikutip dari Perspektif: Think Critically, Share The Knowledge, dengan judul “Negara Memaksa Kita Beragama tetapi Tidak Membolehkan Kita Beribadah”
Komentar