Katoliknews.com – Umat Kristen dan Muslim di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga kini masih kompak membangun gereja dan masjid di daerah itu. Hal itu sudah terjalin sejak berabad-abad yang lalu.
Tak heran, jika di Kampung Ilawe, salah satu kampung di Alor, pemeluk agama Islam selalu ikut membangun gereja dan warga beragama Kristen pun turut membantu mendirikan masjid.
Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Kupang, Romo Geradus Duka mengatakan bahwa kerukunan antaragama yang terjalin dalam masyarakat Alor merupakan bentuk hubungan kultural yang dibangun sebelum agama masuk.
“Hubungan umat beragama ini bukan merupakan hubungan yang formal tetapi sejak awal kultural, suatu hubungan bukan hanya berdasarkan agama di dalam dirinya tetapi suatu hubungan berdasarkan hidup manusia,” kata Romo Geradus.
Tokoh agama Katolik yang berasal dari Alor ini juga mengatakan, perbedaan agama dalam satu keluarga di kalangan masyarakat Alor merupakan hal yang biasa.
“Rasa saling memahami terbentuk mulai dari keluarga, termasuk di keluarga saya,” ucap Romo Geradus.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Alor, Muhamad Marhaban mengatakan bahwa sejak dulu hari raya Idul fitri dan Natal menjadi perayaan bersama bagi semua kalangan masyarakat di Alor.
“Dalam pawai Ramadan semua masyarakat ikut terlibat tidak memadang agama, begitu pula ketika kita mengadakan MTQ, itu yang jadi panitia adalah saudara kita yang beragama Kristen,” kata Marhaban.
Lebih lanjut, di Desa Dulolong Barat, kecamatan Alor Barat Laut, kerukunan yang sama juga masih dihidupi warga.
Imam Masjid Sabili Salam, Sumirat mengatakan pembangunan gereja di tempat itu dilakukan bersama-sama tidak memandang agama. Begitu juga ketika membangun masjid.
“Kita bangun sama-sama, begitu pula renovasi yang dilakukan pada dua tahun lalu,” ujar Sumirat, seperti dilansir sergapntt.com.
Sejarah Kerukunan di Alor
Ahmad Karim Alen, sesepuh kampung yang diperkirakan berusia 100 tahun, mengisahkan bahwa warga di desa itu pada dasarnya berasal dari satu keluarga. Lalu ketika agama masuk ke Alor, sebagian besar anggotanya memilih masuk Islam, sementara lainnya memeluk agama Kristen.
Saat itu, lanjutnya, umat Kristen tinggal di pegunungan, sementara umat muslim kebanyakan tinggal di pinggir pantai.
“Dulu itu mereka pindah dari gunung ke pantai karena tak ada air, jumlah mereka tidak banyak, dan mereka tak pernah ke gereja, karena tidak ada, maka dibangunlah gereja itu oleh keluarga Muslim,” kisah karim.
Lebih lanjut, penanggung jawab Gereja Ismail, Pendeta Mesak Lobanbil juga mengisahkan bahwa saat mereka sudah pindah ke daerah pantai mereka menemukan kesulitan lain.
Hal itu, kata dia, terkait syarat pendirian gereja. “Karena mereka hanya berjumlah empat kepala keluarga (KK), tidak cukup untuk mendirikan gereja,” kata Pendeta Mesak.
Oleh karena itu, lanjutnya, beberapa keluarga muslim lalu berinisiatif untuk mendaftakan keluarganya sebagai orang Kristen hanya untuk menambah jumlah KK Kristen.
“Beberapa umat Muslim memasukan nama mereka ke dalam daftar yang mengajukan izin pembangunan gereja,” tegasnya.
Salah satu yang mendukung pembangunan gereja adalah keluarga Imam Masjid Darul Falaq, Dahlan Lobang. Kakaknya, Ismail yang melakukan pembangunan gereja, dan gereja kemudian diberi nama Ismail, ketika selesai dibangun pada tahun 1949 silam.
Roby Sukur/Katoliknews
Komentar